Photo: Letjen TNI (Pur.) Prabowo Subianto memberi hormat kepada Letkol (tit.) Deddy Cahyadi Sunjoyo. (Diambil dari Republika.com –@corbuzier)
Penulis: Made Supriatma
Utustoria.com – Letkol (tit.) Deddy Cahyadi Sunjoyo: Saya sulit mengunyah berita yang sudah saya baca beberapa hari lalu ini. Sulit untuk paham dan merasa sedih juga.
Beritanya tentang seseorang bernama Letkol (tit.) Deddy Cahyadi Sunjoyo. Dalam kurung (tit.) itu, yang tidak berkonotasi jorok, adalah singkatan dari ‘tituler.’ Ini adalah tanda kepangkatan militer kehormatan. Jadi, seperti gelar doktor yang ada ‘honoris causa’-nya, kepangkatan militer juga ada gelaran kehormatan semacam itu.
Tuan Deddy Cahyadi Sunjoyo adalah seorang penghibur atau entertainer. Keahliannya adalah sulap. Dia bisa melakukan trik-trik yang mengecoh pandangan penontonnya dan mendapat tepuk tangan untuk itu. Tentu, mereka yang menonton harus membayar untuk bisa bertepuk kagum itu.
Nama panggungnya adalah Deddy Corbuzier. Setelah menjadi pesulap, dia merambah ke dunia podcast. Channel Youtube miliknya adalah salah satu yang terbesar di Indonesia.
Dalam banyak hal, talk show Deddy Corbuzier di Youtube mengingatkan saya pada gaya Howard Stern. Tidak salah kalau dikatakan Corbuzier adalah Howard Stern-nya Indonesia, minus srempetan-srempetannya yang rada saru. Bagaimana pun Indonesia adalah negara yang sangat konservatif-nyaris-munafik.
Tidak heran, seperti Stern, talk show Tuan Corbuzier dicari oleh para selebriti yang haus akan perhatian. Untuk para seleb tersebut, diwawancarai oleh Stern eh Corbuzier, umumnya tentang hal-hal remeh-temeh, merupakan ajang memperkenalkan diri. Dan orang suka akan selebriti.
Dan, masuklah mahluk lain yang juga sangat haus akan perhatian: para politisi. Beberapa kali, para politisi utama negeri ini membuat pernyataan politik penting di acara talk show milik Corbuzier ini.
Inilah jaman media sosial. Dulu, para politisi ini menghadapi media dan para jurnalisnya untuk membuat pernyataan politik. Tentu, para jurnalis karena tuntutan profesinya akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, dan kadang menjebak, kepada si politisi.
Kini tidak lagi. Akan tetapi, Corbuzier bukan jurnalis. Dia penghibur. Entertainer. Dia tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit. Dia tidak menuntut si politisi bertanggungjawab atas kebijakannya atau tindakannya. Itu bukan kerjaan orang macam Corbuzier. Itu kerjaan para jurnalis, yang menyambung perbincangan di kalangan jelata kepada para politisi elit ini.
Para politisi menyukainya karena mereka bisa bicara tanpa diminta pertanggungjawaban. Inilah nilai utama dari Corbuzier untuk para politisi. Untuk mereka, Corbuzier memberikan platform dan kesempatan mempromosikan diri tanpa harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit dan pertanggungjawaban yang hanya akan membuat mereka tampak buruk.
Dan, dalam perspektif itu pulalah saya melihat gelar Letkol tit. yang diberikan kepada entertainer Corbuzier. Yang memberikan adalah Menteri Pertahanan, Letjen TNI (Pur.) Prabowo Subianto, yang seluruh negeri tahu bahwa dia akan bertarung (lagi) dalam pemilihan presiden 2024.
Yang menyedihkan untuk saya adalah ketika mengingat bagaimana seorang prajurit TNI membangun karirnya. Kalau Anda masuk TNI lewat jalur pendidikan Bintara, Anda akan tahu betapa sulit dan berlikunya jalan untuk mencapai pangkat Letnan Kolonel. Atau, mungkin Anda tidak akan pernah sampai ke jenjang itu.
Jenjang kepangkatan itu dicapai dengan darah dan air mata. Lewat latihan-latihan berat dan operasi-operasi militer dimana taruhannya adalah nyawa. Dan kita tahu, nyawa bukanlah sulap.
Jenjang kepangkatan tituler untuk Tuan Corbuzier ini juga membuat saya berpikir dalam: Apakah bangsa ini tidak sedang mengidap “celebrity worship syndrome”? Ini adalah bentuk “obsessive addictive disorder” dimana masyarakat dibikin sangat penasaran akan hidup personal seorang seleb. Dengan kata lain, obsesi dan ketagihan terhadap hidup selebriti.
Dan para seleb itu mengerti betul akan sindrom itu.
Kemarin saya mendengar kabar dari seorang kawan yang menjemput anak-anak dan istrinya di bandara. Penerbangan dari luar pulau itu harusnya memakan waktu satu setengah jam. Namun pesawat yang ditumpangi tidak mendarat setelah 2,5 jam.
Bersama para penjemput lain, dia mulai panik. Perusahan penerbangan tidak bisa memberikan alasan mengapa pesawat tidak datang. Akhirnya, setelah 3 jam, pesawat mendarat. Rupanya pesawat berputar-putar di udara karena bandara dipakai untuk mendarat pesawat-pesawat para selebritis sehabis menghadiri perkawinan agung di Solo. Ada 48 pesawat jet pribadi yang pulang kembali ke Jakarta. Bisa dibayangkan bagaimana sesaknya bandara.
Saya bisa membayangkan tekanan psikologis yang dialami kawan itu. Kejadian itu juga memberikan perspektif lain soal hidup selebritas di Indonesia. Dulu, orang-orang superkaya Indonesia cenderung untuk menutup diri dan tidak memperlihatkan kemewahan-kemewahan hidupnya. Mungkin karena kebanyakan dari mereka adalah keturunan Tionghoa.
Namun kini, para konglomerat yang sebagian besar pribumi ini tidak malu-malu untuk jor-joran mempertontonkan kekayaannya. Bahkan dalam skala yang di negeri lain dianggap skandal.
Dan mereka tahu bahwa mereka memiliki pemuja-pemuja. Menjadi kaya itu bukan dosa, demikian argumen yang seringkali saya dengar.
Belajar dari pemberian pangkat untuk Corbuzier dan pertunjukan kemewahan yang tidak tahu malu dari para elit dan selebritis ini, saya menduga, sebagian masyarakat kita memang menderita obsessive addictive disorder yang memuja para selebritas dan elit.
Dan, para elit juga tahu memelihara penyakit ini. Mereka mengumpaninya dengan segala macam ilusi tentang kemewahan, tentang kemajuan, tentang hidup sukses. Tanpa kerja.
Kalau Anda selebriti, Anda bisa menjadi seorang letnan kolonel tanpa keringat, airmata, dan darah. Anda bisa melompat kesana-sini dengan jet pribadi tanpa perlu membangun bisnis yang nyata.