Photo: Midun
Midun dan Kepalsuan Kita
Oleh: Supriadi Lawani
Tulisan singkat tentang Midun ini saya niatkan berseri dan ini adalah seri pertamanya, dalam seri pertama ini saya akan melihat bagian pribadi Midun yang suka “berbohong” jika ketahuan “selingkuh” oleh kekasih virtualnya. Masyarakat Banggai dan sekitarnya saya kira kenal Midun baik secara langsung maupun melalui media sosial, Midun meskipun sebagai penyandang disabilitas tetap dianggap sebagai selebritis oleh publik Banggai, bagi saya Midun adalah aktor dan itu memang sudah dilakoninya baik di media sosial maupun film pendek yang sempat tayang beberapa waktu lalu.
Beberapa hari terakhir saya berkesempatan bersama dengan sahabat saya Rinto Alimun dalam satu perjalanan. Rinto seperti publik Banggai tahu adalah salah seorang terdekat Midun, Rinto lah sependek pengetahuan saya yang pertama kali memperkenalkan Midun dengan segala tingkah kelucuannya kepada publik Banggai.
Ka Into demikian saya memanggilnya sepanjang perjalanan ketika koneksi internet memadai selalu berinteraksi dengan Midun melalui media sosial Tiktok. Percakapan yang mereka bangun terkait Midun yang “selingkuh” dan jika ketahuan oleh “pasangan” virtualnya dia berbohong dan menyangkal,Midun tidak mau kehilangan “pasangan” nya namun ingin mencari “pasangan” baru, Midun tidak mau kehilangan sekaligus ingin bertualang meskipun itu terjadi pada dunia virtual. Dalam kosakata anak muda Midun egois.
Dalam perjalanan itu setelah signal internet hilang dan komunikasi terputus Rinto kemudian mengatakan kepada saya bahwa apa yang dilakukan oleh Midun di dunia maya sejatinya adalah “ tiruan” atau dalam bahasa sastra disebut sebagai mimesis dari perilaku sebagian dari kita. Untuk seketika saya terdiam dan merenung kemudian saya mengakui ternyata benar Midun dengan segala keterbatasannya telah mewakili kecendrungan sebagian masyarakat kita yang suka selingkuh dan berbohong. Midun telah mengungkapkan kecenderungan umum sebagian dari kita yang senang berselingkuh dan berbohong jika ketahuan.
Sedikit Tentang Selingkuh
Dalam kajian sosiologi, perselingkuhan dapat dijelaskan melalui berbagai perspektif, termasuk aspek budaya, struktur sosial, dan interaksi manusia. Ini melibatkan faktor-faktor seperti norma sosial, nilai budaya, dan dinamika kekuasaan dalam hubungan antarindividu. Perselingkuhan juga dapat dianalisis dari sudut pandang teori sosial tertentu, seperti misalnya teori konflik dan interaksionisme simbolik, untuk memahami kompleksitasnya dalam konteks masyarakat.
Motivasi untuk selingkuh dapat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor kompleks. Beberapa motivasi umum melibatkan ketidakpuasan dalam hubungan, keinginan untuk variasi atau kegembiraan tambahan, perasaan kurang dihargai, atau bahkan ketidaksetiaan sebagai respons terhadap ketidaksetiaan pasangan. Faktor-faktor ini dapat dijelaskan melalui lensa psikologis, sosial, atau bahkan biologis. Penting untuk diingat bahwa setiap situasi adalah unik, dan motivasi individu untuk selingkuh dapat dipengaruhi oleh dinamika hubungan, kebutuhan emosional, dan konteks sosialnya.
Dalam perspektif interaksionisme simbolik dalam sosiologi, selingkuh dapat dijelaskan melalui interpretasi simbol-simbol sosial yang diberikan individu pada tindakan tersebut. Fokus utama adalah pada makna subjektif yang diberikan individu pada perilaku dan bagaimana makna ini membentuk interaksi sosial.Dalam konteks selingkuh, interaksionisme simbolik dapat melibatkan pemahaman individu terhadap simbol-simbol seperti kepercayaan, komunikasi, dan norma dalam hubungan. Selingkuh dapat dianggap sebagai respons terhadap perubahan dalam interpretasi simbol-simbol tersebut, seperti perubahan dalam makna keintiman atau komitmen.Selain itu, interaksionisme simbolik juga menekankan pentingnya proses komunikasi dan negosiasi makna di dalam hubungan. Ketidakpuasan atau perubahan dalam interpretasi simbol-simbol tersebut dapat memainkan peran dalam mendorong seseorang untuk mencari kepuasan atau makna baru melalui selingkuh.
Selingkuh dan Kebohongan
Selingkuh seringkali melibatkan unsur kebohongan, baik kepada pasangan maupun pada diri sendiri. Kebohongan dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti menyembunyikan hubungan, memberikan alasan palsu, atau menutupi jejak aktivitas selingkuh. Dalam konteks ini, kebohongan dapat dipahami sebagai strategi untuk menjaga rahasia dan melindungi perasaan atau citra diri. Dari perspektif sosiologi, kebohongan dalam konteks selingkuh dapat dipahami sebagai hasil dari interaksi sosial dan norma-norma yang mengatur hubungan. Norma-norma sosial dapat memengaruhi perilaku individu dan membentuk ekspektasi mengenai kesetiaan dalam hubungan. Kebohongan jika dilihat melalui lensa teori konflik, di mana ketidaksetiaan dan kebohongan dapat dianggap sebagai respons terhadap konflik kepentingan atau ketidakpuasan dalam struktur sosial dan hubungan interpersonal. Dalam beberapa kasus, kebohongan mungkin dianggap sebagai cara untuk menjaga keseimbangan kekuasaan atau mengatasi ketidaksetaraan dalam hubungan.
Midun Aktor Yang Menguak Kepalsuan Kita
Inti dari kebohongan yang kita lakukan dalam menutupi perselingkuhan adalah untuk menjaga citra kita,kebohongan untuk menutupi citra diri seringkali muncul sebagai bentuk pertahanan diri atau usaha untuk memelihara gambaran positif tentang diri sendiri. Kita mungkin merasa perlu untuk menyembunyikan aspek-aspek tertentu dari kehidupan kita yang dianggap kurang prestisius atau tidak sesuai dengan ekspektasi sosial dan norma umum masyarakat.
Namun Midun dengan segala kekonyolannya telah memerankan apa yang selama ini kita sembunyikan, Midun sang aktor telah berhasil membuka mata publik bahwa sebagian dari kita merayakan sekaligus menyembunyikan perselingkuhan, sebagian dari kita sering melakukan kebohongan untuk menjaga citra diri kita, kita hidup dengan dua kepribadian, menikmati perselingkuhan sekaligus menyangkalnya.
Dan perilaku ini juga telah menjangkiti kehidupan politik kita, dimana sang politisi mengaku merakyat sekaligus berbohong soal program kerakyatan.
Ternyata sebagian dari kita adalah “cerminan” dari kehidupan virtual Midun.
*Penulis adalah petani pisang
Photo: Supriadi Lawani