Photo:Ilustrasi
Karya : Abdy Gunawan Gadis itu bernama Indy, sosok yang selalu memotivasi Agus untuk tidak mengeluh dan merasa rendah diri karena menjadi seorang indigo. Sejak kecil, hampir semua orang menganggap Agus berbohong ketika dia mengatakan baru saja melihat jin, hantu atau semacamnya. Mereka tidak mengindahkan larangan dan peringatan Agus sama sekali, alhasil Agus hanya mampu menyaksikan orang-orang tadi mengalami kejadian mengerikan, baik sebatas kesurupan, poltergeist, kecelakaan bahkan kematian yang tentunya disebabkan aktivitas makhluk gaib. Akhirnya Agus tidak lagi memperdulikan makhluk-makhluk halus di sekitarnya. Entah mereka hanya sekedar menampakan diri atau berniat menyakiti manusia. Rasa sakit hati karena selalu dianggap mengada-ada dan mencari perhatian, membuat Agus pura-pura bukan seorang dengan kemampuan indigo sejak ia masuk SMA. Semuanya kembali berubah saat Agus menjadi panitia ospek di kampusnya. Waktu itu kegiatan dilaksanakan di aula fakultas tempat ia kuliah. Dikarenakan masih diwarnai perpeloncoan, ospek yang terjadi tiga tahun lalu memberikan tekanan mental dan menyebabkan mahasiswa baru (maba) cenderung mengalami stress. Agus yang memiliki koneksi dengan dunia gaib, tahu bahwa para setan berniat merasuki para maba yang dilanda kecemasan. Sesuai prinsipnya yang tidak mau mengakui kemampuanya itu lagi, Agus hanya bisa menyimpan rasa takut sendiri. Melihat seniornya yang biasa aktif memberikan arahan dan sering berdiskusi dengan para maba kini hanya duduk di sudut ruangan dengan ekspresi gugup, membuat Indy, salah seorang maba dengan penuh keberanian menghampiri dan menenangkannya. “Kakak Indigo, ya?” Meski dilanda rasa takut, Agus tetap menunjukan wibawanya sebagai senior, “Lancang kamu!” “Sekarang bukan saatnya sok-sokan jadi senior, aku penggemar hal-hal mistis, jadi tahu ciri-ciri orang indigo, pasti saat ini kita dalam bahaya, kan?” Agus yang masih diselimuti rasa takut akan apa yang dilihat dan diketahuinya hanya bisa mengangguk mengiyakan. Memahami emosi yang dirasakan seniornya itu, Indy menepuk pundak Agus beberapa kali, lalu memotivasinya untuk berani menyelesaikan persoalan yang sudah menjadi tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepada dirinya. Retorika Indy yang lugas dan berani, memaksa panitia menghentikan kegiatan sementara dan memobilisasi mahasiswa baru keluar ruangan. Kemudian, meski sempat diragukan, Agus berhasil meruqyah beberapa mahasiswa yang terlanjur kesurupan dan menghilangkan angin kencang serta hawa dingin yang dari tadi menyelimuti hingga ke penjuru ruangan. Sejak saat itu, Indy menjadi mitra pengusiran hantu Agus. Berdasar informasi yang mereka dapat di sosial media, Indy dan Agus membasmi hantu yang meresahkan orang-orang di kampus maupun tempat yang lain. Indy membantu Agus untuk meyakinkan tuan rumah, kepala sekolah atau siapa saja pemilik lokasi angker tersebut. Selanjutnya, Agus dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, tahu betul bagaimana berkomunikasi, bahkan ia mampu memukul mundur hantu dengan tangan kosong. Rupanya hubungan mereka tumbuh dari lebih sekedar partner kerja. Meski berbeda angkatan kuliah, Agus dan Indy dapat menjadi sepasang sahabat yang hanya terpisahkan jika mereka akan kembali ke kos-kosan masing-masing. Sebagai perempuan tomboy yang belum pernah menjalani bahkan risih dengan hubungan percintaan, tentu menguntungkan bagi Indy ketika dia selalu bersama Agus, salah seorang senior yang disegani di fakultas, plus akhir-akhir ini mereka berdua viral di kota tempat mereka kuliah sebagai pemburu hantu yang handal, meski masih mengundang pro dan kontra. Lelaki hidung belang yang berusaha mendekati Indy akan berpikir dua kali untuk mendekatinya, karena Agus sendiri terkenal protektif meskipun hanya dirinya sendiri yang beranggapan bahwa hubungan mereka lebih dari sebatas sahabat. “Kenapa ritual semalam tidak berhasil? Kalau begini terus, kita akan kehilangan kepercayaan dari orang-orang?” gerutu Indy ketika mereka berdua duduk santai di Aula. “Ada yang mengalihkan perhatianku semalam?” “Apa? Wisudamu? Yailah biar telat juga tidak apa-apa, lebih penting mana? Urusan mu atau kepentingan umat manusia?” “Hahaha bukan apa? Tapi siapa.” “Perasaan tidak ada siapa-siapa selain aku sama kamu, hmm, jangan-jangan kamu kepikiran soal yang waktu itu yah?” Agus mengangguk pelan. Digenggamnya jemari Indy yang duduk tepat di sebelahnya. Bola mata yang kecoklatan itu mengarah tepat di kornea hitam milik Indy, “Aku tidak bisa selamanya berada di sisimu jika tidak bisa memiliki hatimu.” “Untuk apa?” “Yah seperti kataku beberapa waktu yang lalu, aku mencintaimu, jika kita tidak pacaran, maka aku tidak punya hak untuk cemburu dan melarangmu berteman dengan laki-laki lain.” “Kau memang sama sekali tidak punya hak terkait itu, kita masih terlalu muda, Gus! Masa aku harus membatasi pergaulan dan mempersempit relasiku hanya karena pacaran denganmu, kamu lupa ya, karena aku mudah bergaul dengan orang, kita bisa punya banyak client.” “Kalau kamu harus bercanda dan tertawa dengan laki-laki lain karena bisnis kita, mendingan aku hentikan saja usaha pengusiran hantu ini,” suara Agus meninggi. “Lah, ini bukan hanya sekedar usaha loh, yang bayar kan juga sedikit, bagaimana dengan orang-orang yang butuh bantuan kita?” Sikap Indy yang teguh pada prinsip rupanya membuat dirinya kesal, ditambah lagi penolakan Indy beberapa waktu yang lalu dan perkataan gadis itu barusan. Tanpa pikir panjang, kata-kata yang menjadi awal perpisahan mereka, keluar begitu saja dari mulut Agus, “Oke, kalau begitu kita sudahi saja pengusiran hantu ini, aku tidak pernah menganggap kemampuanku ini anugerah, jujur ya, aku menyetujui saranmu untuk memulai pekerjaan ini agar bisa dekat denganmu, persetan dengan membantu orang!” Perkataan Agus yang disampaikan di tahun terakhirnya kuliah itu membuat hubungannya dengan Indy menjadi renggang. Jangankan berburu hantu bersama, bahkan menyapa atau sekedar memulai basa-basi tidak pernah dilakukan keduanya. * * * Sudah tiga tahun sejak Agus wisuda dan balik ke kampung halaman di provinsi yang berbeda dengan kampusnya. Tidak ada lagi kabar dari Indy. Sosial media milik gadis itu sudah berulang kali coba dikontak Agus tetapi tidak direspon. Menurut teman seangkatannya, Indy melanjutkan pendidikan S2 di Ibu kota, dan menjadi aktivis HAM di sana, lalu yang mengejutkan Agus, Indy rupanya mengambil jurusan filsafat metafisika, ilmu yang mempelajari hal-hal diluar alam kenyataan. Sebagai arsitek utama di perusahaan konstruksi tempat dia bekerja, Agus tidak henti-henti mengurusi proyek pembangunan di daerahnya. Tidak ada waktu baginya untuk berleha-leha karena jumlah client yang banyak dengan target waktu pengerjaan yang relatif singkat, sehingga meski ingin, tapi Agus mengurungkan niatnya untuk kembali ke kota tempatnya kuliah, di tambah lagi, selama ia mengenyam pendidikan tinggi, orang yang benar-benar dekat dan dianggap teman oleh Agus hanyalah Indy. “Agus kamu berangkat ke Kota Menadi ya!” perintah kepala kantor cabang tempat Agus bekerja. “Oh kalau boleh tahu kenapa saya ya, Pak?” “Tim HRD kantor pusat rupanya punya informasi kalau kamu ehem, pengusir setan, ya?” “Eh itu dulu, Pak, zaman kuliah tiga tahun yang lalu, sekarang tidak bisa lagi, kebanyakan main tiktok soalnya haha.” “Ah tenang saja, aku juga tidak percaya hal semacam itu, tapi ini perintah kantor pusat, ada proyek di Menadi yang sudah tiga bulan mangkrak, katanya semua pekerja di sana diteror hantu, arsiteknya juga belum lama ini resign.” “Memangnya proyek apa?” “Kamu pasti kaget mendengarnya, perusahaan kita di Menadi mendapat proyek pembangunan ulang Aula di Fakultas Teknik Unsirat hehe itu kampusmu dulu bukan?” “Benar, Pak!” “Kalau begitu berangkatlah minggu depan, mau benar ada setan atau tidak, tuntaskanlah pekerjaan itu!" * * * Setelah tiba di bandara Menadi, Agus membuka kembali chat WA nya dengan Indy. Setiap tahun, Agus selalu menanyakan kabar Indy dan meminta maaf atas apa yang dikatakannya dulu, tetapi selalu saja hanya centang satu yang ditampilkan di layar HP milik Agus, tanda bahwa pesan tersebut tidak sampai kepada pihak yang dituju. Kali ini, Agus kembali memberanikan diri, ia dengan ragu mengirimkan pesan suara, “Halo Indy, aku lagi di Menadi nih, ada proyek ngusir setan, kamu tahu dimana? Di kampus kita, di tempat kita pertama bertemu haha lihat kan, aku mengusir setan tanpa kamu, berarti dulu itu memang niatnya mau bantu orang, bukan karena modus loh hehe.” Dari bandara hingga Agus tiba di hotel, pesan suaranya sama sekali tidak mendapat balasan dari Indy. Dia pun menyerah, Indy memang terlanjur membencinya, dan mungkin dia sekarang tidak ada di Menadi, sibuk menyelesaikan studi dan membela orang lemah di sana. Keesokan harinya Agus tiba di kampus lamanya. Di halaman kampus yang terletak jauh dari posisi Aula, telah menunggu Kepala Kantor Cabang Menadi dan para pekerja. Baru saja turun dari mobil perusahaan, Dekan Fakultas Teknik yang dulu merupakan dosen pembimbingnya menepuk pundak Agus dari belakang, “Rupanya kamu Agus, kalau begini pasti masalahnya selesai.” “sudah cocok jika Kantor Pusat menyuruhmu menghandle proyek ini, aku sudah mendengar banyak dari para dosen tentang kepiawaian mu dulu, jadi kapan kamu akan mulai kerja?” “Aku perlu mewawancarai para saksi mata mengenai penampakan yang mereka lihat, lalu melakukan ritual sesuai jenis dan sifat hantu-hantu itu, setelah mereka pergi, segera ku selesaikan proyek ini.” Agus memang sengaja belum mau masuk ke Aula karena merasa belum mempunyai strategi yang tepat untuk mengalahkan para hantu tersebut, di sisi lain juga saat itu masih siang, berdasarkan pengalaman Agus, para hantu baru akan muncul ketika mentari mulai terbenam. Setelah seharian mewawancarai saksi mata, Agus kembali ke penginapan. Ia membaca kembali catatan wawancaranya dengan beberapa orang. Belum sempat selesai, notifikasi aplikasi watshapp membuat HPnya berdering. Agus kaget bercampur senang. Setelah tiga tahun, akhirnya Indy membalas pesannya. Agus menangis terharu, suara gadis pujaannya akhirnya kembali menyejukan telinga dan hati yang tidak pernah ia berikan kepada orang lain. "Mantap kalau begitu, ayo dong buktikan kalau kamu memang bisa tanpa aku hehe, maaf aku masih sakit hati dengan perlakuanmu, apalagi kudengar kamu bilang ke teman-teman kalau kamu ditolak karena aku suka orang lain, jangan playing victim lah!" Agus tidak terburu-buru membalas pesan suara tersebut, ia memutarnya berulang-ulang lalu melompat kegirangan. "Iya maaf deh, aku ceroboh, maklum masih muda, btw kamu dimana sekarang? Mau lihat aku beraksi besok, tidak?" "Aku mau sih, tapi sekarang lagi di Jakarta, besok ujian tesis, memangnya kamu sudah tau harus ngapain? Ingat biar kamu sakti, tapi kurang referensi, tunggu aku kirimkan datanya." Balasan berikutnya dari Agus tidak mendapat balasan dari Indy. Ia mencoba menelpon tapi tidak diangkat. Agus bersabar, ia sudah belajar dari pengalaman selama tiga tahun, betapa ia kehilangan kesempatan bersama sang pujaan hati karena ego memaksakan kehendak. Sejam kemudian, masuk lagi pesan suara dari Indy, tetapi kali ini singkat saja, langsung disusul hasil-hasil penyelidikan kepolisian dan berita yang memuat kejadian zaman dahulu, diketahui bahwa ternyata Aula tersebut bekas bangsal RSJ yang terbakar dan semua pasiennya mati. "Terimakasih Indy, aku tidak tahu jadinya tanpa kamu, dalam hal mengusir setan kamu memang dapat diandalkan." "Siapa dulu dong, Indy di lawan, begini.. karena mereka korban kebakaran, dari buku yang kubaca, kamu harus sediakan air yang disucikan dengan Ayat Kursi, basuh dinding-dinding Aulanya, lalu yakinkan mereka bahwa pelakunya bukan oknum, tapi memang karena listrik yang konslet." "Oh gitu yah, kalau mereka tidak mau, bagaimana?" "Hahaha kalau dulu yah nanti kubasmi pakai kekuatanku." "Tidak terbalik? Kamu kan dulu hanya bantu sorakin aku haha ngomong-ngomong aku rindu kamu, Indy." Sampai Agus tertidur karena tidak kuasa menahan kantuk, saling tukar pesan suara sama sekali tidak berlanjut Keesokan harinya, sebelum Agus bertolak ke kampus, pesan suara milik Indy masuk lagi dan langsung memenuhi jiwanya dengan perasaan suka cita. "Semangat Agus! Jangan lupa saranku semalam yah, dan satu lagi, basahi tubuhmu dengan air, itu akan sangat berguna saat kau bertarung, tapi selalu ingat prinsip kita, utamakan pendekatan humanis." Agus langsung melakukan panggilan telepon, tetapi kembali ditolak oleh gadis itu. "Maaf aku belum bisa mengangkat teleponmu saat ini hehe, ada yang bisa dibantu?" "Apa kau menolakku karena tidak mencintaiku?" "Siapa bilang? Kau lupa ya, kataku kita masih terlalu muda untuk pacaran, aku tidak pernah mengatakan perasaanku, kan?" "Jadi?" "Aku mencintaimu Agus, rambutku kini ku panjangkan dan dandananku berubah, aku tidak lagi bergaya seperti laki-laki, itu semua supaya kita tidak terlihat aneh saat pacaran nanti." "Benarkah? Boleh aku lihat, selfi dulu!" "Nanti saja, aku sekarang dalam perjalanan ke Menadi, kamu nanti bisa melihatnya secara langsung." Rasa bahagia bergejolak dalam hati Agus. Ia begitu senang saat mengetahui wanita yang selama ini ia cintai punya perasaan yang sama dengannya, dan yang paling menggembirakan adalah fakta bahwa pertemuan antara kedua sejoli itu akan segera terjadi. * * * Agus melakukan persis seperti yang disarankan Indy lewat pesan suara. Di dalam ruangan Aula yang hanya ditemani kemenyan dan seember air, Agus memulai ritual. Hantu-hantu pasien RSJ tersebut akhirnya pulang dengan damai tanpa harus dibakar dan dimusnahkan Agus dengan kekuatannya. Para pekerja menyambut Agus ketika ia keluar dari Aula. Mereka tahu ritualnya berhasil saat eskavator dan alat berat lainnya mendadak bisa dihidupkan, dan suara tawa yang setiap magrib menggema hingga ke bagian lain fakultas sirna seketika. "Ayo Agus kita kembali ke kantor! Rupanya Presiden Direktur berkunjung pagi tadi, dia mau bertemu denganmu." Agus disambut bak pahlawan ketika memasuki kantor, semua orang mengeluh-eluhkannya. Presiden Direktur yang baru tiba dari kantor pusat, mendekati Agus dan langsung menjabat tangannya. “Emangnya setannya seperti apa?” bisik si Presiden Direktur. “Berpakaian layaknya pasien sakit jiwa, dulu kampus ini bekas RSJ, Pak.” “Oh gitu yah, bukan hantu perempuan cantik yang rambutnya panjang? Soalnya sebelum kamu datang, si Arsitek lama melihatnya juga di sana.” “Aku juga melihat yang seperti itu tadi, tapi dia baik dan bisa main handphone,” Agus tersenyum menatap sosok hantu Indy yang berada di tengah keramaian. Mereka saling melempar senyuman, tanpa sadar mata keduanya meneteskan air mata. “Kamu mau bonus berapa, Gus?” “Tidak perlu pak, untuk pekerjaan yang ini, aku ikhlas membantu.” Hantu Indy menghilang entah kemana. Hanya Agus yang bersedih di antara karyawan yang penuh suka cita karena proyek bisa dilanjutkan. Ia melanjutkan membaca berita internasional yang dikirimkan Indy setibanya Agus di kantor, “Setahun Menghilang, Jasad Sejumlah Aktivis HAM Akhirnya Ditemukan, Intelijen Negara Bantah Keterlibatan.” Siuna, 8 Desember 2023