Orang Miskin, Konsumerisme dan Hutang Setelah Lebaran - Utustoria Orang Miskin, Konsumerisme dan Hutang Setelah Lebaran - Utustoria

Orang Miskin, Konsumerisme dan Hutang Setelah Lebaran

926
Spread the love

Photo: Ilustrasi

Oleh : Supriadi Lawani

Utustoria.com – Dalam tulisan saya beberapa waktu lalu saya sempat mencatat bagaimana kehidupan teman lama saya, teman saat kecil yang harus bertahan hidup dengan pendapatan yang “pas-pasan”. Dan dengan pendapatan seperti itu dia dan tentunya banyak lagi diluar sana yang bernasib sama rentannya harus merayakan lebaran yang bagi saya sangat mahal bagi ukuran kita dengan pendapatan tidak tentu sebagai pekerja informal tanpa tunjangan apapun.

Kali ini catatan singkat saya terinspirasi dari masalah yang harus dihadapi teman saya yang lain, yang saya kira bernasib sama dengan teman saat kecil saya, yang saya temui tempo hari. Teman saya ini pada prinsipnya adalah pekerja rentan juga, dia bekerja disektor konstruksi dengan mengandalkan proyek -proyek kecil dari pemerintah daerah ataupun dari beberapa perusahaan swasta. Sebagai kontraktor yang sangat kecil teman saya ini yang juga adalah suami dan ayah dari dua orang anak dibeberapa bulan terakhir tidak mendapatkan satu kontrak pekerjaan apapun dan tabungan telah habis saat bulan Ramadhan. Saat menjelang lebaran seperti yang dia ceritakan kepada saya, dirinya harus meminjam uang kepada beberapa rekanan dan teman guna membiayai hari lebaran, bayar kontrakan, tagihan air dan listrik. Sungguh hidup yang sangat rentan.

Saya mengistilahkan kehidupan rentan seperti teman saya tersebut sebagai orang miskin. Orang miskin pada umumnya adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiliki keterbatasan ekonomi. Mereka yang tidak atau terbatas memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya seperti uang, makanan, tempat tinggal, pendidikan, atau layanan kesehatan.

Seperti yang saya sebutkan diatas lebaran adalah sesuatu yang mahal bagi kebanyakan rakyat yang bekerja disektor informal, pekerjaan tanpa tunjangan apapun dari pemerintah maupun perusahaan swasta, sebuah pekerjaan tanpa perlindungan sosial. Singkatnya lebaran adalah mahal bagi orang- orang miskin.

Lebaran yang mahal ini saya kira perlu untuk kita diskusikan sedikit pada kesempatan ini, bagaimana budaya konsumerisme merubah arah gerak dan semangat lebaran yang seharusnya penuh kesederhanaan yang khidmat.

Lebaran dan Konsumerisme

Dalam tulisan sebelumnya saya mencatat sedikit banyak tentang lebaran yang jika kita tuliskan secara singkat bahwa lebaran adalah istilah untuk merayakan Idul Fitri, juga dikenal sebagai Hari Raya Idul Fitri yang dapat diartikan sebagai salasatu hari raya besar umat Islam yang dirayakan untuk menandai akhir bulan puasa Ramadan. Lebaran Idul Fitri bukan sekedar perayaan namun sejatinya dan seharusnya setelah berpuasa sebulan penuh, maka lebaran dapat menjadi momen refleksi bagi umat Islam tentang kondisi sosial di sekitar mereka, termasuk kemiskinan dan kesulitan yang dihadapi oleh banyak orang.

Namun jika kita amati setiap tahunnya lebaran menjadi semakin hilang nilai – nilai kesederhanaannya dan bergerak menuju lebaran yang penuh konsumerisme. Kita telah melihat bagaimana sejak bulan Ramadhan orang – orang seperti perlombaan mulai belanja macam-macam, mulai dari makanan sampai dengan pakaian yang belum tentu dapat dimakan dan dipakainya, dimana budaya ini semakin massif menjelang lebaran.

Menurut Jean Baudrillard seorang filsuf Perancis, konsumerisme sebagai fenomena yang jauh lebih kompleks daripada sekadar membeli barang atau jasa. Baginya, konsumerisme melibatkan proses di mana barang-barang dan simbol-simbol menjadi pusat budaya dan identitas sosial.

Menurut Baudrillard, dalam masyarakat konsumsi, barang-barang tidak hanya memiliki nilai penggunaan atau nilai tukar, tetapi juga memiliki nilai simbolis yang kuat. Konsumerisme tidak hanya tentang memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga tentang ekspresi identitas dan status sosial. Barang-barang tidak hanya berfungsi sebagai alat praktis, tetapi juga sebagai penanda status, kekuatan, dan keberhasilan dalam masyarakat.

Baudrillard juga menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumsi, kita sering kali terlibat dalam apa yang ia sebut sebagai “simulasi” atau “realitas tiruan”. Ia berpendapat bahwa dalam masyarakat konsumsi, simbol-simbol dan citra-citra diciptakan dan dikonsumsi tanpa referensi yang jelas ke realitas yang nyata. Dengan kata lain, realitas diubah menjadi sesuatu yang dapat diproduksi, dikonsumsi, dan dimanipulasi oleh media, iklan, dan industri budaya.

Dalam pandangan Baudrillard, konsumerisme bukan hanya tentang pemenuhan kebutuhan materi, tetapi juga tentang produksi dan konsumsi simbol-simbol, citra, dan keinginan. Hal ini berdampak pada cara kita memahami diri kita sendiri, hubungan sosial, dan bahkan realitas itu sendiri.

Berdasarkan paparan Baudrillard diatas dapat kita lihat bahwa lebaran telah bergerak meninggalkan kesederhanaannya dan menuju apa yang kita kenal sebagai prestise, sebagai ajang menunjukkan dan memamerkan status sosial , kehormatan dan kedudukan oleh seseorang atau keluarganya. Lebaran kini, bagi saya telah kehilangan makna sejatinya.

Orang Miskin dan Hutang Setelah Lebaran

Seperti yang saya tuliskan sebagai pembuka diatas, saya menyimpulkan bahwa masih banyak rakyat miskin di daerah kita yang rentan dalam setiap hari kehidupannya, seperti yang dialami teman saya. Namun konsumerisme tidak hanya “menjangkiti” orang-orang yang berpenghasilan diatas rata-rata penghasilan masyarakat, tidak hanya menjangkiti orang kaya namun seperti virus dia dapat menjangkiti semuanya tanpa terkecuali dan tentunya orang miskin yang sering terkena penyakit asam lambung itu.

Budaya konsumerisme ini telah memaksa rakyat miskin untuk membelanjakan uangnya yang sedikit itu dan jika tidak cukup dia harus berhutang. Berhutang bisa kepada siapa saja, bisa teman, bisa keluarga dan yang paling muda buat rakyat miskin adalah berhutang ke lembaga keuangan berkedok koperasi  yang sejatinya adalah rentenir atau lintah darat dan pastinya dengan bunga pinjaman yang tinggi yang harus dibayar setiap hari.

Ternyata lebaran penuh senyuman dan kebahagian itu tidak seindah di foto dan video yang unggah ke media sosial. Lebaran bagi rakyat miskin adalah semacam perjuangan hidup mati. Setelah lebaran harus membayar hutang, dan seperti saya tuliskan diatas harus membayar kontrakan, tagihan listrik dan air bersih. Dan tidak ada cara lain selai berhutang dan berhutang lagi. Hutang adalah hantu sepanjang tahun yang menyertai kehidupan rakyat miskin.

Konsumerisme telah merenggut paksa nilai-nilai keramat kesederhanaan lebaran yang religius mejadi pemujaan komoditi. Orang – orang berbelanja bukan karena kebutuhannya namun karena keinginan alam bawah sadarnya, barang – barang berubah menjadi pujaan bukan sebagai kegunaan. Dan lagi -lagi rakyat miskin tersandera karenanya, tersandera oleh hutang.

Lebaran Idul Fitri adalah puncak menuju “fitrah” setelah berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Kata “fitrah” sering kali merujuk pada fitrah manusia atau kodrat manusia yang asli, yaitu kecenderungan atau naluri bawaan yang dimiliki oleh manusia untuk mengenal dan menyembah Tuhan, Allah Swt. Kembali ke fitrah adalah kembali ke asal kita sebagai hamba yang merendah di hadapan allah Swt. Namun ditengah kemiskinan, hutang dan konsumerisme saya sedikit sangsi bahwa kita akan Kembali ke Fitrah yang sejati.

Kilongan Permai 15 April 2024

Photo: Supriadi Lawani

*Penulis adalah petani pisang