Mereka Yang Tidak Punya THR - Utustoria Mereka Yang Tidak Punya THR - Utustoria

Mereka Yang Tidak Punya THR

1128
Spread the love

Photo: Ilustrasi

Oleh: Supriadi Lawani*

Utustoria.com – Tunjangan Hari Raya (THR) setiap tahun menjadi isu yang terus diperbincangkan menjelang hari raya khususnya idul Fitri. Dilansir dari beberapa media nasional ada Organisasi masyarakat (ORMAS) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengamuk di kawasan pabrik dan bahkan melakukan pengrusakan kantor instansi pemerintah hanya untuk meminta diberikan THR.

Tulisan singkat ini ingin membagi informasi terkait sejarah THR dan bercerita tentang mereka yang tidak mendapatkan THR menjelang hari raya. Mereka yang tidak mendapatkan THR adalah kaum miskin kota (buruh harian lepas, tukang ojek, pekerja serabutan, pengangguran dll) dan kaum miskin desa  ( Petani kecil,buruh tani, nelayan kecil dll) yang dalam tulisan singkat ini saya istilahkan dengan kaum miskin.

Sekilas Sejarah THR

Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat. Sebelum adanya regulasi resmi, masyarakat Indonesia telah memiliki kebiasaan memberikan hadiah atau uang kepada pekerja rumah tangga dan buruh menjelang hari raya, terutama Idul Fitri.

Tujuan adanya THR adalah untuk membantu pekerja atau buruh memenuhi kebutuhan tambahan menjelang hari raya, seperti membeli makanan berupa sembako, daging, kue – kue, pakaian dan keperluan lainnya.

THR juga dapat mengurangi beban finansial pekerja dan keluarganya saat merayakan hari besar keagamaan.

Dalam sejarahnya THR pertama kali dicetuskan oleh Soekiman Wirjosandjojo yang merupakan politikus Partai Masyumi yang menjabat Perdana Menteri pada 27 April 1951 hingga 3 April 1952. Salah satu program kerja Kabinet Soekiman yang dilantik pada April 1951 itu adalah meningkatkan kesejahteraan aparatur negara. Kabinet Soekiman memutuskan memberikan tunjangan kepada para pamong pradja (kini PNS) menjelang hari raya.

Namun Tunjangan Hari Raya (THR) yang kita kenal sampai hari ini tidak lepas dari perjuangan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) pada era 1950-an.

SOBSI adalah organisasi buruh yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan merupakan salah satu federasi buruh terbesar pada masa itu. Pada tahun 1950-an, SOBSI aktif memperjuangkan berbagai hak pekerja, demi kesejahteraan buruh, termasuk upah layak dan perlindungan kerja serta pemberian tunjangan hari raya sebagai hak pekerja menjelang Lebaran.

Pada tahun 1952, SOBSI mulai mendesak pemerintah agar THR menjadi kewajiban bagi pengusaha. Hal ini semakin mendapat perhatian ketika Menteri Perburuhan saat itu, S.M. Abidin, mulai merumuskan kebijakan tentang tunjangan bagi pekerja.

Pada akhirnya, perjuangan ini berbuah hasil dengan keluarnya Peraturan Menteri Perburuhan No. 1 Tahun 1961, yang secara resmi mewajibkan perusahaan memberikan THR kepada pekerja.

Namun, setelah peristiwa G30S 1965, SOBSI dibubarkan oleh pemerintah militeristik orde baru karena keterkaitannya dengan PKI. Meskipun begitu, perjuangan mereka dalam mengadvokasi THR tetap menjadi bagian penting dalam sejarah ketenagakerjaan di Indonesia dan bisa dirasakan sampai hari ini.

Kaum Miskin Yang Tidak Punya THR

Seperti yang saya sebutkan diatas kaum miskin yang tidak mendapatkan THR adalah kaum miskin kota (buruh harian lepas, tukang ojek, pekerja serabutan, pengangguran dll) dan kaum miskin desa   ( Petani kecil,buruh tani, nelayan kecil dll).

Mereka kaum miskin ini yang mayoritas beragama Islam juga merayakan hari raya idul Fitri dan seperti kita semua tahu menjelang hari raya idul Fitri kebutuhan hidup bertambah, mulai dari mengadakan makanan seperti daging, mengadakan kue – kue, membeli baju baru minimal buat anak – anak dan lain sebaginya.

Menjelang hari raya idul Fitri mereka keluarga miskin ini bingung mencari biaya lebaran dan kebanyakan dari mereka terpaksa meminjam dana ke lembaga pendanaan ( orang Luwuk Banggai menyebutnya koperasi), meminjam kepada rentenir, tengkulak, tuan tanah dan sejenisnya yang tentu saja dengan bunga yang tidak sedikit.

Berbeda dengan pekerja formal kaum miskin sebagai pekerja informal selain berhutang mereka hanya bisa berharap dari bantuan sosial, sedekah, atau zakat, yang sering kali tidak cukup untuk menutup kebutuhan hari raya.

Beberapa pekerja informal, seperti pembantu rumah tangga, kadang mendapatkan “THR” dari majikannya, tetapi ini tidak diatur oleh hukum dan bergantung pada kebaikan hati pemberi kerja.

Bagi sebagian orang, hari raya adalah momen penuh kebahagiaan dan kebersamaan. Namun, bagi kaum miskin, terutama pekerja informal, buruh tani, dan kaum miskin kota, menjelang hari raya justru bisa menjadi waktu yang penuh kesedihan dan beban pikiran.

Saat orang lain membeli baju baru, makanan enak, dan mudik ke kampung halaman, kaum miskin hanya bisa melihat dan menahan keinginan.

Mereka yang tidak mampu pulang kampung sering kali harus tetap bekerja saat orang lain merayakan dengan keluarga.

Bagi orang tua miskin, salah satu hal paling menyakitkan adalah tidak bisa membahagiakan anak-anak mereka.

Anak-anak mereka mungkin berharap baju baru, kue lebaran, atau sekadar uang jajan, tetapi kenyataannya, sering kali mereka harus menerima bahwa tidak ada yang berubah dari hari-hari biasa. Deraian air mata tak berperih ketika anak – anak tidak mampu dibelikan baju baru.

Penutup

Regulasi THR hanya berlaku untuk pekerja formal, sementara pekerja informal yang jumlahnya lebih dari 60% tenaga kerja di Indonesia tidak mendapatkan perlindungan yang sama.

Bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah tidak selalu tepat sasaran dan tidak diberikan secara rutin setiap tahun.

Saat ini THR seharusnya menjadi bentuk pemerataan kesejahteraan, tetapi dalam kenyataannya hanya dinikmati oleh sebagian pekerja, bukan sesuatu yang keliru memang karena hak itu didapat dari perjuangan yang tidak mudah namun kita tidak bisa berhenti disini, kenyataan ini harus dilampaui.

Pada saat lebaran kaum miskin dan pekerja informal tetap berjuang di tengah euforia perayaan, mencerminkan ketimpangan ekonomi yang masih nyata di Indonesia. Dengan situasi yang terus berulang ini maka tidak ada jalan keluar lain selain kaum miskin harus berjuang bersama untuk mendapatkan hak sebagai warganegara yang berdaulat.

Karena jika situasi ini terus terjadi maka bagi kaum miskin setelah lebaran adalah membayar hutang dengan keringat dan air mata.

Luwuk 23/3/2025

*Penulis adalah petani pisang

Photo: Supriadi Lawani


TAG