SOCIETY OF THE SPECTACLE: Haruskah Kita Update Foto/Video Di Sosial Media? - Utustoria SOCIETY OF THE SPECTACLE: Haruskah Kita Update Foto/Video Di Sosial Media? - Utustoria

SOCIETY OF THE SPECTACLE: Haruskah Kita Update Foto/Video Di Sosial Media?

546
Spread the love

Photo:Ilustrasi

Penulis:
Ida Bagus Suryanatha, S.Sos., M.A.
(Dosen Sosiologi Fisip Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah)

Utustoria.com – Istilah yang satu ini sekiranya masih sangat asing di Negara +62 ini, namun sadar atau tidak sadar masyarkat Indonesia sangat banyak dan gemar untuk menunjukkan Achievement,“Siapa dirinya, Apa yang dia punya, Apa pekerjaanya, Dimana kerjanya, Berapa harta kekayaannya”, dan berbagai hal lainnya yang dianggap menjadi sebuah diskursus penting untuk mempertontonkan sebuah Kekayaan dalam Social Media, istilah ini disebut Spectacle (tontonan). Sementara itu, belakangan jagat social media dan media berita baik online atau offline juga ramai membicarakan Flexing (pamer), yang dimana flexing ini secara subtansinya bagaimana kita menilai perilaku baik individual atau kelompok tertentu yang secara sengaja dan sadar memamerkan atau mempertontonkan dirinya demi sebuah regkonisi (pengakuan).

Berangkat dari hal inilah, jauh sebelum istilah Flexing cukup ramai dibicarakan di Indonesia, di Negara-negara barat sudah ada sebuah kajian sosial terhadap Spectacle, dimana kajian ini menyoroti sekelompok masyarakat yang menunjukkan kelas sosialnya demi mendapatkan sebuah reputasi dan nilai lebih dalam pandangan masyarakat lain, dan mayoritas akan menggunakan sebuah kekuasaan dan kekayaannya dalam menunjukkan eksistensi dengan mempertontonkan sisi “Apperance” (penampilan) yang sekiranya akan menjadi cerminan bagaimana mereka memang layak untuk ditonton. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh salah satu Sosiolog dan Filsuf Perancis, Guy Debord.

Pembahasan tersebut mengarah pada bagaimana sejarah sebuah “Tontonan” (Spectacle) bukanlah hanya sebatas kumpulan gambar namun itu adalah bentuk sosial yang dimana hubungan antara orang-orang yang dimediasi oleh gambar untuk membentuk sebuah citra (Debord, 2005:7).

Menindaklanjuti pengertian tersebut, artinya gambar-gambar yang sengaja diciptakan tmemang akan secara implisit mengarahkan individu untuk menjadi gambar yang layak ditonton oleh orang lain, dengan begitu hubungan sosial yang dimediasi oleh gambar tersebut dapat dipahami sebagai teknologi yang secara nyata dapat menjadi manipulatif pada visual belaka yang merubah pandangan-pandangan objektif dari sebuah gambar yang dipertontonkan menjadi sebuah gambar yang penuh dengan kepalsuan semu. Dengan kata lain, bisa juga hal tersebut adalah hal yang tidak nyata.