
Photo: Ilustrasi
Oleh: Supriadi Lawani
Utustoria.com – Tulisan singkat ini saya buat ketika belum lama ini saya melihat sebuah foto yang memperlihatkan gambar seorang pejabat publik di kabupaten Banggai Sulawesi Tengah saat sedang memimpin rapat.
Namun bukan tentang dia memimpin rapat yang menjadi fokus saya dalam foto itu tapi gambar seorang perempuan yang nampak dalam layar telepon seluler pejabat publik itu. Singkatnya pejabat itu sedang memimpin rapat namun sambil juga melakukan panggilan video ( vidio call) dengan seorang perempuan muda.
Banyak pejabat publik maupun politisi yang tersandung kasus skandal yang berhubungan dengan perilaku seks sehingga membuat karirnya kemudian dapat dikatakan hancur.
Pada tahun 1998 dunia pernah dikejutkan oleh skandal seks Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dikarenakan hubungannya dengan staf Gedung Putih, Monica Lewinski. Sementara itu, meski menyangkal, (mantan) Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi juga pernah dituding melakukan hubungan seks dengan perempuan di bawah umur.
Di Indonesia sendiri kita banyak mendengar bagaimana politisi yang juga adalah pejabat publik yang terkena skandal seks. Misalnya untuk menyebutkan beberapa contoh adalah apa yang terjadi pada Yahya Zaini, politisi dari Fraksi Partai Golkar, yang harus mundur dari DPR karena video tidak senonoh antara dia dan seorang penyanyi tersebar di masyarakat. Max Moein, dari PDI-P, pada 2008 juga diberhentikan sebagai anggota DPR karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anggota stafnya.
Tulisan singkat ini tidak berpretensi untuk mengungkapkan kasus skandal seperti itu namun mencoba menganalisa secara singkat tindakan seorang pejabat publik ataupun politisi yang dalam tulisan ini saya sebutkan sebagai penguasa dimana dalam kehidupannya berprilaku narsis dan kemudian merambah ke tindakan yang sifatnya seksual.
Narsisme dan Eksploitasi Seks Oleh Penguasa
Narsisme berasal dari mitologi Yunani tentang Narcissus, seorang pemuda yang jatuh cinta pada pantulan dirinya sendiri.
Dalam banyak referensi narsisme ditandai oleh kecintaan yang berlebihan terhadap diri sendiri, kebutuhan akan kekaguman, dan kurangnya empati terhadap orang lain.
Hubungan antara kekuasaan dan perilaku seksual, khususnya dalam konteks narsisme, merupakan topik yang kompleks dan banyak dibahas dalam psikologi sosial serta psikologi kepribadian.
Narsisme seperti yang dijelaskan diatas adalah ciri kepribadian di mana seseorang memiliki persepsi yang sangat tinggi terhadap diri sendiri, seringkali disertai dengan kebutuhan untuk dipuja – puji dan kurangnya empati terhadap orang lain.
Kekuasaan sering kali memperkuat narsisme karena memberikan individu narsistik lebih banyak kesempatan untuk mengendalikan atau memanipulasi orang lain untuk keuntungan pribadi mereka.
Dalam konteks perilaku seksual, individu narsistik yang memiliki kekuasaan bisa lebih cenderung menggunakan kekuasaan tersebut untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan seksual mereka tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.
Beberapa tindakan yang biasanya dilakukan oleh penguasa yang memiliki sifat narsis adalah yang pertama eksploitasi seksual. Individu narsistik mungkin menggunakan posisi mereka untuk mengeksploitasi orang lain secara seksual melalui janji akan keuntungan atau kemajuan karir, atau bahkan ancaman memberhentikan dari pekerjaan jika keinginan mereka tidak dipenuhi.
Eksploitasi ketergantungan dilakukan oleh penguasa narsistik secara sadar untuk mencari individu yang dalam keadaan rentan, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan ekonomi yang mendesak. Mereka menggunakan situasi ini untuk membangun hubungan yang tidak seimbang di mana korban merasa tergantung pada penguasa narsistik untuk dukungan finansial atau stabilitas ekonomi.
Penguasa yang narsistik akan menggunakan kebutuhan ekonomi sebagai alat manipulasi, menjanjikan atau memberikan insentif ekonomi sebagai bagian dari skema yang lebih besar untuk mendapatkan kepatuhan atau kekaguman dari korban.
Yang kedua adalah manipulasi emosional. Penguasa yang narsistik dapat menggunakan kekuasaan untuk memanipulasi emosi dan responsivitas orang lain, menciptakan situasi di mana korban merasa terikat atau terpaksa dieksploitasi untuk memenuhi keinginan seksual pelaku.
Yang ketiga adalah kurangnya empati. Karena kurangnya empati, penguasa yang narsistik sering kali gagal melihat atau mengabaikan efek perilaku mereka terhadap korban mereka, sehingga mereka terus mengejar kepuasan pribadi mereka tanpa rasa bersalah apalagi melakukan permintaan maaf.
Kurangnya empati dalam narsisme membuat penguasa narsistik kurang memperhatikan bagaimana eksploitasi mereka terhadap kebutuhan ekonomi korban mempengaruhi korban secara emosional dan psikologis. Bagi mereka, kebutuhan korban hanya alat untuk mencapai tujuan mereka yaitu kenikmatan seksual.
Dalam banyak kasus, hubungan antara kekuasaan dan perilaku seksual dalam konteks narsisme dapat sangat merusak dan berpotensi berbahaya, terutama bagi korban yang mengalami perilaku tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memberikan dukungan bagi korban eksploitasi, manipulasi dan pelecehan, serta membagikan informasi atau mungkin pengetahuan tentang bagaimana kekuasaan dan narsisme bisa berinteraksi dalam cara yang merugikan dan merusak.
Kilongan permai 10 Mei 2024

Photo: Supriadi Lawani
*Penulis adalah Petani pisang