Photo: Ilustrasi
Oleh: Supriadi Lawani*
Utustoria.com – Situasi politik akhir – akhir ini di kabupaten Banggai Sulawesi Tengah agak memanas, narasi tentang politisi pembohong menjadi kosa kata yang mulai biasa diungkapkan publik. Menanggapi isu politisi pembohong ini pihak – pihak yang merasa dirugikan mulai melakukan klarifikasi dan bermain sebagai korban “playing victim” untuk “mengcounter” isu politisi pembohong ini.
Namun catatan singkat kali ini tidak mendiskusikan tentang isu ini, tapi lebih bicara tentang kebohongan dan para pemujanya.
Sedikit Tentang Politik Kebohongan
Teori kebohongan atau teori tentang kebohongan berhubungan dengan berbagai pendekatan dan konsep yang menjelaskan bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi apa orang berbohong.
Dalam politik kita mengenal teori kebohongan Machiavelli berasal dari pandangan Niccolò Machiavelli, seorang filsuf dan politisi Italia yang terkenal dengan karyanya, “Il Principe” (Sang Pangeran). Dalam buku ini, Machiavelli menggambarkan bagaimana penguasa atau pemimpin politik harus bertindak untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, seringkali dengan cara-cara yang dianggap tidak etis, termasuk kebohongan dan manipulasi.
Menurut Machiavelli bahwa seorang pemimpin yang efektif tidak harus terikat pada moralitas tradisional dalam menjalankan kekuasaan (seperti agama dan adat istiadat). Namun kebohongan, manipulasi, dan tipu daya bisa menjadi alat yang sah untuk mencapai tujuan politik. Bagi Machiavelli, hasil akhir (seperti kekuasaan pribadi dan keluarga) lebih penting daripada cara-cara yang digunakan untuk mencapainya. Ini sering kali disingkat dalam ungkapan “tujuan menghalalkan segala cara.”
Selanjutnya mengikuti Machiavelli bahwa citra seorang pemimpin juga menjadi penting. Ia berpendapat bahwa pemimpin yang efektif harus mampu membangun citra yang kuat dan disegani, bahkan tidak penting jika citra itu didasarkan pada kebohongan. Seorang pemimpin harus menjaga agar rakyatnya percaya bahwa ia berperilaku jujur dan adil, meskipun dibalik layar dia berbohong dan memanipulasi situasi untuk keuntungannya.
Pemuja Kebohongan
Pemuja kebohongan adalah frasa yang bisa menggambarkan tindakan atau sikap seseorang yang secara sadar atau tidak, menghormati atau mendukung sesuatu yang sebenarnya tidak benar. Ini bisa merujuk pada situasi di mana orang memilih untuk mempercayai kebohongan karena lebih nyaman atau sesuai dengan kepentingan ekonomi pribadi mereka, meskipun bukti menunjukkan sebaliknya.
Dalam konteks yang lebih luas, memuja kebohongan dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti politik, agama, atau sosial, di mana informasi yang salah atau penipuan dipelihara dan dianggap sebagai kebenaran oleh sebagian orang.
Dalam psikologi politik ada istilah yang dikenal dengan sebutan Disonansi Kognitif. Disonansi Kognitif adalah ketegangan mental yang terjadi ketika seseorang dihadapkan pada informasi yang bertentangan dengan keyakinan atau sikap politik mereka. Untuk mengurangi ketegangan ini, orang sering kali memilih untuk mengabaikan atau merasionalisasi informasi yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Dalam politik, disonansi kognitif dapat menjelaskan mengapa pengikut setia seorang politisi tetap percaya pada kebohongan yang disebarkan oleh politisi tersebut.
Sebagai contoh misalnya, jika seorang pemimpin yang dihormati pengikutnya terbukti berbohong, pengikutnya mungkin akan mencari alasan atau justifikasi untuk tetap mendukungnya, daripada menerima bahwa mereka telah dibohongi.
Begitu juga dalam teori identitas sosial ada istilah yang menyatakan bahwa orang – orang cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu dan melihat kelompok mereka sebagai lebih superior daripada kelompok lain. Oleh karena itu, informasi negatif tentang pemimpin kelompok mereka, termasuk kebohongan, sering kali ditolak atau diabaikan.
Efek Destruktif Kebohongan Dalam Politik
Kebohongan dalam politik memiliki efek merusak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi suatu daerah bahkan negara. Ketika kebohongan digunakan secara sistematis oleh politisi atau kelompok politik, efeknya tidak hanya merusak institusi politik, tetapi juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat, hubungan sosial, serta stabilitas politik.
Kebohongan politik yang meluas dapat menimbulkan penurunan standar etika tidak hanya dalam politik, tetapi juga dalam masyarakat secara keseluruhan. Ketika masyarakat melihat bahwa kebohongan dan penipuan dapat membawa kesuksesan di ranah politik, ini dapat menciptakan budaya yang lebih permisif terhadap ketidakjujuran dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, orang mungkin menjadi lebih terbuka terhadap tindakan yang tidak etis dalam bisnis, pendidikan, atau hubungan sosial.
Dengan kata lain, politik yang penuh kebohongan dapat merusak norma-norma sosial yang mendukung integritas, kejujuran, dan keadilan.
Kebohongan dalam politik memiliki efek yang sangat merusak pada berbagai aspek kehidupan daerah, negara dan masyarakat. Selain mengikis kepercayaan publik, kebohongan dapat memicu polarisasi sosial, menurunkan kualitas demokrasi, melemahkan tatanan hukum, serta mengganggu proses pembuatan kebijakan yang berbasis bukti. Dampaknya bisa sangat luas dan sulit dibalikkan, mengingat kebohongan yang telah berakar dalam wacana publik sering kali menciptakan realitas yang terdistorsi. Untuk mencegah efek merusak ini, sangat penting bagi masyarakat dan media untuk terus mendorong transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap kebenaran dalam politik.
Akhirnya sebagai penutup saya ingin mengajak kita semua untuk Melawan Kebohongan Politik.
“Lawan kebohongan Politik untuk Banggai Baru, Banggai Hebat “.
Luwuk 15/10/2024
Photo: Supriadi Lawani (Tengah)
*Penulis adalah petani pisang.