Photo: Ilustrasi
Oleh: Supriadi Lawani
Birokrasi Zaman Orde Baru
Di zaman Orde Baru (Orba) di Indonesia, yang berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998, birokrasi memiliki peran yang sangat kuat dalam politik negara. Sejarah birokrasi berpolitik di masa itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh militer khususnya angkatan darat dan Golongan Karya (Golkar) yang saat itu meskipun bukan partai politik namun secara fungsional adalah partai politik dan dapat mengikuti pemilihan umum (pemilu).
Pemerintahan orde baru di bawah Presiden Jendral Soeharto banyak pejabat tinggi militer yang menduduki posisi kunci dalam birokrasi, dan ini menguatkan kontrol militer atas pemerintahan saat itu, mulai dari menteri, gubernur, bupati dan walikota banyak dijabat oleh militer. Orde Baru menggunakan sistem yang disebut Dwifungsi ABRI, di mana militer berfungsi tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga memiliki peran sipil politik dalam menjaga stabilitas negara. Ini menciptakan pengaruh militer yang kuat dalam birokrasi.
Dalam perjalanannya birokrasi juga terlibat dalam sektor ekonomi, terutama melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pejabat birokrasi seringkali memiliki peran dalam manajemen BUMN, yang menjadi alat penting untuk pembangunan ekonomi negara pada zaman orde baru.
Namun bukan hanya itu birokrasi di bawah Orde Baru terpolitikasi secara ekstensif. Pegawai negeri atau apartur sipil negara saat itu diarahkan untuk mendukung pemerintah dan partai penguasa (Golkar). Ini menciptakan budaya nepotisme dan klientelisme dalam birokrasi.
Pada tahun 1998, Orde Baru runtuh sebagai akibat dari tekanan dari rakyat dan mahasiswa sejak saat itu reformasi politik dimulai. Proses demokratisasi telah membawa perubahan signifikan dalam hubungan antara birokrasi dan politik di Indonesia.
Reformasi Birokrasi Yang Belum Selesai
Isu utama yang banyak diprotes dan harus dikoreksi dari Orde Baru selain otoritarianisme adalah maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Oleh karenanya setelah pemilihan umum (pemilu) tahun 1999 lahir satu undang – undang yang dikenal dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang – undang ini diharapkan dapat menjadi regulasi yang membatasi gerak penyelenggara negara untuk tidak melakukan hal – hal yang merugikan negara dan kepentingan publik, meskipun kemudian Undang – undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lahir yang sampai saat ini sudah beberapa kali terjadi perubahan namun undang – undang 28 Tahun 1999 masih tetap berlaku.
Netralitas birokrasi adalah prinsip dasar dalam administrasi publik yang mengharuskan bahwa aparat birokrasi, seperti pegawai negeri atau petugas pemerintah, harus tetap netral dan tidak memihak dalam urusan politik atau kepentingan pribadi. Prinsip ini penting untuk menjaga integritas, kredibilitas, dan efektivitas birokrasi dalam memberikan pelayanan publik.
Kemudian setelah perjalanan waktu di era reformasi begitu banyak undang – undang dan peraturan yang mengatur tentang pola sikap, pola tindak aparatus penyelenggara negara sampai hari ini untuk menginternalisasi tata nilai birokrasi serta mewujudkan good governance namun upaya itu belum juga dapat membuat birokrasi menjadi “independen” karena pola hubungan yang sifatnya klientelisme masih bertahan sampai hari ini apalagi di daerah – daerah dimana Gubernur, Bupati dan Walikota adalah pejabat pembina kepegawaian yang dengan kewenangannya dapat mengintervensi penunjukan pejabat eselon di wilayahnya bahkan memutasi bawahannya.
Politisasi Birokrasi
Seperti dikatakan Robert Dahl politik pada urusan paling pokok adalah soal kekuasaan (power) dengan kekuasaan seseorang bisa memaksakan keinginannya, dengan kekuasaan seseorang bisa melakukan apapun yang mungkin bisa dilakukan dengan segala otoritas yang diberikan atau dimandatkan kepadanya.
Seseorang yang memiliki kekuasaan politik dapat dengan mudah menggunakan kewenangan yang ada padanya untuk melakukan apapun termasuk mempolitisasi birokrasi demi kepentingan politiknya. Kita semua tahu bagaimana orde baru nya Jenderal Soeharto melakukannya sehingga dapat berkuasa sampai puluhan tahun.
Saat ini khususnya di daerah dengan kewenangan yang ada pada Gubernur, Bupati dan Walikota mereka bisa menggunakan birokrasi untuk kepentingan politik apalagi dimasa Pemilihan Umum (Pemilu) ataupun Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pemilihan).
Soal politik dalam pengertian praktisnya adalah soal suara pemilih dan siapa yang memiliki mayoritas suara maka dia akan berkuasa dan dengan menggunakan birokrasi sebagai menyumbang suara dan juga sebagai operator suara maka sangat menguntungkan bagi politisi yang sedang berkuasa.
Dengan hubungan klientelisme yang kuat maka sangat dimungkinkan politisi yang sedang berkuasa saat ini melakukan politisasi birokrasi dan prakteknya mungkin sedang terjadi saat ini.
Politisasi birokrasi merujuk pada praktik di mana aparat birokrasi atau apartur sipil negara terlibat dalam urusan politik atau terpengaruh oleh pertimbangan politik, seringkali melampaui tugas pokok dan fungsi mereka yang seharusnya netral dan nonpartisan.
Namun dengan situasi klientelisme yang masih terus berlangsung sampai saat ini maka netralitas dan nonpartisan yang seharusnya dimiliki oleh birokrasi masih susah terwujud secara maksimal sebagaimana yang diharapkan.
*Penulis adalah Petani Pisang
Photo: Supriadi Lawani