Photo: Debyantoro dan istri menguburkan anak mereka yang meninggal karena Covid. Debyantoro hanyalah pegawai hotel dengan gaji sekitar 2,7 juta per bulan (US$190). Ketika dia terinfeksi, dia terlalu takut untuk mengaku. Penyakit itu ia tularkan kepada putrinya yang balita, yang akhirnya meninggal. Karena meninggal sebagai penderita Covid, orang-orang kampungnya menolak memakamkan bayinya di kuburan kampung. Jadilah dia memakamkan putrinya di tanah samping kuburan yang kebetulan milik familinya. Ulet Ifansasti untuk The New York Times
Penulis: Made Supriatma
Kita selalu haus pujian dari luar. Kita selalu marah kalau ada hal-hal jelek tentang bangsa ini tampil diluar. Kita tergila-gila pada citra dan sangat serius dengan pencitraan (ingat, baliho ada dimana-mana!)
Hari ini, sebuah koran yang biasanya tidak terlalu peduli dengan Indonesia, menulis laporan panjang. Soal kematian anak-anak akibat Covid-19. Ternyata angka Indonesia dalam hal kematian anak akibat Covid-19 adalah yang tertinggi di dunia.
Pandemi ini telah membunuh 1,245 anak di Indonesia. Tentu saja angka ini hanyalah kematian yang tercatat. Kita tahu banyak kematian tidak tercatat. Sekarang bahkan pemerintah kita memutuskan untuk menghapus kematian dari indikator Covid-19.
Jika di Amerika dan Eropa angka kematian anak ini satu berbanding 1,500 kematian, di Indonesia angkanya adalah satu per 88 kematian. India dan Brazil mencatat kematian anak-anak lebih banyak dari Indonesia namun kedua negara ini mencatat kematian yang juga lebih besar. Dengan demikian, kitalah juaranya.
Apa penyebabnya? Para ahli yang dikutip dalam artikel ini secara telak menunjuk pada satu sebab: kemiskinan. Dibalik kemiskinan ini ada satu hal yang juga menjadi sumber segala penyakit di negeri ini yaitu: KETIMPANGAN.
Artinya, kalau Anda miskin, kemungkinan Anda dan anak-anak Anda kena Covid-19 jauh lebih besar ketimbang Anda kaya.
Sehingga persoalannya adalah karena kemiskinan. Persoalan yang lebih mendalam adalah mengapa Anda miskin?
Menurut saya, secara substansial, tidak mungkin bicara soal penanganan pandemi ini tanpa membicarakan hal besar yang terjadi di negeri ini tapi selalu ditutup-tutupi, yakni ketimpangan.
Ada segolongan orang yang menguasai kekayaan sedemikian besar; ada segolongan orang berusaha menguasai kekuasaan politik sebesar-besarnya. Yang pertama berkolusi dengan yang kedua. Yang kedua bisa berkuasa atas pertolongan yang pertama.
Keduanya seperti mimi lan mintuno, tidak terpisahkan, sehingga punya kekuatan luar biasa besar untuk menghisap apa yang ada di negeri ini. Tanpa sisa.
Saya menulis ini tiga hari sebelum kita diingat-ingatkan bahwa kita sudah merdeka. Betulkah kita sudah merdeka? Bukankah kita dulu melakukan revolusi mengubah tata politik Hindia Belanda dengan janji untuk menghapus ketimpangan ini? Semua warga negara akan disejahterakan, akan dilindungi (termasuk dari penyakit), dan semua orang punya kesempatan dan kebebasan yang sama?
Ya, kita dulu melakukan revolusi. Melakukan perlawanan. Kakek nenek kita menggambari tembok-tembok dengan mural (hei, lihat sekarang bagaimana penguasa kulit coklat bangsa sendiri menghapus mural-mural tentang mereka?)
Nenek dan kakek kita membuat pamflet (hei, lihat bagaimana nasib mereka yang bikin pamflet online, seperti pamflet yang dibikin kakek kita saat revolusi?)
Mereka bikin karya seni — di jalan, di trotoar, di tiang-tiang listrik … bukankah karya-karya ini berusaha dihapus oleh dinas intel, polisi, dan tentara sama persis seperti dulu?
Agaknya ketimpangan tidak menjauh dari kita sejak tahun-tahun 1940an yang penuh kenangan itu. Saya tidak bicara soal ketimpangan ekonomi belaka. Juga ketimpangan politik.
Kita hanya menciptakan bayangan (imajinasi) bahwa kita sudah menciptakan struktur politik yang seimbang; bahwa ekonomi kita terbagi secara adil; bahwa sistem hukum kita berlaku untuk semua orang; bahwa para maling dan garong milik umum dihukum dan dibikin jera; bahwa semua rakyat mendapat perlindungan yang setara … dan lain sebagainya!
Itu semua hanya seolah-olah! Ketimpangan itu sangat jelas namun justru paling tidak tampak dalam semua perbincangan kita sebagai bangsa. Para elit kita secara diam-diam menyodorkan ilusi bahwa ketimpangan itu baik adanya. “Nanti setelah kami makmur, Anda juga akan ikut makmur,” demikian bisik mereka.
Ilusi kemakmuran seperti itu membuat kita tergila-gila pada investasi; pada unicorn; pada Revolusi 4.0 dan segala macam tetek bengek istilah-istilah ‘glowing’ yang membuai kita ke angkasa sementara jongkok di jamban.
Angka-angka pandemik ini, termasuk kematian anak-anak, memperlihatkan secara jelas ketimpangan itu. Di jalan-jalan pun itu terlihat secara gamblang — pasukan hijau dan oranye, pasukan yang hidup dari remah-remah dengan menjadi pengantar ini dan itu namun berkedudukan sebagai ‘mitra’ perusahan.
Kita menormalkan ketimpangan ini dengan segala macam ilusi. Dan, oh ya, para elit kita tidak hanya memelihara ketimpangan ini. Mereka membiakkannya.
Mereka menaruh anak menantunya di kursi kekuasaan. Saya tidak bicara satu dua orang. Lihat berapa menteri yang dulunya adalah anak-anak para elit? Berapa kepala partai yang mendapatkan kursi ketuanya sebagai ‘warisan bapak ibu’? Berapa kepala daerah yang mewariskan kekuasaanya kepada anak, mantu, bini (dan bahkan madu atau bini keduanya)?
Lihat bagaimana mereka menguasai ruang-ruang publik tidak saja di jalan-jalan raya tetapi juga online. Kalau Anda mengeluhkan baliho-baliho di jalan, itu belum seberapa. Lihat jugalah bagaimana baliho-baliho dan tanda-tanda kampanye ini hidup di dunia internet dan dikerjakan oleh gedibal-gedibal elit-elit ini.
Kita sudah merdeka. Dalam ilusi merdeka, tepatnya.