Perempuan dan Politik di Banggai, Sedikit Catatan Singkat - Utustoria Perempuan dan Politik di Banggai, Sedikit Catatan Singkat - Utustoria

Perempuan dan Politik di Banggai, Sedikit Catatan Singkat

1352
Spread the love

Photo: Ilustrasi

Oleh: Supriadi Lawani

Utustoria.com – Catatan singkat ini saya tulis untuk memperingati hari perempuan sedunia atau yang sering disebut International Women’s Day (IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret setiap tahunnya.

Sejarah hari perempuan sedunia ini secara singkat bermula pada tahun 1908 ketika ketika kurang lebih lima belas ribu (15.000) perempuan berbaris disepanjang kota New York menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik dan hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Setahun kemudian, Partai Sosialis Amerika mendeklarasikan Hari Perempuan Nasional pertama.

Demikianlah 8 Maret adalah sejarah monumental bangkitnya gerakan perempuan untuk terlepas dari segala macam diskriminasi yang bersifat gender dan bergerak menuntut hak – hak demokratik dan persamaan dalam segala lini kehidupan mulai dari ekonomi, politik dan sosial kebudayaan.

Di Indonesia sendiri pasca pemerintah Ir. Soekarno kalah gerakan perempuan mengalami kehancuran yang sangat brutal setelah peristiwa huru hara politik tahun 1965 dimana begitu banyak aktivis perempuan dibunuh, diperkosa dan dipenjarakan rezim otoritarian orde baru yang dipimpin Jendral Soeharto.

Namun pasca reformasi gerakan perempuan mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Mulai terbentuk organisasi perempuan baik itu ditingkatkan mahasiswa, organisasi masyarakat sampai dengan membentuk organisasi non pemerintah ( ornop atau LSM).

Isu gerakan perempuan sampai hari ini belum juga bergerak jauh dari isu – isu lama, mulai dari kebutuhan dasar perempuan sampai kesetaraan gender dalam segala sektor kehidupan.

Walaupun perjuangan perempuan pasca reformasi ini sedikit banyak memperoleh keberhasilan seperti misalnya adanya Undang – undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, afirmatif action dalam undang – undang pemilihan umum terkait syarat wajib keterwakilan perempuan 30% dalam pencalonan sampai dengan undang – undang tindak pidana kekerasan seksual namun dalam kehidupan politik secara praktis masih ada pekerjaan yang harus dilakukan khususnya kaum perempuan dalam menginternalisasi kesadaran perempuan khususnya dalam politik.

Kesadaran perempuan dalam politik inilah yang menjadi tujuan catatan singkat ini, bagaimana aktor – aktor politik perempuan di kabupaten Banggai ini mengaktualisasikan narasi politiknya dalam perspektif perempuan, bagaimana gagasan politik perempuan mewujud nyata dalam program politik, bagaimana perempuan politik memikirkan perempuan pada umumnya.

Perempuan dan Politik

Perempuan dan politik mengacu pada partisipasi, representasi, dan pengaruh perempuan dalam ranah politik. Ini termasuk keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan politik, baik sebagai pemilih, calon, atau pejabat terpilih. Selain itu, ini juga melibatkan advokasi untuk isu-isu yang memengaruhi perempuan, seperti kesetaraan gender, hak reproduksi, kekerasan terhadap perempuan, dan kebijakan publik lainnya yang relevan dengan kesejahteraan perempuan.

Peran dan partisipasi perempuan dalam politik penting untuk mencapai representasi yang lebih adil dan kebijakan yang lebih inklusif bagi seluruh masyarakat.

Keadilan publik inilah yang menjadi tujuan bagi politik perempuan yang mengacu pada upaya untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara terhadap keadilan dalam sistem hukum dan lembaga publik lainnya.

Tidak Hadirnya Narasi Perempuan Dalam Politik Di Banggai

Narasi politik perempuan adalah cerita atau naratif yang menyoroti pengalaman, perjuangan, dan pencapaian perempuan dalam ranah politik. Ini mencakup berbagai aspek, seperti perjuangan untuk mendapatkan hak politik, representasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik, advokasi untuk isu-isu yang memengaruhi perempuan, dan peran perempuan dalam mengubah sistem politik yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan perempuan. Narasi politik perempuan juga bisa melibatkan pencerahan tentang stereotip gender, peran penting perempuan dalam memimpin dan mengambil keputusan politik, serta pentingnya kesetaraan gender dalam mencapai tujuan-tujuan politik yang lebih luas.

Di kabupaten Banggai Sulawesi Tengah narasi perempuan dapat dikatakan tidak pernah hadir dalam setiap percakapan politik baik dari aktor politik perempuan apalagi aktor politik laki – laki.

Kita belum mendengar ada politisi perempuan yang bicara dan berjuang membuka lapangan pekerjaan untuk perempuan, kita belum mendengar politisi perempuan akan berjuang agar pemerintah daerah memberikan modal usaha untuk ibu – ibu rumah tangga, kita belum pernah mendengar politisi perempuan berjuang untuk meningkatkan anggaran pemerintah daerah untuk pemeriksaan alat reproduksi perempuan secara gratis dan berkala, kita belum pernah mendengar politisi perempuan berjuang untuk meningkatkan anggaran pendampingan psikologis untuk perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan seksual, kita belum pernah mendengar politisi perempuan bergerak untuk mendesak agar anggaran pendampingan hukum bagi perempuan korban kekerasan di adakan dan ditingkatkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kita belum pernah mendengar politisi perempuan bicara tentang perempuan di kabupaten Banggai.

Absennya atau tidak hadirnya narasi perempuan ini tentunya bukan hanya ditimpakan sebagai kesalahan aktor politik perempuan namun secara sosial ekosistem sosial politik kita memang belum menumbuhkan diskusi – diskusi terkait isu – isu perempuan dan kesetaraan gender, karena hanya dengan adanya ekosistem yang baik kita dapat melakukan dialog yang konstruktif, dari dialog yang konstruktif kita dapat melahirkan gagasan bersama, dari gagasan bersama kita bisa menyusun peta jalan dan aktivitas bersama.

Sebagai penutup tulisan singkat ini saya berharap kedepannya kita semua masyarakat Banggai bisa menciptakan ekosistem yang baik untuk menghadirkan narasi perempuan dalam kehidupan sosial politik kita, karena tanpa keterlibatan perempuan yang sadar dalam politik keadilan sosial tidak dapat terwujud.

*Penulis adalah petani pisang

Photo: Supriadi Lawani