Nobel Untuk Jurnalisme - Utustoria Nobel Untuk Jurnalisme - Utustoria

Nobel Untuk Jurnalisme

1257
Spread the love

Photo: Ilustrasi (Akun FB Made Supriatma)

Penulis: Made Supriatma

Utustoria.com – Komite Nobel pada tahun ini memutuskan memberikan hadiah Nobel Perdamaian kepada dua jurnalis: Maria Ressa dari Filipina dan Dmitri A. Muratov dari Russia. Keduanya adalah pemimpin redaksi dan pendiri media independen di negaranya masing-masing.

Maria Ressa kita tahu memimpin Rappler. Dulu media ini punya edisi bahasa Indonesia dan sempat meramaikan jagat media di sini. Ijin Rappler sebagai media dicabut oleh otoritas di Filipina pada awal 2018.

Penyebabnya tidak lain adalah karena Rappler dengan berani membuka kebobrokan “perang melawan narkoba” yang dilancarkan oleh Presiden Duterte. Perang ini memakan kira-kira 30,000 nyawa dan korban-korbannya adalah rakyat kecil yang tidak bisa membela diri.

Sementara Dmitri A. Muratov adalah Novaya Gazeta, sebuah media investigatif di Russia. Media ini sesungguhnya didirikan oleh Mikhail Gorbachev, Presiden terakhir Uni Sovyet. Uang pendiriannya berasal dari sebagai hadial Nobel Perdamaian yang diterima oleh Gorbachev pada tahun 1990.

Sejak didirikan, enam jurnalis Novaya Gazeta telah terbunuh. Semua ini berkaitan dengan laporan yang mereka tulis. Tidak terhitung ancaman, pelecehan, dan intimidasi yang mereka terima. Namun media ini tetap berusaha tegak memberitakan apa yang harus diberitakan dan membuat penguasa bertanggungjawab atas apa yang mereka lakukan.

Anugerah untuk kedua jurnalis ini layak disebut sebagai anugerah kepada jurnalisme itu sendiri. Kita tahu bahwa dalam jaman sekarang ini sangat sulit menjadi jurnalis. Ada banyak orang yang berprofesi sebagai “wartawan” namun tidak semua wartawan mengerti jurnalisme dan mampu menghidupi profesinya dalam standar sebagai jurnalis.

Selain itu, di hari-hari ini pekerjaan sebagai jurnalis mengalami ‘defisit kepercayaan’ (trust deficit). Dengan munculnya media-media baru, khususnya sosial media, orang-orang sekarang disodorkan fakta-fakta alternatif (alternate facts) yang memberi tafsiran lain terhadap satu peristiwa.

Tidak mudah untuk mencerna media di jaman seperti ini. Bahkan jika Anda seorang yang bergelut di dunia intelektual sekalipun. Anda selalu diposisikan berada secara relatif terhadap kebenaran. Apa yang Anda yakini benar — bahkan dibuktikan dengan data-data paling ilmiah sekali pun — akan mendapat tandingan. Tandingan itu pun sama-sama berupa kajian ilmiah.

Dengan demikian, menjadi pintar saja tidak cukup. Melek huruf digital juga tidak cukup. Informasi dan media sekarang ini menjadi medan perang yang paling sengit.

Para penguasa tahu persis ini dan menggunakannya untuk kepentingan menambah atau mengabadikan kekuasaan mereka. Dan para penguasa ini melakukannya tidak dengan kekerasan masyarakat vs. negara.

Tidak sama sekali. Para penguasa bahkan tidak merasa perlu untuk terlibat. Yang perlu mereka lakukan adalah menciptakan sebuah komunitas yang dengan sukarela menerima asupan ‘alternate facts.’

Mereka menciptakan gelembung dan mengundang orang-orang yang tertarik untuk hidup di dalamnya. Orang-orang yang hidup dalam gelembung kenyataan benar-benar diarahkan untuk mengamini dan membela apa saja yang dikatakan penguasa. Dan apa yang dikatakan penguasa itu dibikin ‘semasuk akal’ mungkin.

Sehingga, apa yang dibayangkan oleh komite Nobel itu sesungguhnya tidak sesederhana masyarakat vs. negara. Saat ini yang terjadi adalah masyarakat sipil vs. masyarakat sipil. Penguasa membikin sebuah komunitas masyarakat sipil yang percaya pada ‘alternate facts’ tersebut.

Selama beberapa hari ini saya memperhatikan satu liputan yang sungguh mengenaskan. Itu adalah laporan dari Project Multatuli (PM), sebuah media baru yang diasuh oleh jurnalis-jurnalis paling idealis di negeri ini. Laporan mereka tentang perkosaan tiga anak kecil oleh ayah kandung mereka sendiri di Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menyentuh demikian banyak saraf.

Polisi mengatakan bahwa laporan PM tersebut adalah hoax. Para pembela pemerintah dan polisi menyerang habis-habisan PM di media sosial. Puncaknya adalah ketika website Project Multatuli diretas. Sejak kemarin website ini tidak bisa diakses.

Disamping hal menyedihkan yang menimpa PM, ada juga yang memberi harapan. Segera setelah website PM diretas, beberapa media menyatakan solidaritas mereka dengan memuat ulang berita yang ditayangkan oleh PM tersebut. Sepanjang ingatan saya, ini pertama kali solidaritas antar media di Indonesia terjadi.

Akan tetapi, bagaimana pun juga ada hal yang tidak terselesaikan. Itu adalah pembentukan komunitas gelembung yang membela penguasa membabi buta sehingga mereka tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas ketidakberesan serta penyelewengan-penyelewengan yang mereka lakukan.

Bahkan Komite Nobel sekali pun masih meraba-raba untuk menyelesaikan ini. Jika, seperti kata Maria Ressa, kepercayaan (trust) mengikat kuat kita satu sama lain, maka para penguasa ini langsung menyerang ‘trust’ tersebut dengan mempertanyakan kredibilitas berita, menyemai keraguan dengan alternate facts, serta menyerang dan mengintimidasi pembawa berita. Berita dan liputan yang kredible dengan segera menjadi berita palsu (fake news) dan hoax.

Para penguasa — termasuk di negeri ini — tidak saja berkuasa dengan represi tetapi juga dengan manipulasi. Teknologi memberikan kemampuan baru (empower) para penguasa ini dengan menciptakan komunitas gelembung (bubble community) yang hidup dalam alternate facts tadi. Sehingga kita, anggota masyarakat ini, diadu satu sama lain.

Link berita PM: https://tirto.id/gkc2