Photo: IIlustrasi
Oleh: Supriadi Lawani*
Utustoria.com – Kali ini masih cerita soal pembohong. Pembohong adalah seseorang yang menyampaikan informasi yang tidak benar, sengaja menyesatkan, atau tidak jujur dalam perkataannya. Kebohongan bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti menyembunyikan kebenaran, mengubah fakta, atau menciptakan cerita yang tidak sesuai dengan kenyataan dan sangat sering mengikari janji. Bohong dalam istilah orang Luwuk Banggai dikenal dengan kata “lekos”. Seorang pembohong dalam istilah orang Luwuk Banggai disebut dengan “pambalekos”.
Namun dalam tulisan ini saya tidak membahas tentang istilah tersebut diatas namun lebih kepada sifat pembohong hubungannya dengan genetika ( Gen)
***
Dalam banyak referensi banyak faktor yang mempengaruhi seseorang memiliki sifat suka berbohong. Mulai dari lingkungan, pengalaman hidup, tekanan sosial, keadaan psikologis dan tentunya faktor genetik.
Meskipun berbohong dipengaruhi banyak faktor namun ternyata genetika juga bekerja dalam mempengaruhi faktor perilaku manusia yang sangat kompleks ini.
Peran genetika dalam perilaku berbohong adalah bagian dari studi yang sangat luas mengenai bagaimana gen mempengaruhi perilaku manusia. Meskipun belum ada gen spesifik yang diidentifikasi sebagai “gen pembohong,” ada beberapa aspek genetik yang dapat memengaruhi kecenderungan seseorang untuk berbohong.
Dari berbagai sumber yang saya kumpulkan untuk kepentingan catatan ini, beberapa cara genetika dapat berperan. Dapat kita rangkum sebagai berikut.
Yang pertama faktor kepribadian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa aspek kepribadian seperti impulsivitas, keinginan untuk mengambil risiko, dan rendahnya tingkat empati, yang memiliki komponen genetik, dapat berkontribusi pada perilaku berbohong. Orang dengan kecenderungan impulsif mungkin lebih mudah berbohong tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Yang kedua sistem dopamin di otak, yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan perasaan senang, juga dipengaruhi oleh genetika. Orang yang memiliki sistem reward yang lebih aktif mungkin lebih rentan berbohong jika mereka merasa bahwa berbohong dapat memberikan manfaat atau menghindarkan mereka dari konsekuensi negatif.
Yang ketiga gangguan psikologis. Beberapa gangguan yang memiliki komponen genetik, seperti gangguan kepribadian antisosial atau narsistik, dapat meningkatkan kecenderungan untuk berbohong. Orang dengan gangguan ini mungkin berbohong sebagai bagian dari pola perilaku manipulatif.
Yang keempat pengaruh pada pengendalian diri. Genetika dapat mempengaruhi fungsi eksekutif otak, seperti pengendalian diri dan kemampuan untuk menunda gratifikasi. Kekurangan dalam area ini dapat membuat seseorang lebih cenderung berbohong ketika menghadapi godaan atau tekanan.
Yang kelima adalah interaksi genetik dan lingkungan. Faktor genetik sering kali bekerja bersama dengan faktor lingkungan. Misalnya, seseorang yang memiliki kecenderungan genetik untuk impulsivitas mungkin lebih cenderung berbohong jika mereka tumbuh di lingkungan di mana kejujuran tidak dihargai atau di mana mereka sering melihat kebohongan sebagai cara untuk mengatasi masalah.
***
Demikianlah bahwa perilaku berbohong ternyata tidak dapat dipisahkan dari faktor genetik meskipun juga faktor – faktor lain tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi perilaku seseorang dalam berbohong. Secara keseluruhan, genetika dapat memberikan dasar predisposisi terhadap perilaku tertentu, tetapi lingkungan dan pengalaman individu memainkan peran yang tidak kalah penting dalam membentuk sikap berbohong.
Luwuk 1/9/2024
*Penulis adalah petani pisang