Photo: Ilustrasi Hutan/Kebun Sawit
Penulis: Made Supriatma
Utustoria – Beberapa hari yang lalu saya membaca berita Fakultas Kehutanan IPB University dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) membikin draf naskah akademik yang akan mengusulkan kelapa sawit sebagai “tanaman hutan.”
Alasannya, tanaman sawit sudah mengalami diskriminasi. Naskah akademik ini (mohon perhatian: akademik!) memakai istilah ‘crop apartheid.’
Istilah apartheid sebenarnya istilah politik. Ia banyak dipakai untuk menggambarkan segregasi di Afrika Selatan dulu. Saat itu, orang dipisahkan berdasarkan warna kulit — yang putih dan hitam. Keduanya tidak boleh bercampur. Dan punya hak berbeda.
Untuk saya, hijrahnya istilah itu ke tanaman produksi cukup mencengangkan. Dimana mencengangkannya?
Istilah ini dihijrahkan karena tuduhan bahwa produksi sawit Indonesia dilakukan dengan pembabatan hutan besar-besaran. Cerita sawit adalah sebuah cerita tentang perusakan lingkungan dan alam, hutan berserta isinya.
Tentu dikutip alasan ekonomi juga. Ekonomi sawit adalah ekonomi dengan skala 200 trilyun! Ada 21,49 juta orang hidupnya tergantung dari sawit. Bisa saudara bayangkan banyaknya. Ini lebih dari dua kali penduduk Jakarta!
Sangat besar bukan? Jelas! Hanya saja ada yang tidak dikatakan disini. yaitu bahwa hanya 40,6% dari luas lahan sawit itu merupakan lahan sawit rakyat. Dari yang saya ketahui, sawit rakyat itu biasanya luasnya kurang dari 4 hektar, dikelola keluarga, produktivitasnya rendah, dan sangat tergantung pada penggilingan besar milik perusahan besar.
Siapa yang menguasai industri sawit Indonesia? Dari sisi lahan, industri sawit dikuasai perusahan-perusahan swasta besar. Ada sedikit porsi BUMN juga. Perusahan-perusahan inilah yang menentukan harga, menyerap produksi rakyat, dan mengolahnya menjadi CPO (crude palm oil).
Apa tujuan naskah akademik untuk menghilangkan ‘crop apartheid’ terhadap sawit ini? Oh, banyak.
Salah satu yang terpenting adalah bila sawit masuk tanaman hutan maka perkebunan sawit bisa terkategori ‘hutan.’ Dengan demikian 16 juta hektar kebun sawit bisa menjadi ‘hutan.’ Secara statistik ini akan menambah jumlah hutan Indonesia secara signifikan.
Selain itu, hutan-hutan yang ada mudah saja dikonversi menjadi kebun sawit. Karena kebun sawit adalah hutan, bukan?
Kedengarannya sangat akrab bukan? Di negeri ini, kalau aturan menghalangi kepentingan anda, maka ubahlah, iya ubah aturannya. Aturan itu mengikuti kepentingan anda. Bukan sebaliknya.
Untuk saya, menjadikan kebun sawit sebagai tanaman hutan itu sama dengan menjadikan IndoMie sebagai makanan lokal.
Anda tentu tahu, Indonesia adalah IndoMie. Tanpa IndoMie, tidak ada Indonesia. Dan, ada minyak sawit di IndoMie juga. Demikianlah!!