
Photo: Ilustrasi
Oleh: Supriadi Lawani*
Utustoria.com – Dalam halaman media sosial Facebook saya melihat status seorang politisi di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah yang mengatakan pada intinya bahwa kebohongan akan dikalahkan oleh kebenaran. Saya tidak keberatan dengan frasa itu namun saya justru jadi bertanya – tanya kenapa si politisi itu dengan entengnya menulis status seperti itu. Bukan apa – apa saya kira sudah menjadi rahasia umum saat ini kalau tidak dapat mengatakan semuanya maka sebagian politisi adalah orang yang lihai dalam berbohong. Bahkan dalam skala dunia dalam salasatu lomba cerita bohong tahunan yang dikenal dengan nama “International Lying Competition” atau Lomba Cerita Bohong Internasional di Inggris politisi dilarang ikut jadi peserta karena dianggap lihai dalam membuat cerita berbohong.
Namun tulisan pendek ini tidak dimaksudkan untuk menuduh atau bahkan menghakimi seseorang sebagai pembohong tetapi hanya ingin mencari tahu kenapa seorang politisi yang mungkin saja adalah pembohong menuduh seseorang atau kelompok orang yang menjadi lawan politiknya sebagai pembohong baik secara langsung maupun tidak langsung. Apa sebetulnya yang diinginkan si politisi itu? Kenapa dia melakukan atau melontarkan kata-kata atau status dimedia sosial seperti itu? Apa sebetulnya tujuanya? Guna menjawab pertanyaan itu akhirnya saya menjumpai sebuah istilah yang dalam banyak literatur disebut sebagai Gaslighting. Istilah inilah yang akan kita diskusikan dalam tulisan pendek kali ini.
Sedikit Tentang Gaslighting
Gaslighting adalah bentuk manipulasi psikologis di mana seseorang berusaha membuat orang lain meragukan ingatan, persepsi, atau kewarasan dirinya sendiri. Tujuan dari gaslighting biasanya adalah untuk mendapatkan kekuasaan atau kendali atas korban, sering kali dengan cara yang halus dan bertahap.
Gaslighting sering terjadi dalam hubungan pribadi, tapi juga bisa muncul di tempat kerja, dalam sistem sosial yang tidak adil dan dalam dunia politik.
Dalam politik, Gaslighting terjadi ketika seorang politisi, pejabat, atau institusi dengan sengaja memutarbalikkan fakta atau realitas untuk membuat publik meragukan persepsi mereka sendiri terhadap kebenaran. Ini adalah strategi manipulasi yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan, menutupi kesalahan, atau membentuk opini publik sesuai kepentingan pelaku.
Dalam ranah politik, gaslighting menjadi alat strategis untuk mengontrol narasi, memperlemah oposisi, dan membingungkan masyarakat. Salah satu teknik utama dalam gaslighting politik adalah proyeksi, yaitu ketika seorang politisi yang bersalah menuduh lawannya atas kesalahan yang sebenarnya ia lakukan sendiri.
Proyeksi Sebagai Strategi Gaslighting
Proyeksi dalam gaslighting politik terjadi saat politisi yang diketahui berbohong atau terlibat skandal justru menuduh lawan politiknya sebagai pembohong, koruptor, tidak kompeten atau tuduhan lainnya.
Strategi ini digunakan untuk mengaburkan kesalahan pribadi, menciptakan kebingungan dan keraguan publik, menurunkan kredibilitas lawan sebelum tuduhan yang sebenarnya terungkap, dan mengontrol narasi di media dan ruang publik.
Salah satu contoh dari Gaslighting adalah jika seorang pemimpin atau politisi yang memunculkan diri sebagai “korban fitnah” atau “ korban kebohongan” dia memainkan peran sebagai korban “Playing victim” saat menghadapi kritik, padahal dia punya kekuasaan besar dan kendali penuh terhadap kebijakan, namun daripada itu dia menuduhkan kepada orang lain atau kelompok orang sebagai tukang fitnah atau pembohong untuk melindungi dirinya dan mempengaruhi persepsi publik.
Narasi ini diperkuat melalui media partisan yang tentunya dibayar dan buzzer di media sosial, yang membuat publik ragu terhadap fakta.
Gaslighting dan proyeksi sangat mengancam demokrasi karena dapat mengikis kepercayaan publik terhadap proses politik ( yang didalamnya juga adalah proses hukum) juga memicu apatisme dan polarisasi,mengaburkan garis antara fakta dan opini dan menjadikan kebohongan sebagai strategi sah dalam berpolitik.
Upaya Melawan Gaslighting Politik
Untuk melawan gaslighting politik, masyarakat perlu untuk Meningkatkan literasi media dan informasi dan mendorong transparansi dan akuntabilitas, juga penting perlu adanya jurnalisme yang independen ( atau paling tidak jurnalis yang masih sedikit jujur) dan tentunya membangun ruang diskusi kritis dan terbuka.
Pelaku atau Gaslighter terllihat kuat karena narasinya menyentuh emosi. Jadi kita butuh narasi tandingan yang berdasarkan data, dibungkus dengan empati, harapan, dan nilai keadilan.
Melawan gaslighting dan perang persepsi bukan sekedar soal adu keras suara, tapi adu ketahanan berpikir, kekuatan data, dan kejernihan hati. Semakin kita sadar dan bersatu, semakin sulit manipulasi ini mengakar.
Penutup
Gaslighting politik dengan strategi proyeksi adalah ancaman nyata bagi kebenaran dan demokrasi. Ketika politisi menyalahgunakan kekuasaan dengan membelokkan kenyataan dan menuduh lawan atas dosa yang ia lakukan sendiri, masyarakat menjadi korban dari kebingungan sistemik. Ini bukan hanya merusak reputasi lawan politik, tetapi juga menanamkan ketidakpercayaan terhadap institusi, proses pemilu atau pilkada, dan bahkan terhadap sesama warga.
Pola ini, jika dibiarkan tanpa koreksi atau tanpa kesadaran publik yang kuat, akan menciptakan siklus manipulasi berulang, di mana kebohongan menjadi alat sah untuk mempertahankan kekuasaan ( ingat, kebohongan menjadi alat sah untuk mempertahankan kekuasaan).
Masyarakat harus diperlengkapi dengan kemampuan berpikir kritis, akses terhadap informasi yang jujur, serta keberanian untuk mengonfrontasi narasi palsu, bahkan jika narasi itu datang dari tokoh yang populer sekalipun. Melawan gaslighting berarti melawan pembentukan realitas palsu demi menjaga integritas demokrasi, keadilan sosial, dan masa depan bersama yang lebih rasional dan transparan.
Luwuk 30 April 2025
*Penulis adalah petani pisang.

Photo: Supriadi Lawani