Kiat-Kiat Mempecundangi Ruang dan Waktu - Utustoria Kiat-Kiat Mempecundangi Ruang dan Waktu - Utustoria

Kiat-Kiat Mempecundangi Ruang dan Waktu

688
Spread the love

Photo: Ilustrasi

Kiat-Kiat Mempecundangi Ruang dan Waktu

Karya Abdy Gunawan

Utustoria.com - SMA 1 Kota Katege menjadi tempat Arman menghabiskan setengah waktunya dalam sehari. Mulai pukul 7 pagi hingga 2 siang, ia harus berbagi pengetahuan soal sastra dan Bahasa Indonesia kepada murid-murid kelas tiga yang berjumlah lima puluh satu orang itu. 

Meski bukan cita-citanya sejak awal, tapi Arman bersyukur punya pekerjaan yang membuatnya mampu membeli satu bungkus rokok Surya Gudang Garam yang dinikmatinya setiap hari bersama segelas kopi hitam yang menjadi barang wajib ketika dia akan menulis naskah drama.

Walau baru dua bulan, Sinyo ketua kelas tempat Arman mengajar, tahu betul kebiasaan, hobi bahkan impian menjadi peteater profesional yang selalu diidam-idamkan guru favoritnya itu, tetapi Sinyo kurang puas ketika Arman mengatakan kalau menjadi seorang guru adalah takdir yang ditetapkan Tuhan padanya.

“Mengapa bapak menyerah pada impian menjadi seniman teater?”

“Ah sudah beberapa kali kubilang, itu takdir, lagipula aku tidak muda lagi.”

Selain persoalan takdir yang membuat Sinyo bingung, pernyataan “tidak muda lagi” Arman masih menjadi pernyataan yang menggantung sejak pertama kali mereka berdua bertemu. Kalau dilihat dari tampilan fisik, Arman masih begitu muda. Meski ia mengenakan seragam khas aparatur sipil negara, model anak kuliahan tidak bisa dipisahkan dari dirinya. Hanya janggut dan kumis tipis yang sedikit saja mampu membuat orang lain menganggapnya berumur.

Sinyo pernah berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya. Sewajarnya orang seusia Sinyo masih duduk di bangku kuliah, karena raut, pembawaan dan cara dia bersikap tidak bedanya dengan kita anak SMA. Mungkin siswa lain tidak sekritis Sinyo. Mereka menganggap wajar ada guru walaupun sudah dicap sebagai orang tua, tapi tampangnya memang awet muda.

Pernah waktu Arman memperkenalkan diri di hadapan murid-murid di kelas Sinyo, munculah pertanyaan tentang tempat kuliah, bagaimana hingga bapak menjadi seorang guru, “Yah seperti biasa, seperti yang teman-teman ketahui.” Para murid pun menerima begitu saja jawaban Arman, yang barangkali mereka telah jatuh hati dengan sosoknya yang gaul dan keren, sangat berbeda dengan guru lain yang berada di SMA 1 Katege.

Setelah dua bulan mereka berdua saling sapa dan bertukar pikiran, akhirnya Sinyo serupa dengan teman-temannya.Tidak lagi mengusik latar belakang Arman. Ia lebih fokus kepada isi kepala yang bersangkutan, terutama terkait teater.

Banyak ilmu yang telah dibagikan Sinyo kepada siswa-siswinya, baik di dalam maupun di luar kelas saat Arman mengajak mereka nongkrong di warung kopi. Sekelompok anak muda yang tertarik dengan dunianya, ia wadahi dengan sanggar yang bergerak di bidang pementasan drama.

Sebagai orang yang mulai tertarik dengan seni pertunjukan, tidak lengkap rasanya jika Sinyo belum mengetahui alasan sebenarnya Arman mengurungkan niatnya menjadi peteater professional. Akhirnya seusai latihan musikalisasi puisi di sekolahnya, Sinyo kembali mengulang pertanyaan yang pernah ia tanyakan dahulu.

“Seorang gadis, semasa ku kuliah.”

“Hah? Hanya karena seorang gadis, bagaimana bisa?.”

“Aku menyukai teater pertama kali saat melihat dia tampil, lalu aku pun tertarik untuk mendalami bentuk kesenian tersebut, sampai akhirnya aku berencana untuk menjadikan teater profesiku nantinya, menjadi jawaban ketika ada orang yang bertanya tentang pekerjaanku.”

“Apa yang terjadi setelah itu? Mengapa ia mampu membunuh mimpimu.”

“Hahaha apa kau pikir aku akan berhenti menjadi serius dan terbuka kepadamu sekarang, jangan berharap, Nak! Kamu tetap tidak akan mendapatkan apa-apa tentang diriku.”

Upaya Sinyo sia-sia. Ia sama halnya dengan orang lain yang mengenal Arman. Mereka hanya sekedar tahu tentang nama, apa yang bisa ia lakukan dan informasi bahwa dia adalah pendatang di kota tempat Sinyo tinggal.

Anehnya, semua siswa dan guru di sekolah tidak menaruh curiga pada Arman. Alih-alih mencari tahu siapa dan darimana sebenarnya pengajar baru itu, mereka fokus pada apa yang terlihat dari luar. Arman, guru yang punya pengetahuan dan skill praktek yang mumpuni di bidang drama, mudah bergaul, humoris, dan rajin ketika diberikan tanggung jawab lain oleh pihak sekolah.

* * *

Murid kelas satu memadati halaman SMA 1 Katege. Hari pertama masa orientasi siswa (MOS) bagi para siswa baru diawali perkenalan klub-klub kegiatan ekstrakurikuler yang ditawarkan sekolah tersebut. Ada tari, seni rupa, marching band, bola basket, sanggar teater dan klub matematika.
Sebagai Pembina dan ketua sanggar teater di sekolah mereka, Arman dan Sinyo mengatur sedemikian rupa strategi promosi agar banyak siswa yang berminat mengikuti jejak mereka.

Para anggota memainkan drama romeo dan Juliet yang ditampilkan dengan nuansa lokal, kemudian di akhir sesi mereka, tidak lupa Arman menampilkan monolog singkat yang sukses mencuri perhatian penonton, terutama para siswi yang berdecak kagum tatkala guru muda itu perform.

Persembahan sanggar teater sukses menarik minat para siswa baru. Ada 20 persen lebih dari mereka yang mendaftar. Tidak ingin para remaja itu berubah pikiran, Arman berinisiatif untuk segera memperkenalkan mereka dengan proses latihan teater.

“Kok mereka langsung dipersiapkan buat pentas? Kalau kita harus latihan dasar keaktoran dulu selama sebulan,” tanya Sinyo ketus.

“Supaya mereka dapat langsung merasakan sensasi menampilkan puisi dan drama, generasi mereka soalnya mudah bosan kalau tidak terjun langsung.”

Jam pelajaran berakhir, tapi terlihat 30 orang siswa baru tidak langsung kembali ke rumah, melainkan mampir di sekretariat sanggar teater yang disana telah menunggu Arman dan Sinyo. 

Setelah mereka menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi, Arman mengumpulkan para anggota baru dan langsung membagikan naskah drama.

“Sebelum kita mulai latihan, apakah ada yang ingin bertanya?”

“Kok tokohnya cuma satu orang?” tanya salah seorang murid.

“Itu namanya monolog, ia memang hanya butuh 1 karakter.”

“Oh begitu ya, Pak! Apakah kita akan mementaskan naskah ini?”

“Bukan kalian, tapi Inggrid.”

Semua orang termasuk Sinyo kaget dan bingung dengan apa yang baru saja disampaikan Arman, dikarenakan setiap kali akan melakoni pentas, pasti dilakukan casting terlebih dahulu untuk menentukan siapa yang tepat memainkan karakter yang ada di dalam naskah.

“Bagaimana dengan anggota baru yang lain, Pak?”

“Teater adalah satu kesatuan, tidak dipisahkan satu dengan yang lain, tidak ada posisi yang lebih diperlukan, semua sama pentingnya, jadi selain Inggrid, akan dilibatkan di bagian produksi dan artistik.”

Sinyo merapatkan badannya ke arah Arman, lalu berbisik pelan, “Bapak yakin? Ini pertemuan perdana kita dengan anak itu, bagaimana kita tahu kemampuannya.”

“Ada yang dinamakan casting by type, begitu melihat dia, aku merasa dan melihat adanya kemiripan antara Inggrid dan tokoh yang ada dalam naskah ini.”

Perihal teater maupun sastra, Sinyo tidak pernah meragukan keputusan yang diambil gurunya tersebut. Mengingat ia sangat mumpuni dan telah lama menekuni hal itu, sehingga tidak ada yang bisa dilakukannya selain menyetujui pertimbangan Arman.

* * * 

Setiap sore semua anggota sanggar, terlebih khusus para anggota baru yang didominasi oleh siswa kelas satu, berlatih di gedung serba guna milik sekolah.

Inggrid memulai proses latihan teater dengan melatih dasar-dasar keaktoran, dramatic reading, dan diskusi penokohan yang dilakukan bersama Arman. Sementara siswa lain hanya menontonnya berlatih, sambil sesekali Sinyo menjelaskan apa maksud dan tujuan kegiatan yang dilakukan Armand an Inggrid itu.

“Ah bagaimana sih kamu, masa tidak tahu aspek psikologi tokoh yang kamu mainkan, push-up 10 kali!”

Sinyo cepat-cepat mendekat kearah Arman. Ia mengetahui ada yang berbeda dengan gurunya tersebut. Tidak lagi tenang dan stay cool seperti biasanya, Arman kini terlihat emosian, terburu-buru, dan gelisah.

“Apa yang Bapak lakukan? Kita tidak pernah melaksanakan hukuman fisik, kecuali memang sedang olah tubuh.”

Arman memalingkan wajahnya ke arah Sinyo, “Siapa kau berani mempertanyakan metode ku?” dengan mimik wajah meremehkan, ia untuk pertama kalinya sejak mengajar di SMA 1 Katege, merendahkan orang lain.

Di momen tersebut, bagi Sinyo, Arman tidak berbicara layaknya guru kepada murid, melainkan teman sebaya yang sedang bersaing dalam suatu hal.

Semua murid anggota sanggar, merasa heran atas sikap Sinyo, mereka seakan berada dalam satu ruangan dengan seorang senior pada suatu organisasi, bukan dengan guru yang dari sisi usia harusnya jauh lebih tua dan dewasa dari mereka.

“Biarkan saja kak, toh ini memotivasi aku agar lebih giat berlatih, aku memang sudah tertarik dengan teater sejak SMP,” Inggrid memulai push-up nya.

* * *

Dua jam sudah mereka berlatih, yah Inggrid dengan dramatical reading yang terus menerus diulangnya hingga lancar, sementara yang lain, duduk di depan papan tulis, mendengar Sinyo menjelaskan tentang manajemen produksi.

“Waktu latihan usai, semua silahkan balik, langsung ke rumah, kecuali Inggrid,” sekali lagi, Arman mengatakan itu dengan ekspresi wajah datar. Tanpa senyum dan celetukan-celetukan lucu yang sering ia sisipkan ketika berbicara. 

Sinyo merasa aneh dengan perubahan sikap gurunya sejak sanggar mereka menerima anggota baru, ditambah lagi, hari sudah menjelang magrib dan ia masih menahan seorang siswi di sekolah, “ada yang tidak beres,” batin Sinyo.

Tanpa sepengetahuan Arman, Sinyo tidak pulang ke rumah, ia memutar balik motornya lalu kembali ke sekolah. Berjalan pelan menuju aula tempat mereka latihan tadi lalu mengintip dari balik pintu.

Tidak ada Arman di dalam. Hanya ada Inggrid yang konsentrasi memperhatikan naskah. Lima menit kemudian barulah Arman muncul dengan sebotol minuman dingin yang isinya teh.

“Ini minum!” Arman masih tampak arogan.
Inggrid  mengambil botol yang diberikan Arman, kemudian menatap bingung gurunya itu, lalu ia tersenyum dan segera meminum pemberian Arman.

“Kok bapak tau aja kesukaan saya hahaha.”
“Minum dan istirahatlah, pejamkan mata beberapa menit, jangan lihat lagi teksnya, nanti sakit kepalamu bertambah.”

“Loh, loh jadi makin aneh, dari mana bapak tau saya tidak bisa kelamaan baca.”

“Setelah sakit kepalamu mendingan, kamu sudah bisa pulang.”

“Nanti dulu, Pak! Bapak mata-mata, ya? Eeh apaan sih aku ini, maaf saya lancang.”

Arman yang sejak tadi ketus, kini tersenyum dan tertawa kecil, membuat Sinyo yang masih mengintip lewat pintu keheranan.

“Bapak tidak marah?”

“Kamu nanti bakalan lebih rese dari yang tadi haha.”

Perkataan Arman demikian menimbulkan tanda tanya di pikiran Sinyo dan Inggrid. Apa sebenarnya maksud yang coba disampaikan gurunya itu lewat kalimat-kalimat yang sulit dinalar. 

Usaha untuk memahami sikap aneh Arman hilang begitu saja, tatkala Inggrid dan Arman melangkah menuju pintu keluar. Sinyo buru-buru mencari tempat bersembunyi. Ia melihat Arman masih sempat membelai rambut pendek juniornya itu, sebelum Inggrid berjalan menuju gerbang sekolah.

“Apa yang bapak lakukan? Tadi itu tidak etis,” Sinyo muncul dari persembunyian, langsung melabrak sang guru.

“Bapak tahu kamu dari tadi mengintip dari balik pintu, silahkan berasumsi sendiri soal pembicaraan kami berdua, bapak yakin kamu punya banyak pertanyaan, tapi yang lebih penting sekarang adalah bagaimana kita mempersiapkan pentas ini.”

* * *

Tiga bulan sudah persiapan Sanggar SMA 1 Katege untuk menampilkan pentas perdana para anggota baru.

Para kru sudah pada posisinya masing-masing. Panitia yang didominasi kakak kelas telah merancang sedemikian rupa event yang menjadi panggung presentasi karya junior mereka.

Di bangku penonton, kepala sekolah, dewan guru, orang tua murid dan para siswa yang lain, sudah tidak sabar menyaksikan penampilan monolog Inggrid yang posternya sejak seminggu yang lalu telah menghiasi dinding-dinding sekolah.

“Kapan kita akan mulai, Kak?” tanya Inggrid.

“Kita tidak bisa mulai tanpa sutradara,” jawab Sinyo.

“Lalu dimana Pak Arman sekarang? Ini harusnya sudah mulai sepuluh menit yang lalu.”

“Sudah kucoba hubungi beberapa kali, tapi tidak diangkat, tenanglah, dia pasti datang, pentas teater sakral baginya.”

Lima menit kemudian, setelah para kru yang terdiri dari siswa baru itu mulai panik, telepon WA dari Arman membuat HP Sinyo berbunyi.
“Sinyo, nyalakan Loudspeaker!” perintah Arman tersebut segera dilaksanakan Sinyo. Semua kru dan panitia mendengarkan arahan ataupun informasi penting yang akan disampaikan si sutradara.

“Maaf adik-adik sekalian, aku menghargai kerja keras kalian semua, tetapi inti dari pertunjukan adalah penampilan aktor, setelah kupertimbangkan, Inggrid sama sekali belum siap, ah bukan belum siap, jujur rupanya aku salah pilih, dia memang sama sekali tidak berbakat di bidang teater, maaf teman-teman ini murni kesalahanku, kita batalkan saja penampilan hari ini.”

Sinyo mematikan loudspeaker, ia dengan cepat menjauh, memastikan bahwa pembicaraan selanjutnya dengan Arman tidak terdengar oleh yang lain.

“Brengsek! Kau dimana? Tega! Hancurin kerja keras mereka hanya lewat HP, dari dulu aku curiga ada yang aneh denganmu,” bentak Arman tetapi masih ingat untuk mengecilkan suara.

“Aku hanya menyasar Inggrid, biar sekalian dia trauma dengan teater, jadi teater tidak akan pernah datang ke hidupku, kau belum pernah merasakan sakitnya kehilangan orang yang kau cintai, bukan?”

“Apa hubungan itu semua dengan Inggrid? Apa maksudmu, Bajingan?”

“Aku yang mahasiswa teknik ini mengenal teater karena Inggrid, aku pun akhirnya mencintai keduanya, kau tahu Sinyo, aku rela DO karena fokus menggeluti teater, tapi hahaha.”

“Tapi apa? Kau terdengar tidak masuk akal, Inggrid hanya siswa kelas 1, kau baru saja bertemu dengannya.”

“Tapi rupanya dia menganggapku sahabat, dia meninggalkanku karena aku memaksakan kehendak katanya, jadi mungkin jika dia kehilangan minatnya terhadap teater, dia tidak akan pernah bertemu denganku, dan aku pun tidak akan pernah bertemu dengannya dan minatnya yang bodoh itu hahaha.”

Panggilan suara terputus. Tidak ada lagi Arman di sambungan telepon. Tidak ada lagi sosok yang bisa ia maki dan salahkan atas semua kekacauan itu.

Para kru menggerutu, yang perempuan menangis, dan yang lain menyalahkan Inggrid atas ketidakmampuan dia meyakinkan Arman saat latihan, bahkan ada yang menghardiknya kenapa mau begitu saja dipilih sebagai pemain.

“Harusnya kau menolak! Tahu diri dong! Kalau bukan kau yang jadi aktor, angkatan kita pasti sudah tampil.”

Inggrid tidak menangis, ia hanya membisu, menahan emosi yang terlihat jelas di wajahnya yang memerah. Inggrid tanpa berbicara dengan satu orang pun di antara mereka, lari meninggalkan backstage.

***

Rupanya sebab yang membuat pertunjukan malam itu gagal, menyebar ke orang-orang diluar sanggar.

Dari info yang didapatkan Sinyo, Inggrid akhirnya memutuskan pindah sekolah.  Sementara Arman sudah seminggu tidak menampakan batang hidungnya di sekolah, dihubungi pun tidak bisa.

Sinyo tidak begitu saja ikhlas dengan perbuatan Arman. Bukan hanya kasihan pada Inggrid. Ia juga merasa kesal karena Arman meninggalkan dia dan teman-temannya yang sudah terlanjur mencintai teater.

Sinyo mengunjungi kos-kosan tempat Arman tinggal. Ternyata dulu saking penasarannya dengan pribadi Arman, ia pernah diam-diam membuntuti gurunya itu.

Kamar kos Arman terkunci dari dalam. Ia mencoba memanggil Arman berulang-ulang tetapi tidak mendapat jawaban. Sinyo mulai berpikiran yang tidak-tidak. Sesuatu yang buruk mungkin menimpa Arman. Ia memutuskan untuk memaksa masuk, pintunya didobrak sekuat tenaga. Kekuatan remaja itu akhirnya mampu membuat ia berada di kamar sempit yang penuh berkas-berkas berseliweran.

Ditemukannya janggut dan kumis palsu di lantai, di samping mesin printer, ada KTP, ijazah, surat pengalaman kerja yang kalau dilihat dengan cermat kentara sekali palsu.

“Dasar anak teater, pandai sekali ia dandan dan berbohong,” batin Sinyo.

Akhirnya Sinyo sampai di kamar mandi. Bukan bak dan kloset yang ia temukan, melainkan mesin diesel yang diatasnya terpasang layar monitor menampilkan tulisan “tahun  2015”, tiga tahun dari saat itu.

Paham dengan apa yang baru saja ia temukan, meski tidak percaya, Sinyo menekan tombol merah yang terletak di samping monitor.

Cahaya putih menyambar tubuhnya. Hanya selang beberapa detik, kini Sinyo berada di ruangan besar yang penuh kursi, di depannya terlihat panggung dengan logo raksasa yang begitu dikenalnya, logo Unsirat, universitas andalan provinsi tempat dia tinggal.

Kini Sinyo tahu ia berada dalam aula, dan mulai mengerti bahwa saat itu ia berada di tengah-tengah mahasiswa baru yang sedang mengikuti ospek, jelas dari setelan hitam putih yang mereka kenakan.

“Baiklah untuk penampilan bakat berikutnya, kita undang mahasiswa baru dari fakultas sastra, Inggrid Tesalonika, yang akan menampilkan monolog,” MC di atas panggung memanggil nama yang begitu dikenali Sinyo.

“Sebelum mulai, aku hanya ingin cerita, kalau naskah monolog ini dulu tidak jadi kumainkan semasa SMA, karena guruku mengatakan aku tidak akan bisa memainkannya, katanya aku tidak berbakat, dari situlah aku semakin termotivasi untuk menggeluti teater,” benar sudah yang diprediksi Sinyo, yang baru saja bicara adalah Inggrid adik kelasnya.

“Presma mau kemana? Presma!” seorang pria memanggil temannya yang lari terburu-buru meninggalkan aula.

Sinyo yang ingin membuktikan asumsinya, mengejar pria tadi hingga ia berhasil menarik lengannya ketika berada di luar aula.

“Pak Arman?” 

Kaget bukan kepalang ketika Sinyo melihat wajahnya sendiri tercetak persis di wajah pria yang baru saja berbalik menghadapnya.

“Selamat pagi Kak Sinyo!” sapa orang-orang ketika lewat di depan Arman.

“Kenapa kau bisa kesini?” tanya Arman.

“Bapak duluan, bagaimana bisa Bapak adalah aku?”

“Tidak ada waktu, aku harus kembali, rupanya tindakanku kurang jahat,” Arman melepaskan tangannya dari genggaman Sinyo, kemudian berjalan cepat ke arah parkiran.

Tanpa disadari Arman, batu besar menghantam kepalanya saat ia sedang berusaha menyalakan mesin motor. Arman terjatuh dan pingsan.

“Kau salah, mungkin waktu itu kau terbawa emosi sehingga tidak sempat berpikir dengan baik, kau harusnya melompat lebih jauh lagi,” usai mengatakan itu, Sinyo mengambil kunci kamar kos dari jaket Arman dan mengendarai motornya.

* * *

Kilatan cahaya yang sama membawa Sinyo kembali ke sekolah. Kali ini ia berada di halaman yang dipenuhi remaja dengan seragam SMP bersama orang tua mereka yang kesana kemari membawa map berisi berkas pendaftaran.

Mengetahui rencananya berhasil, Sinyo tersenyum, ia bergegas mencari Inggrid di antara para calon siswa yang antusias mendaftar di SMA 1 Katege. Tidak sulit rupanya menemukan Inggrid yang tomboy dengan gaya rambut pixie cut-nya.

“Ada yang bisa dibantu, Dek?” kalimat pertama Sinyo ketika dia bertemu Inggrid yang datang sendiri tanpa didampingi keluarga.

“Mau cari ruangan tata usaha, Kak.”

“Oh sini biar aku antar.”

“Kakak namanya siapa? Kelas berapa?” Sinyo tertawa kecil ketika mengetahui Inggrid dari dulu percaya diri dan pemberani.

“Sinyo, kelas 3.”

“Eh kak, btw di sini ada sanggar teater? Kebetulan aku sangat suka teater, karena sering menyaksikan pertunjukannya langsung.”

“Ada, aku ketuanya, hehe.”

“Wah senangnya, baru datang sudah langsung kenalan sama orang yang punya minat sepertiku.”

Di sela perjalanan singkat menuju ruang tata usaha, mereka membahas panjang lebar soal teater.

“Untung aku bisa ketemu Inggrid dari sekarang.”

“Emangnya kenapa? Kan kita juga nanti satu sekolah.”

“Biar satu sekolah, tapi angkatannya beda, siswa di sini banyak, dan lokasi sekolah kita sangat luas, bisa jadi kita tidak akan saling kenal.”

“Kan kita bisa ketemu di waktu dan tempat yang lain, haha mungkin saja kenalannya nanti di tempat kita kuliah.”

“Jangan! Jangan sampai ketemunya nanti di kampus hahaha.”

* * *

“Naskah yang akan kumainkan ini sangat spesial, karena semasa SMA pernah disutradarai langsung oleh pacar sendiri.”

“Wah wah wah, pacarnya sekarang dimana?”

“Di fakultas yang sama, hehe Ketua BEM Sastra.”

“Oh rupanya kamu pacar Sinyo haha Sinyo dimana kamu?”

Panggilan MC dan sorakan seisi aula membuat Arman terbangun dari tidurnya. Seingatnya ia terjatuh di samping motor saat ingin kembali lagi ke masa lalu.

Anehnya, ketika bangun, Arman bingung kenapa ia berada di kursi yang terletak di dalam aula. Mengenakan jas almamater, bukan lagi dengan lambang fakultas teknik, melainkan fakultas sastra di bahu kanannya.

Rasa bingung pun berganti menjadi rasa syukur saat menyadari perubahan yang kini terjadi di hidupnya.

“Sinyo dimana kamu? Boleh maju ke depan? Kasih semangat dong, sebelum pacarmu tampil,” panggil MC.

Arman berdiri, berjalan ke arah panggung menuju Inggrid yang menyambutnya dengan penuh senyuman.

Siuna, 13 Januari 2024