Ketika Kekuasaan Merayakan Tubuh: Budaya Selingkuh dalam Birokrasi Kita - Utustoria Ketika Kekuasaan Merayakan Tubuh: Budaya Selingkuh dalam Birokrasi Kita - Utustoria

Ketika Kekuasaan Merayakan Tubuh: Budaya Selingkuh dalam Birokrasi Kita

1203
Spread the love

Photo: Ilustrasi



Oleh: Supriadi Lawani

Di sebuah kabupaten kecil, tersiar kabar tentang bupati yang menjadikan staf-staf mudanya sebagai “lingkaran dekat”—bukan karena prestasi atau kinerja birokratik, tetapi karena kedekatan personal yang bersifat intim. Awalnya, hanya desas-desus. Lalu muncul tanda-tanda: promosi jabatan yang ganjil, perjalanan dinas yang berulang, dan sikap “patuh” yang seakan berlebihan. Tak lama kemudian, budaya itu menjalar: dari atasan ke bawahan, dari ruang kerja ke ranjang kekuasaan. Selingkuh bukan lagi rahasia, melainkan mekanisme.

Fenomena ini bukan semata skandal pribadi. Ia mencerminkan sesuatu yang lebih dalam dan struktural: bagaimana kekuasaan dalam birokrasi kita tidak hanya menindas dari luar, tapi memproduksi cara berpikir, merasa, bahkan mencintai. Dalam bahasa filsuf Prancis Michel Foucault, kekuasaan modern tidak sekadar memerintah, ia mengatur tubuh dan hasrat.

Tubuh sebagai Medan Kekuasaan

Di masa lalu, kekuasaan raja menampakkan diri dalam bentuk kekerasan: memenggal kepala, menghukum mati, mencambuk di muka umum. Kini, kekuasaan tak lagi keras, melainkan halus—masuk lewat jadwal, laporan, gaji, dan lain-lain hubungan personal. Kekuasaan bukan lagi hanya soal hukum, tetapi juga soal siapa yang tidur dengan siapa.

Seorang staf perempuan muda yang diajak “ngopi” oleh bupati mungkin tahu bahwa itu bukan sekadar basa-basi. Di balik senyuman, ada mekanisme yang bekerja: pengetahuan diam-diam bahwa tubuh bisa menjadi jalan pintas karier. Ini bukan karena perempuan itu “tidak bermoral”, melainkan karena sistem birokrasi telah mengubah tubuh menjadi instrumen politik.

Dalam perspektif Foucault, inilah bentuk kekuasaan yang paling dalam: ketika orang menundukkan dirinya sendiri, bukan karena dipaksa, tapi karena merasa itu wajar. Mereka menyebutnya loyalitas. Padahal, itu bentuk baru dari subordinasi.

Normalisasi Selingkuh dalam Struktur

Apa yang awalnya dianggap menyimpang, kini dianggap biasa. Bahkan, dalam beberapa lingkungan pemerintahan, “kedekatan khusus” antara pejabat dan staf menjadi semacam pengetahuan umum—tak tertulis, tapi bekerja efektif. Orang tahu siapa yang “disayang”, siapa yang “didekati”, dan siapa yang “berpotensi”.

Ini adalah apa yang Foucault sebut sebagai produksi normalitas: kekuasaan menciptakan nilai-nilai baru yang kemudian dianggap lazim. Budaya selingkuh di kantor pemerintah tidak berdiri sendiri; ia ditopang oleh sistem yang menyamarkan kekuasaan sebagai keintiman, dan subordinasi sebagai kedekatan.

Tak mengherankan jika kemudian staf laki-laki pun ikut terseret dalam budaya ini—sebagai pesaing, perantara, atau bahkan pelaku. Kekuasaan seksual bukan hanya milik mereka yang berada di atas. Ia menjadi permainan sosial yang menjangkiti seluruh tubuh birokrasi.

Seksualitas sebagai Strategi Kekuasaan

Dalam buku-bukunya tentang seksualitas, Foucault menolak pandangan bahwa seks hanya urusan privat. Justru sebaliknya: dalam masyarakat modern, seks menjadi salah satu medan utama pertarungan kekuasaan. Negara, agama, sekolah, bahkan kantor pemerintahan—semuanya turut mengatur siapa yang boleh bersentuhan dengan siapa, dalam konteks apa, dan untuk tujuan apa.

Ketika seorang bupati menggunakan jabatannya untuk membentuk “lingkaran dalam” yang bernuansa seksual, ia tidak sekadar melanggar etika. Ia sedang menjalankan biopolitik: mengatur kehidupan manusia hingga ke level paling personal—tubuh, hasrat, dan relasi interpersonal. Selingkuh tidak lagi hanya dosa pribadi, tetapi mekanisme pengelolaan sumber daya manusia dalam bentuk paling banal dan paling vulgar.

Siapa yang Bisa Melawan?

Sialnya, ketika norma sudah berubah, maka kritik pun dianggap aneh. Mereka yang menolak ikut dalam permainan ini—baik laki-laki maupun perempuan—akan dianggap “tidak luwes”, “tidak tahu diri”, atau “tidak loyal”. Birokrasi menjadi ruang yang membentuk subjek-subjek patuh, bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka tahu: untuk bertahan, harus ikut arus.

Lalu siapa yang bisa melawan? Hanya mereka yang sanggup melihat kekuasaan bekerja bukan hanya di meja kerja, tapi juga di dalam tubuh mereka sendiri. Kesadaran kritis adalah langkah pertama. Tapi setelah itu, dibutuhkan keberanian struktural—dari dalam maupun luar sistem—untuk menyapu kekuasaan yang menyaru sebagai cinta.

Penutup: Dari Kekuasaan ke Perlawanan

Budaya selingkuh dalam birokrasi bukan fenomena moral semata. Ia adalah simptom dari struktur kekuasaan yang membusuk dari dalam. Foucault tidak menawarkan solusi normatif. Tapi ia mengajarkan kita satu hal penting: bahwa kekuasaan selalu bisa ditelusuri, dibongkar, dan dilawan—asal kita mau berhenti melihat tubuh sebagai objek pasif, dan mulai melihatnya sebagai medan politik.

Di tengah godaan kekuasaan yang membius, barangkali inilah saatnya kita berkata: cukup. Kekuasaan boleh merayakan dirinya dalam banyak bentuk, tapi tubuh kita bukan panggungnya.

Luwuk, 11/6/2025
Penulis adalah petani pisang



TAG