Photo: Labi Mopok
"...maka saya yang saat itu masih kecil selalu diajak menanam pohon beringin oleh orang tua saya, sebab kebanyakan burung memakan buah biji dari pohon itu." Ungkap Labi menceritakan kisahnya.
Utustoria.com – Sejak tahun 1983, saat dirinya masih berusia 7 tahun dan duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar, ia kerap kali ikut bersama orang tuanya untuk berburu satwa di hutan liar. Sebagai keluarga yang kesehariannya bergantung hidup pada hasil buruan, Labi Mopok masih ingat tentang bagaimana keluarganya memperlakukan hutan. Tidak hanya berburu, aktivitas lainnya yang mereka lakukan adalah menanam pohon. Berbagai macam jenis pohon di tanam dengan tujuan menjaga kelestarian satwa.
“Agar burungnya tidak lari, dan tetap bisa berkembang biak di hutan buruan kami, maka saya yang saat itu masih kecil selalu diajak menanam pohon beringin oleh orang tua saya, sebab kebanyakan burung memakan buah biji dari pohon itu.” Ungkap Labi menceritakan kisahnya.
Pengalaman di masa kecil itulah yang membentuk kesadarannya. Waktu yang melaju, di Tahun 2001 Labi Mopok menikah, membangun keluarga kecil yang baru, namun disaat itu juga, di Tahun yang sama Ayah Labi meninggal dunia. Sejak saat itu Labi mengambil tugas yang lebih berat dan tanggung jawab yang lebih besar.
Berjarak 4 Tahun dari masa yang dianggap suram itu, tepatnya 2005, Labi mengajak keluarganya untuk bermukim di hutan masa kecilnya dan meninggalkan perkampungan. Menurutnya, hutan adalah tempat pertahanan yang paling mungkin untuk melanjutkan hidup.
Dari laporan yang diberikan Labi, bahwa berjarak 1 tahun semenjak ia menetap di hutan Kokolomboi, yang ada di Wilayah Desa Leme – Leme , Kecamatan Buko, Banggai Kepulauan, datanglah beberapa peneliti Eropa yang menurut Informasinya melakukan penelitian terhadap satwa yang ada di Lingkungan wilayah mereka.
Dari penelitian tersebut, Labi dan warga setempat mengenal satwa endemik seperti Gagak Peleng, Tarsius, Kus – kus, Babi hutan, dan Rusa. Lebih dari itu, pola pertahanan hidup mereka juga ikut berubah. Kerap datangnya para peneliti dan juga wisatawan menjadi salah satu objek mata pencaharian warga dengan cara mendampingi, menyediakan tempat tinggal (Homestay), hingga memenuhi permintaan pengunjung yang tidak jarang meminta disediakan beragam kuliner lokal.
Tahun 2012, pemerintah setempat ikut terlibat untuk melengkapi data terkait Kokolomboi. Selebihnya pemerintah daerah melalui Dinas terkait memberi penawaran kerja kepada Labi dan warga setempat untuk secara profesional menjaga area hutan Kokolomboi yang memiliki luas 13,6 hektar. Dari upah yang dianggap cukup dan keseriusan mengelola hutan, Labi dan dua orang kawannya membentuk kelompok Budidaya madu hutan, mereka kemudian mulai melakukan budidaya dan produksi madu batu dan madu dahan.
Terhitung sejak dimulainya usaha budidaya lebah madu, ekonomi warga kian terbantu. Labi dan kelompoknya menghitung ada sekira 21 orang petani madu yang telah serius menjadikan madu sebagai sumber pendapatan.
Tahun 2021 adalah tahun yang dianggap sebagai titik tolak untuk masa depan penghidupan yang lebih baik bagi Masyarakat setempat dan juga Labi Khususnya. Pertamina EP Field Donggi Matindok sebagai perusahaan hulu migas yang terletak di Kabupaten Banggai yang merupakan Kabupaten tetangga, turut menjadikan wilayah Dusun Kokolomboi, Desa Leme – leme darat sebagai objek pemberdayaan masyarakat.
Dengan konsep manajamen keberlanjutan, Pertamina EP Field Donggi Matindok menandatangani perjanjian kerjasama tentang Pengembangan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) Kokolomboi.
Sejak komitmen itu dibuat, pembangunan fasilitas pembibitan tanaman lokal sebagai langkah pengayaan pakan alami satwa endemik dilakukan. Selain itu, Perbaikan lahan kritis sebagai langkah pemeliharaan vegetasi rantai, Pelatihan budidaya madu dan pendampingan budidaya yang ramah lingkungan menjadi prioritas, termasuk juga monitoring indeks keanekaragaman hayati.
Belum berhenti dan juga masih menjadi tanggung jawab bagi Labi dan kelompoknya adalah keterancaman Tarsius Peleng sebagai salah satu dari 2.573 satwa yang sedang menghadapi resiko kepunahan serta Gagak Banggai yang merupakan salah satu dari 1.742 satwa yang berisiko punah dalam waktu dekat.
Bersama dengan Pertamina EP DMF, Masyarakat Kokolomboi serta pemerintah daerah Kabupaten Banggai Kepulauan telah berkomitmen melewati semua bentuk tantangan yang hadir. Hingga kini, dampak yang diperoleh oleh warga Kokolomboi dengan adanya taman Kehati ialah Perbaikan kualitas lingkungan antara lain berupa peningkatan indeks keanekaragaman hayati flora dari 4,11 menjadi 4,14 (+0,73%) dan fauna dari 3,22 menjadi 3,28 (+ 1,86%), hingga peningkatkan pendapatan anggota kelompok madu sebesar Rp 9,832,000/orang/bulan,dan replikasi kawasan konservasi di 6 desa tetangga di sekitar Leme – leme darat.
Inilah hasil dari kerja keras Labi bersama kawan – kawan yang tergabung dalam kelompok budidaya lebah madu. Mereka adalah manifestasi dari cinta dan cita – cita. Warga Kokolomboi telah memberi contoh tentang bagaimana menjadi pahlawan dilingkungan tempat kita bertahan hidup. Labi Mopok adalah pahlawan di daerahnya (Local Hero), tanpa usaha yang gigih dan kerja yang tanpa hati barangkali taman wisata Kehati tidak akan berkembang pesat dengan semacam ini.
Kedepannya, Labi berharap dukungan pemerintah dan juga semua pihak dapat terus mengalir, seperti penanaman media pohon palem. Sebab, batang pohon palem bisa digunakan berkali-kali sebagai media sarang lebah hutan. Hal ini dapat mengurangi penebangan pohon di dalam Hutan Pulau Peleng.
“Sekarang, masyarakat sudah menggunakan batang pohon palem yang sudah mati untuk dijadikan sarang lebah dan sudah tidak dilakukan lagi penebangan pohon di area Hutan Primer Pulau Peleng.” Tutup Labi Mopok, penuh rasa bangga saat hadir sebagai pembicara di kegiatan media gathering Pertamina EP Region 4, di Kota Jogjakarta. (Red)