Photo: Supriadi Lawani
Oleh : Supriadi Lawani
Utustoria.com, Banggai – Perubahan dinamika politik di eropa di awal abad kesembilan belas dengan bangkitnya ekonomi kapitalisme yang melahirkan gagasan dan ide -ide politik kaum – kaum liberal juga ikut merubah konstalasi kebijakan politik di daerah jajahan termasuk Hindia Belanda saat itu.
Pada 17 September 1901, Ratu Belanda Wilhelmina mengumumkan bahwa Belanda menerima tanggung jawab politik etis demi kesejahteraan rakyat kolonial mereka. Sejak politik etis diterapkan di Hindia Belanda maka sekolah -sekolah yang diperuntukan untuk rakyat non eropa atau yang lebih dikenal dengan Bumi Putera mulai dibuka, ataupun sekolah – sekolah yang sudah ada sebelumnya yang hanya diperuntukan bagi orang-orang eropa sudah menerima murid Bumi Putera.
Tapi perlu diketahui bahwa politik Etis bukanlah kebaikan hati penjajah kolonial namun keharusan sejarah dimana kapitalisme yang melahirkan industri modern dan mesin -mesin terbaru saat itu mengandaikan tenaga kerja terampil dan terdidik, oleh karenanya mendirikan dan membuka sekolah moderen adalah keharusan. Sekolah kolonial ditujukan untuk dapat melahirkan apa yang dikenal sebagai tenaga kerja upahan modern atau dalam kosa kata marxis disebut proletariat modern.
Namun bukan hanya proletariat modern yang dilahirkan oleh sekolah kolonial tapi juga intelektual modern dengan didikan barat juga telah lahir yang mana kemudian menjadi salahsatu tulang punggung dalam pergerkan kemerdekaan nasional. Sejarah kemudian mencatat peran – peran intelektual Indonesia awal dalam peregerakan pembebasan nasional, Ibrahim Tan Malaka atau lebih dikenal dengan Tan Malaka saja, Ir. Soekarno, Drs.Moh. Hatta, Amir Syarifudin, Sutan Syahrir, dr.Cipto Mangunkusumo, Supomo, Moh Yamin dan masih banyak lagi lulusan perguruan tinggi Belanda maupun Hindia Belanda yang meskipun berbeda keyakinan politiknya namun satu cita-cita yaitu Indonesia merdeka lepas dari Kolonialisme, Kapitalisme, Imperialisme dan Feodalisme.
Hampir semua tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia lulusan universitas merasakan penjara baik dari pemerintah Hindia Belanda maupun pemerintahan fasis Jepang. Para intelektual pejuang tersebut melahirkan ide, gagasan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia dan memuncak dengan lahirnya Pancasila dan UUD 1945.
Cita – cita keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, memastikan setiap warga negara mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak dan masih banyak cita-cita mulia lainnya yang kemudian menjadi hak konstitusional warga negara adalah hasil dari perdebatan ide dan gagasan intelektual yang berpihak kepada rakyat miskin yang tertindas. Intelektual yang berpikir dan berpihak kepada rakyat miskin dan tertindas inilah yang menjadi lokomotif Indonesia merdeka dan oleh karenanya dan sudah seharusnya para intelektual generasi kemudian menerapkan dan memajukan gagasan dan cita-cita intelektual pendiri bangsa ini.
Namun kenyataan ternyata tidak seperti yang seharusnya dimana saat ini khususnya di kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, kita seperti kehilangan semangat itu, para intelektual kita yang sekarang berada di kampus-kampus kelihatan hanya berdiam diri dan terkesan tidak ambil peduli terhadap apa yang terjadi kepada rakyat miskin ataupun rakyat pada umumnya.
Perlu saya tegaskan dalam tulisan singkat yang sederhana ini bahwa intelektual yang saya maksudkan dalam percakapan kita saat ini adalah para dosen yang ada di universitas atau akademi yang berada di kabupaten Banggai. Para intelektual di kampus sependek pengetahuan saya hanya seperti pekerja kantoran pada umumnya yang mana sebagai dosen mereka masuk kampus untuk mengajar mahasiswa dan pulang, kalaupun ada kegiatan penelitian itu hanya untuk kebutuhan publikasi ilmiah sebagai syarat memperoleh angka kredit untuk tujuan kenaikan pangkat akademik.