Photo: Logo PBSI (Akun FB Made Supriatma)
Penulis: Made Supriatma
Thomas Cup dan Dua Teori: Semalam saya mengikuti pertandingan bulutangkis memperebutkan piala Thomas. Adrenalin saya naik, tentu saja. Negeri Tiongkok menurunkan tim kelas duanya. Saya tidak tahu mengapa.
Ada yang berteori bahwa Tiongkok sebenarnya menyerahkan piala itu ke Indonesia supaya kepentingan bisnisnya lancar. Saya kira itu prasangka buruk. Saya lebih yakin bahwa Tiongkok menyimpan pemain-pemain kelas satunya untuk kejuaran yang lebih besar dan lebih penting. Saya tidak tahu. Saya bukan pakar perbulutangkisan.
Nah, ada yang menarik diakhir kejuaraan ini. Pemenangnya bukan negara, tetapi lembaga swasta yang berasal dari Indonesia. Bendera Indonesia tidak dikibarkan. Yang berkibar adalah bendera PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia).
Memang ada kata Indonesia disana. Tapi bukan negara Indonesia. PBSI tidak identik dengan NKRI. PBSI adalah lembaga swasta.
Tapi bukankah PBSI menerima dana APBN? Iya. Tapi tidak dengan serta merta menjadikannya sebagai lembaga negara. PBSI menerima bantuan untuk “pembinaan bulutangkis” dari Kemenpora. Itu dana alokasi dana Kemenpora. Di dalam APBN, ada pso dana untuk Kemenpora dan kementrian ini mengalokasikan dananya, salah satunya ke PBSI.
Baca Juga: Nobel Untuk Jurnalisme
Uang bantuan itu tentu saja salah satu sumber pemasukan dari organisasi swasta bernama PBSI ini. Dia pasti punya sumber pemasukan lain.
Jadi, ‘fixed’ bahwa PBSI adalah swasta. Lha terus bagaimana dengan Indonesia? Kan PBSI membawa nama Indonesia juga? Iya betul. Ia lembaga swasta Indonesia.
Terus, bagaimana dengan kebanggaan kita sebagai bangsa? Ya boleh-boleh saja mencantolkan nasionalisme ke dalam prestasi PBSI ini. Sama seperti Anda bangga bahwa Indomie adalah karya jenial anak bangsa.
Tidak ada salahnya. Mungkin berguna juga. Paling tidak rasa bangga itu membuat Anda merasa memiliki bangsa ini dan berbuat sesuatu. Misalnya, dengan cerewet kalau pengelolaannya tidak beres. Bisa saja kan?
Tapi dibalik itu, ada sesuatu yang serius. Lembaga swasta menang Thomas Cup!
Ini akan membuat kaum Libertarian dan kaum Marxis bergembira. Keduanya, dengan alasan berbeda, sangat membenci negara.
Kaum Marxis menganggap negara hanyalah sebuah “panitia penghisapan yang dikendalikan kaum borjuis.” Paham ya arti kata-kata besar itu. Negara itu nanti akan layu dengan sendirinya kalau masyarakat Sosialis tercapai. Itu adalah masyarakat dimana semua orang bekerja sesuai kemampuannya, mendapat sesuai kebutuhannya.
Anehnya, dalam pandangan kaum Marxis, negara itu diperlukan untuk mencapai masyarakat itu. Perlu ada kediktatoran kaum proletariat untuk mewujudkan masyarakat Sosialis itu.
Nah, dalam perspektif ini kemenangan PBSI dalam Thomas Cup ini jelas tidak sejalan dengan kediktatoran proletariat. PBSI adalah lembaga swasta — bukan milik publik dan tidak dikendalikan oleh proletariat, kecuali yang para penontonnya mungkin sebagian besar adalah kalangan proletar.
Kemenangan PBSI ini mungkin akan membuat kaum Libertarian bersuka cita. Kaum ini sangat anti terhadap negara. Mereka lebih kongkrit dari kaum Marxis karena mereka anti negara dari sejak awal.
Fokus Libertarianisme adalah pada kebebasan individu. Jadi apa saja yang mengekang kebebasan individu harus diberantas tuntas. Mereka percaya bahwa kemajuan hanya bisa dicapai kalau orang memaksimalkan kemampuannya.
Tidak ada cara lain untuk memaksimalkan kemampuan kecuali persaingan bebas. Siapa yang hebat, kuat, inovatif, cerdas, dia yang menang. Katakanlah ini semacam Darwinisme sosial. Walaupun agak berbeda juga dan tidak ada ruang disini untuk mengulasnya lebih dalam.
Itu sebabnya kaum Libertarian anti negara. Mereka melihat negara sebagai penghalang kebebasan individual. Mereka sangat pro pasar kapitalisme. Hanya kapitalisme yang mampu memajukan umat manusia karena disini kebebasan (baca: persaingan) dimaksimalkan.
Mereka percaya, kompetisi akan membawa kemajuan. Sebaliknya, regulasi dan redistribusi — yang biasanya dilakukan oleh negara — akan mematikan persaingan dan dengan demikian menghambat kemajuan.
Nah, siapa kira-kira lebih bangga dengan keberhasilan PBSI menyabet Thomas Cup?
Saya kira kaum Marxis akan mengutuk kemenangan swasta ini. Lembaga seperti PBSI itu seharusnya milik negara dan harusnya tunduk dibawah negara. Bukan PBSI yang seharusnya menjadi pemenang. Tapi negara — dalam bentuk idealnya adalah sebuah kediktatoran proletariat (dalam konteks kekinian — kediktatoran oligarkis? 🙂 )
Kaum Libertarian mungkin akan sedikit tersenyum. Pemenangnya adalah lembaga swasta. Bukan negara. Tapi mungkin senyum mereka akan hilang demi mendengar bahwa PBSI menerima dana dari APBN — yang berasal dari pajan warga. Itu tidak seharusnya terjadi! Biar PBSI bersaing dengan kekuatan sendiri!
Jadi, kemenangan PBSI ini membuat teori-teori tentang negara dari kedua pandangan tersebut lebih bernuansa.
Terus, Anda berdiri di paham yang mana? Oh, Pancasila? Mengapa? Karena mantan Marxis banyak di pemerintahan dan Libertarian masuk Golkar?