
Photo: Supriadi Lawani
Oleh: Supriadi Lawani*
Kota, Kapitalisme, dan Gaya Hidup
Di kota-kota besar Indonesia, terutama Jakarta, Surabaya, Makassar, hingga kota-kota kecil seperti Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah yang mulai tumbuh kelas menengah urban, kita melihat fenomena sosial yang menyesakkan namun terus dinormalisasi. Gadis-gadis muda nongkrong di kafe keren, berburu konten Instagram, dan tampil dalam balutan fesyen yang mengikuti tren terkini. Barang-barang mewah seperti iPhone terbaru, sneakers edisi terbatas, atau lipstik merek internasional menjadi alat ukur prestise. Apa yang mereka kenakan dan pamerkan di media sosial lebih menentukan nilai sosial mereka ketimbang isi kepala atau kualitas kemanusiaan.
Dari Gengsi ke Tubuh
Ketika tekanan gaya hidup dan standar eksistensi sosial begitu tinggi, sebagian dari mereka menempuh jalan pintas: menjual tubuh. Bukan di lorong-lorong sempit atau pinggir jalan malam, melainkan dalam ruang-ruang mewah, hotel berbintang, atau aplikasi digital. Praktik ini disamarkan dengan istilah-istilah baru: open BO, sugar baby, exclusive date. Seks tidak lagi menjadi ekspresi cinta atau relasi antarmanusia, melainkan komoditas yang ditukar demi benda: gawai, tas, liburan, gengsi.
Ini bukan soal moral individu, melainkan cermin sistem sosial yang menyaratkan eksistensi lewat kepemilikan. Tubuh bukan lagi bagian dari personalitas, melainkan barang dagangan dalam logika nilai tukar.
Teori Lukács: Reifikasi dan Pemujaan Komoditas
György Lukács, filsuf Marxis Hungaria, menyebut gejala ini sebagai reifikasi atau pembendaan. Dalam kapitalisme, relasi sosial antara manusia berubah menjadi relasi antarbenda. Kesadaran manusia pun dikolonisasi oleh logika pasar. Tubuh bukan lagi tubuh, melainkan barang yang bisa dihitung, dikalkulasi, dan dijual.
Dalam struktur sosial ini, manusia menjadi korban dari fetisisme komoditas: menganggap benda mati sebagai penentu nilai dan kehormatan. Seorang gadis tidak lagi bernilai karena intelektualitas atau moralitasnya, tetapi karena ia mampu membeli, mengenakan, dan memamerkan barang yang dianggap “berkelas”. Lebih jauh, tubuhnya pun masuk dalam sistem ini: semakin montok, semakin putih, semakin sensual, semakin tinggi nilai tukarnya.
Lukács menekankan bahwa ini bukan sekadar masalah perseorangan, melainkan efek dari struktur produksi kapitalis yang menyerap seluruh ruang kesadaran. Pemujaan terhadap komoditas bukan hanya menjadikan manusia konsumen, tetapi juga menjadikan manusia rela menjual dirinya agar bisa tetap konsumtif.
Kebebasan Palsu dan Sistem yang Absen
Sebagian orang akan berkata: itu pilihan mereka. Tapi bagaimana bisa disebut pilihan ketika seluruh sistem mengarahkan ke sana? Pendidikan mahal, lapangan kerja menyempit, keluarga pun sering kali abai. Dalam situasi seperti ini, menjual tubuh menjadi strategi bertahan hidup yang paling cepat. Kebebasan memilih menjadi ilusi dalam sistem yang hanya menawarkan dua pilihan: ikut arus atau tertinggal.
Lukács menyebut situasi ini sebagai kesadaran palsu. Manusia merasa merdeka, padahal seluruh pikirannya telah dikonstruksi oleh sistem yang tak kasatmata. Ketika gadis muda merasa bahwa menjual tubuh demi iPhone adalah keputusan otonom, ia sebetulnya hanya sedang tunduk pada logika kapitalisme yang menyamar sebagai kebebasan.
Kita Semua Terlibat
Dan ini bukan hanya salah gadis-gadis itu. Kita semua bagian dari sistem yang menciptakan mereka. Kita puja selebritas karena bentuk tubuhnya, kita klik dan sebarkan konten sensual, kita ukur harga diri dari barang yang dipakai. Kita biarkan iklan merasuk ke dalam nilai hidup kita. Pendidikan kita gagal mendidik kesadaran kritis. Agama sibuk mengatur moral privat, tapi tak bicara tentang ketimpangan ekonomi. Negara pun lebih sibuk membangun citra ketimbang menciptakan peluang kerja yang adil.
Menuju Kesadaran Baru
Jika kita ingin keluar dari jerat fetisisme ini, kita harus mulai dari membongkar nilai-nilai palsu yang membungkus kehidupan. Tubuh manusia adalah subjek, bukan objek tukar. Eksistensi manusia tak boleh ditentukan oleh benda yang ia punya, tapi oleh martabat yang ia bangun lewat pengetahuan, solidaritas, dan kesadaran kritis.
Esensi pendidikan adalah pembebasan, bukan penyesuaian. Esensi agama adalah keadilan, bukan penghakiman. Dan esensi negara adalah memastikan bahwa setiap anak muda bisa hidup bermartabat tanpa harus menjual diri.
Gadis-gadis urban yang menjual tubuh bukan kriminal. Mereka cermin. Dan kita, jika masih punya nurani, seharusnya lebih takut melihat cerminnya pecah, daripada menuduh bayangan yang ia pantulkan.
Luwuk, 10/6/2025
*Penulis adalah petani pisang.



