Photo: Sugeng Hariadi
"Kegagalan anak - anak saya, adalah kegagalan saya sebagai orang tua maupun guru, begitupun sebaliknya" Ungkapnya penuh haru.
Utustoria.com – Tahun 1991, sebuah Surat Keputusan telah ia terima, hal itu sekaligus menjadi penanda bahwa dirinya harus berangkat jauh meninggalkan kampung halaman dan pergi bertugas menjadi seorang guru di sebuah tempat yang sama sekali tidak pernah ia kenal sebelumnya. Bersama dengan rombongan alumni lainnya dari IKIP Malang, ia berangkat menuju tempat bertugas.
SMA Negeri 1 Toili, Banggai, inilah tempat Sugeng Hariadi memulai perjalanan karirnya sebagai seorang guru. Berada jauh dari keluarga, ia yang saat itu masih terbilang guru muda,sudah harus dengan sepenuh hati melakoni profesinya untuk membangun bangsa lewat generasi yang diasuhnya.
Dengan segala keterbatasan, Sugeng Hariadi sebagai Guru adalah tauladan bagi siswa – siswinya, ia yang saat itu bertempat tinggal di rumah guru (Kopel), turut menceritakan kisahnya kepada Utustoria. Ia coba kembali mengenang bagaimana perjalanan waktu yang telah membawanya selama kurang lebih 32 tahun sebagai guru yang tidak lelah mengabdi pada nusa dan bangsa demi lahirnya generasi berkualitas.
Diakuinya, saat itu jumlah guru sangat terbatas, sehingga tidak jarang ia harus mengampuh beberapa mata pelajaran kepada para siswa, beragam mata pelajaran ia harus kuasai agar siswa tetap bisa mengikuti proses pembelajaran dengan baik, meskipun dalam profesi keahlian ia sebenarnya adalah guru Bimbingan Konseling (BK).
Ia yang saat itu tinggal dirumah dinas (Kopel), setiap harinya harus menyediakan bahan ajar dengan media alakadarnya, bahkan saat itu mesin ketik belum tersedia, sehingga beberapa tugas harus ia kerjakan dengan tulis tangan.
Tahun – tahun ia lalui dengan kerinduan pada keluarga di Ponorogo, tempat kelahirannya, sebab meskipun ada rasa ingin pulang dan menengok kampung halaman ia dipaksa harus bisa menahan dan sabar, dikarenakan upah yang ia terima sebagai guru juga terbilang belum cukup untuk membeli tiket.
Hingga pada tahun 1997, setelah 5 tahun ia berstatus guru bujang, akhirnya ia bertemu jodoh dan menikah. Semua hal dianggapnya menjadi lebih baik saat itu. Banyak hal juga diakuinya dalam inovasi pendidikan di Indonesia telah lebih baik, terkhusus yang ia rasakan di SMA N 1 Toili.
Selepas menikah, Sugeng hariadi juga berhasil melanjutkan studi S1 nya di Universitas Negeri Gorontalo, hingga pada 2004 ia bersama keluarga mampu membangun sebuah kediaman sederhana. Semua itu menurutnya adalah hasil dari ikhtiar, ikhlas, dan kesyukuran.
Sebagai guru BK, ia selalu percaya bahwa kegagalan siswa adalah juga kegagalan guru, begitupun sebaliknya.
Menurutnya, BK adalah layanan responsif bagi siswa. Bahkan kini, menurutnya BK juga telah punya jam pertemuan di setiap kelas untuk memberikan pelayanan.
“Kegagalan anak – anak saya, adalah kegagalan saya sebagai orang tua maupun guru, begitupun sebaliknya” Ungkapnya penuh haru.
Hal itu menjadikan Sugeng Hariadi untuk terus dapat memahami setiap karakter siswa yang ia hadapi dari tahun ke tahun. Situasi itu juga menuntutnya untuk menjadi guru yang fleksibel pada setiap perubahan – perubahan.
Sebagai guru BK ia sangat memahami, bagaimana mental dan karakter siswa yang juga turut berubah dalam perkembangan zaman, sehingga metode dan perlakuan juga ikut berubah.
Saat ia di tanya oleh Utustoria tentang bagaimana kesannya dalam menghadapi banyaknya siswa yang mungkin bermasalah, Sugeng Hariadi menjawab bahwa BK bukanlah tempat bagi siswa yang bermasalah, melainkan BK adalah tempat dimana semua siswa harus dilayani, karena pada prinsipnya BK adalah tentang pelayanan terhadap semua siswa.
“Jika dulu guru BK identik dengan Kayunya, karena memang zaman seperti mensyaratkan hal itu, tapi kini semua berubah, dan pendidikan kita telah jauh lebih maju.” Ujar Sugeng sambil mengenang.
Sejauh ini, menurutnya telah ada 10 ribu lebih siswa yang menjadi alumni semenjak ia menjadi guru di SMA N 1 Toili. Baginya itu adalah hal luar biasa, meski ia tidak sepenuhnya menganggap dirinya sebagai orang yang punya jasa penuh dalam hal itu, tapi setidaknya ia telah hadir menjadi bagian kecil yang berkontribusi pada pembangunan sumber daya manusia di Bangsa ini.
Sugeng Hariadi, yang kini telah memasuki usia purna dalam tugasnya telah punya warna masing – masing pada setiap siswa yang diajarnya. Ia yang saat itu memulai semuanya dengan bermodal selembar ijazah dan Pulpen, bahkan tidak jarang ia harus bertahan hidup dengan makan dari hasil sumbangan Komite sekolah, tentu saja ia adalah suri tauladan bagi kita semua.
Ia yang terus menolak untuk dikatakan sebagai orang hebat sesungguhnya adalah contoh dari memberi tanpa pamrih. Meski tidak jarang ia diberi kepercayaan lebih oleh pihak sekolah, seperti misalnya ia pernah dipercaya untuk menjabat Wakil Kepala Sekolah Kesiswaan, namun kerendahan hati dan ketulusan ia dalam mengabdi adalah hal yang patut dicontoh.
Sugeng Hariadi, salah seorang guru yang berjuang dari upah profesi Rp. 56.000 saat itu, adalah satu dari sekian banyak kisah guru yang perlu kita contoh dan apresiasi. Dirinya turut menyampaikan sebuah motivasi kepada semua teman seprofesinya dimanapun berada agar tidak pernah lelah menjadi abdi sekaligus pelayan, bahwa keberhasilan dan kemajuan bangsa tergantung pada pendidikannya.
“Mengalir saja dalam hidup, berpeganglah pada prinsip, dan setiap kita memiliki hal itu.” Ujar Sugeng Hariadi sebagai motto yang sekaligus menutup obrolan hangat bersama Utustoria yang ditemani cangkir kopi dan teriknya siang dalam ruangan BK berukuran sederhana. (12/10/2023). (Red)