Photo: Ilustrasi (Sumber: Detikcom)
Ulasan oleh Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Sosiolog, Tinggal di Bantul Yogyakarta.
Utustoria.com – D.I. Yogyakarta yang dikenal sebagai provinsi berhati nyaman kembali terusik ketenangannya oleh sebuah peristiwa yang terjadi di Jalan Taman Siswa dan Kenari Kota Yogyakarta pada hari Minggu, 4 Juni 2023.
Kejadian itu berupa bentrokan antar dua kelompok massa, yakni antara Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Brajamusti.
PSHT sendiri merupakan sebuah kelompok pencak silat, sedangkan Brajamusti merupakan sebutan untuk kelompok pendukung tim sepak bola PSIM Yogyakarta.
Bentrokan bermula dari adanya peristiwa penganiayaan yang dialami oleh seorang anggota PSHT oleh anggota Brajamusti. Aksi tersebut terjadi di Villa Rangdo Parangdok, Parangtritis, Kretek, Bantul.
Dua hari kemudian polisi mengamankan tiga orang anggota Brajamusti yang diduga melakukan aksi penganiayaan di Parangdok.
Pada hari Minggu tanggal 4 Juni 2013, rombongan PSHT hendak ke Polres Bantul untuk menanyakan mengenai penangkapan tiga orang pelaku penganiayaan, namun di tengah jalan justru ke lokasi kelompok Brajamusti.
Dikarenakan adanya suatu provokasi, pada pukul 17:00 terjadi keributan di Jl. Kenari dan pukul 18:00 terjadi keributan di Jl. Taman Siswa.
Bentrokan meluas pada pukul 19:00 hingga 21:00 di Jl. Taman Siswa mengakibatkan sejumlah toko dan SPBU tutup, jalan dialihkan, dan kepolisian diterjunkan untuk meredam pertikaian.
Tidak hanya itu, Museum Dewantara Taman Siswa yang di dalamnya terdapat beberapa barang peninggalan Ki Hajar Dewantara ikut terkena imbasnya, sebagian mengalami kerusakan.
Pada pukul 21:00-23:58, kepolisian mengevakuasi massa PSHT yang berjumlah 352 orang ke Mapolda DIY.
Pada hari Senin, 5 Juni 2023, di Mapolda DIY digelar deklarasi damai antara perwakilan PSHT dan Brajamusti. Kedua perwakilan sudah saling meminta maaf dan sepakat damai.
Hingga saat ini, tim dari kepolisian masih melakukan pendalaman atas kasus bentrokan yang telah terjadi dan belum menetapkan tersangka.
Secara sosiologis, bentrokan antara kedua kelompok yakni PSHT dan Brajamusti dikarenakan oleh faktor bekerjanya kekuatan paguyuban atau gemeinschaft pada masing-masing kelompok.
Menurut Ferdinand Tonnies, paguyuban dibentuk atau didasari oleh sifatnya yang langgeng, anggota-anggotanya memiliki kesamaan identitas dan latar belakang, solidaritas tinggi, memiliki kepentingan bersama, dan bersifat personal karena adanya ketertarikan yang sama.
Paguyuban dibagi ke dalam tiga jenis yakni paguyuban karena ikatan darah seperti keluarga dan kerabat, paguyuban karena komunitas seperti RT, RW, perkumpulan arisan, ojek online, dll, dan paguyuban karena ideologi seperti rohani Islam (rohis), Pemuda Pancasila, perkumpulan mahasiswa Kristen, dll.
Hal itu berbeda dengan kelompok patembayan (gesellschaft) di mana sifat kekeluargaan dan kekerabatannya lemah, tidak memiliki kesamaan identitas dan latar belakang, hubungan anggota bersifat sementara, didasari oleh kepentingan pribadi, memperhitungkan nilai guna, dan relasi antar anggota cenderung formal.
Ketika dalam sebuah kelompok paguyuban ada anggotanya yang mengalami gangguan atau serangan dari kelompok paguyuban lain, maka naluri keintiman, kesamaan, dan solidaritas tinggi yang bersifat permanen mendorong untuk melakukan pembelaan dan pembalasan.
Dalam sebuah kelompok paguyuban, gangguan pada satu anggota juga merupakan gangguan pada satu kelompok dan dikarenakan sifat-sifat keintiman, kesamaan, dan solidaritas tinggi yang sering kali memunculkan tindakan irasional dibandingkan rasionalitas dalam merepresentasikan pembelaan pada anggota yang mengalami gangguan.
Dalam hal ini, kepolisian sebagai sebuah institusi negara yang memiliki dasar kekuatan legal-formal berupaya merasionalkan irasional dari dua kelompok paguyuban yang berseteru agar mampu mengendalikan emosi dan tidak menimbulkan kerusakan sosial yang lebih parah.
Deklarasi damai dan saling meminta maaf antar perwakilan dua kelompok yang merepresentasikan kelompok secara keseluruhan merupakan bentuk dari sebuah reintegrasi.
Upaya reintegrasi tersebut harus diperkuat dengan komitmen, nilai-nilai kebangsaan, dan kekuatan hukum agar ada upaya meminimalisasi terulangnya kejadian yang serupa.
Bagaimanapun juga, benih-benih permusuhan akan berpotensi tumbuh sedemikian rupa antar kelompok paguyuban sehingga pengawasan sosial untuk memelihara ketertiban masyarakat harus dilakukan seoptimal mungkin.