Analisis Sosiologi Mengenai Penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar - Utustoria Analisis Sosiologi Mengenai Penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar - Utustoria

Analisis Sosiologi Mengenai Penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar

1304
Spread the love

Photo: FIFA World Cup Qatar 2022

Penulis: Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Sosiolog tinggal di Bantul Yogyakarta

Utustoria.com – FIFA World Cup (Piala Dunia) merupakan ajang kejuaraan sepak bola pria tingkat internasional yang diselenggarakan empat tahun sekali di mana negara-negara dari lima benua di dunia dapat berpartisipasi.
Piala Dunia pertama kali diselenggarakan di Uruguay pada tahun 1930 di mana tuan rumah menjadi juaranya.
Di tahun 2022, Piala Dunia diselenggarakan di Qatar dan untuk pertama kalinya negara di kawasan Timur Tengah menjadi tuan rumahnya.
Piala Dunia tahun 2022 merupakan Piala Dunia yang ke-22 yang diikuti oleh 32 tim negara yang saling bersaing untuk memperebutkan gelar juara dunia.


Piala Dunia merupakan turnamen sepak bola akbar yang diikat oleh aturan Badan Sepak Bola Internasional atau FIFA yang harus dipatuhi oleh negara peserta serta ada sanksi bagi negara peserta yang melakukan pelanggaran, terlebih pada negara tuan rumah.
Selain terkait dengan nilai-nilai kedisiplinan dalam permainan sepak bola, secara sosiologis dalam konteks Piala Dunia, FIFA menerapkan norma dan praktik yang secara kultural membentuk persepsi masyarakat global terhadap Piala Dunia.
Terkait hal tersebut, FIFA melakukan hegemoni dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola tingkat internasional yang berarti dalam organisasi FIFA memiliki struktur kepemimpinan dalam menggerakkan dan mempengaruhi masyarakat global untuk antusias mendukung kejuaraan sepak bola melalui dukungan terhadap negara-negara peserta Piala Dunia sekalipun pada sebuah masyarakat yang negaranya tidak ikut kompetisi Piala Dunia.
Di era kontemporer, secara lebih praksis, hegemoni dilakukan oleh media-media korporat sebagai mitra FIFA yang mempromosikan Piala Dunia dengan kapasitas dan praktik komunikasi yang persuasif yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dunia untuk tetap menjadikan sepak bola sebagai representasi harga diri sebuah bangsa dan semangat loyalitas terhadap tim sepak bola.


Hegemoni meliputi homogenisasi dan hibridisasi.
Dalam hubungannya dengan Piala Dunia di era kontemporer, homogenisasi merupakan penyebarluasan informasi budaya global seputar Piala Dunia mulai dari negara tuan rumah, sponsor, stasiun televisi yang memiliki hak siar, ulasan pertandingan, iklan yang terdapat unsur Piala Dunia, peningkatan penjualan jersey dan pernak-pernik sepak bola, info skor pertandingan yang up-to-date, dan lain-lain yang menumbuhkan perasaan seperti sikap emosional yang hanyut dalam pertandingan sepak bola, glorifikasi terhadap pemain sepak bola favorit, dan sikap tidak melewatkan jadwal pertandingan sepak bola.
Sedangkan hibridisasi merupakan kontribusi kreatif dan resistensi dalam ranah lokal kaitannya dengan pengaruh informasi budaya global, namun tetap berada dalam lingkup homogenisasi internasional.
Praktik hibridisasi dalam hal kreativitas seperti aktualisasi Kampung Piala Dunia di beberapa daerah di Indonesia yang menyesuaikan dengan nilai dan norma sosial masyarakat setempat. Selain itu ada dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang merefleksikan kultur lokal seperti ‘nonton bareng’ pertandingan sepak bola Piala Dunia yang memperlihatkan kuatnya ikatan sosial kekeluargaan ataupun komunitas yang merupakan ciri khas masyarakat Negara Dunia Ketiga.
Dalam kaitan dengan praktik resistensi terhadap informasi budaya global yang cenderung kepada Barat, seperti yang dilakukan oleh negara Qatar sebagai negara Islam di mana pemerintahnya menerapkan beberapa aturan Islam selama penyelenggaraan Piala Dunia yang dinilai kontroversial oleh media Barat global yang selama ini dikenal memiliki kekuatan hegemoni yang kuat.
Beberapa aturan itu seperti larangan mengonsumsi minuman beralkohol, seks bebas, LGBT, narkoba, dan pakaian ketat bagi perempuan.
Terkait dengan konsumsi minuman beralkohol, terdapat pengecualian di beberapa tempat seperti hotel dan tidak diizinkan dilakukan ketika seseorang berada di sekitar stadion saat berlangsung pertandingan sepak bola Piala Dunia.
Beberapa aturan tersebut dinegosiasikan oleh Pemerintah Qatar dan disetujui oleh FIFA dan tentu harus dihormati oleh pihak manapun agar Piala Dunia berjalan sebagaimana mestinya.
Kekuatan resistensi terhadap kultur global mampu dihegemoni oleh FIFA demi menjaga dan memelihara praktik pengetahuan dan kekuasaan dalam penyelenggaraan sepak bola dunia.
Adapun tindakan resistensi simbolik terhadap hegemoni FIFA dalam Piala Dunia Qatar datang dari tim Jerman yang memprotes pelarangan penggunaan ban kapten pelangi yang merupakan penanda lambang LGBT.
Resistensi simbolik itu dalam tindakan menutup mulut beberapa detik sesaat sebelum bertanding melawan Jepang.
Jerman merupakan salah satu negara Barat yang gencar mengkampanyekan LGBT, dan tindakan resistensi simbolik itu tidak bisa dikompromikan oleh FIFA.
Dalam percaturan hubungan internasional, praktik hegemoni mampu memperkuat aspek ekonomi dan politik baik pada FIFA maupun pada negara-negara yang menjadi tuan rumah Piala Dunia di mana terdapat keuntungan finansial maupun peningkatan kapasitas negosiasi perpolitikan sepak bola walaupun menimbulkan dampak seperti ketimpangan ekonomi pada masyarakat yang negaranya menjadi tuan rumah Piala Dunia.


Hegemoni khususnya dari Barat dan kekuatan global lainnnya sulit untuk bisa kita hindari atau hilangkan, setidaknya mampu kita negosiasikan dengan hal-hal yang sifatnya lokal sesuai dengan situasi kebudayaan di mana kita tinggal.
Negosiasi sesuai dengan yang lokal membentuk glocal power dalam menjaga originalitas identitas namun dapat bereksistensi secara global dan bahkan tidak menutup kemungkinan untuk membentuk kekuatan hegemoni baru yang lebih demokratis dan humanis termasuk dalam dunia sepak bola.