Sosiologi Pariwisata : Dimensi Kesejahteraan Dan Kekuasaan Dalam Pengelolaan Pariwisata - Utustoria Sosiologi Pariwisata : Dimensi Kesejahteraan Dan Kekuasaan Dalam Pengelolaan Pariwisata - Utustoria

Sosiologi Pariwisata : Dimensi Kesejahteraan Dan Kekuasaan Dalam Pengelolaan Pariwisata

784
Spread the love

Photo: Pulau dua (Celebes.id)

Penulis : Muhammad Makro Maarif Sulaiman (Sosiolog Alumnus Fisipol UGM)

Utustoria.com – Pariwisata atau bahasa informal sehari-sehari disebut sebagai wisata merupakan kegiatan yang menyajikan daya tarik dari objek atau situs tertentu sebagai tempat kunjungan, pengetahuan, dan juga kesenangan yang melibatkan kehadiran orang individu maupun komunitas lintas daerah dan negara.
Apabila disadari lebih mendalam, pariwisata memiliki dua dimensi yakni dimensi kesejahteraan dan dimensi kekuasaan.
Dimensi kesejahteraan merupakan dimensi yang melibatkan diskursus kesejahteraan yang membawa perubahan bersama dari keadaan tertinggal menjadi mandiri dan maju.
Dimensi kesejahteraan lebih berkaitan dengan entitas komunitas di mana kemampuan adaptif dan modal sosial sebagai bagian di antara berbagai strategi dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata oleh suatu komunitas masyarakat termasuk juga dalam manajemen keuangan dan keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan sosial bersama.
Sedangkan dimensi kekuasaan merupakan dimensi yang dikelola oleh kelompok elite atau kelompok tertentu yang menghegemoni pihak atau kelompok lain yang dinilai sebagai kelas nomor dua dan apabila meminjam istilah dari Karl Marx, kelas dua itu disebut sebagai kelas subordinat.
Kelas subordinat memiliki kontribusi dalam pengelolaan pariwisata, terapi masih kalah optimal dengan kontribusi dari kelompok elite yang menghegemoni.
Hegemoni tersebut diciptakan untuk menumbuhkan kesadaran pada kelompok subordinat bahwa hanya kelompok dominan atau kekuatan elite yang mampu mengoptimalkan fungsi dan manfaat dari adanya pengembangan pariwisata.
Termasuk juga dalam dimensi kekuasaan ini seperti hegemoni kelompok sadar wisata (pokdarwis) yang memiliki modal sosial yang kuat terhadap pokdarwis yang memiliki modal sosial yang tidak terlalu kuat.


Analisis Terapan : Kawasan Wisata Malioboro di Yogyakarta
Secara lebih riil, Malioboro merupakan simbol atau episentrum pariwisata di Yogyakarta yang memiliki dimensi kekuasaan dan kesejahteraan.
Secara sosiologis, semakin tinggi strata dalam sebuah struktur sosial pariwisata, jumlah aktor yang menempati kian sedikit dan relasi yang dibangun cenderung lebih dominan ke orientasi ekonomi.
Dalam perkembangan historis dan kontemporer, kawasan Malioboro dikepung oleh simbol-simbol modernitas pariwisata seperti hotel, restoran, mall, dan toko-toko besar.
Perkembangan kawasan perkotaan yang modern menjadikan ruang-ruang di kawasan Malioboro dikuasai oleh pihak pengembang dan teknokrat yang menjadikan Malioboro sebagai sumber kapital pariwisata melalui pembangunan dan pengembangan simbol-simbol modernitas.
Simbol-simbol modernitas menjadi basis ekonomi utama dalam memajukan Malioboro sebagai pusat kunjungan, pusat belanja, pusat nongkrong, pusat kuliner, dan pusat pengembangan kontestasi ekonomi lain yang terkait.
Pihak pengembang dan teknokrat memegang praktik kuasa atas kawasan Malioboro yang menjadikan Malioboro sebagai destinasi pariwisata utama di Yogyakarta.
Namun, kendali atas kekuasaan tersebut menghegemoni kelompok-kelompok subordinat yang memanfaatkan ruang-ruang di Malioboro untuk aktivitas ekonomi.
Hegemoni yang dimaksud ialah aturan-aturan tindakan melalui peraturan daerah maupun peraturan-peraturan formal lain yang mengelola dan mengatur tata ruang modern di kawasan Malioboro.
Peraturan tersebut bersifat mengikat dan mengandung hukum formal.
Melalui hegemoni tersebut terdapat persetujuan antaraktor dalam menjalankan roda ekonomi di Malioboro.
Dalam realitas Posmodernisme, peraturan-peraturan tersebut cenderung mengkultuskan simbol-simbol modernitas sebagai penanda dan petanda dalam kerangka struktural untuk pengembangan tata ruang perkotaan.
Simbol-simbol modernitas yang dikultuskan tersebut membuat kelompok-kelompok pelaku ekonomi kecil seperti pedagang kaki lima, tukang parkir, dan toko-toko kecil menyesuaikan diri karena mereka adalah representasi dari kelompok subordinat atau proletar pariwisata.
Ada dampak terjadi manakala kelompok-kelompok proletar pariwisata tidak mampu mengatasi bayang-bayang modernitas di Malioboro.
Dampak itu seperti pedagang kaki lima yang memasang tarif harga makanan dengan tarif bintang lima dan tarif parkir yang di luar kewajaran.
Namun, tidak semua pelaku sektor informal di Malioboro berkelakuan seperti itu.
Masih banyak pedagang kaki lima dan sektor informal lain yang memiliki integritas dalam menjalankan usahanya.
Terdapat asosiasi atau paguyuban pedagang dan pelaku usaha kecil di Malioboro yang berusaha mengayomi dan menguatkan solidaritas dan kesepakatan sosial antarpedagang atau antarpengusaha kecil dalam upaya bersama-sama menguatkan etos kerja demi tercapainya dimensi kesejahteraan dalam struktur kepariwisataan.


Virus Covid-19 yang melanda dunia sejak akhir tahun 2019 telah mengguncang tatanan ekonomi dunia, tak terkecuali sektor pariwisata di Malioboro.
Sektor-sektor yang mengandalkan simbol-simbol modernitas terkena imbasnya.
Hotel-hotel di Yogyakarta banyak yang harus gulung tikar karena penurunan tingkat hunian atau okupansi selama wabah Corona, akibatnya tidak sedikit pengelola hotel yang memberikan diskon hingga sekian persen demi menjaga stabilitas tingkat hunian bahkan karena tidak mampu menjaga tingkat okupansi, sebagian hotel ada yang terpaksa dijual demi menutupi kerugian sebagai dampak dari hantaman Covid-19.
Sebagian hotel-hotel di Malioboro juga terancam gulung tikar dan tidak sedikit yang mengalami penurunan tingkat hunian.
Tidak hanya di hotel, simbol-simbol modernitas lain seperti restoran, mall, dan toko besar ikut terancam bangkrut dan tentu banyak karyawan yang dirumahkan dan menjadi pukulan ekonomi bagi para pengelolanya.
Penerapan protokol kesehatan dinilai belum mampu menstabilkan kembali tingkat hunian secara optimal.
Di tengah terancamnya dimensi kekuasaan di Malioboro, para pedagang kaki lima dan pengusaha kecil di kawasan Malioboro tetap optimis menjalankan usahanya agar dimensi kesejahteraan tidak mengalami degradasi.
Selama pandemi yang belum usai, para pelaku sektor informal di Malioboro selalu disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Pengetatan kegiatan sosial yang diberlakukan oleh Pemda D.I. Yogyakarta (DIY) memberikan dampak kepada pedagang kaki lima dan pengusaha sektor informal lain di Malioboro di mana penghasilan mengalami penurunan dan memberi risiko pada aspek ketahanan hidup.
Paguyuban sektor informal di Malioboro pun berusaha mengakomodasi kepentingan para pelaku sektor informal melalui negosiasi dengan Pemda DIY agar diberi kelonggaran jam-jam menjalankan kegiatan ekonomi dan berharap agar pengetatan kegiatan sosial tidak diperpanjang.


Meminjam dari pemikiran Karl Marx tentang basis ekonomi atau kepemilikan alat-alat produksi, dalam mengatasi ketegangan antara prioritas kesehatan dan ekonomi, dan melihat protokol kesehatan sudah diterapkan semaksimal mungkin di Malioboro, hendaknya pemerintah daerah setempat membuat skala prioritas keselamatan ekonomi sebagai basis dalam upaya menguatkan resiliensi hidup pelaku ekonomi khususnya sektor informal di Malioboro di tengah wabah Covid-19.
Basis ekonomi tersebut kemudian dapat berdialektika dengan aspek kesehatan di mana antara keduanya dapat berdinamika secara proporsional menuju stabilitas dan tatanan di era post-new normal.


TAG