Menjadi Gila demi Sebuah Senyuman - Utustoria Menjadi Gila demi Sebuah Senyuman - Utustoria

Menjadi Gila demi Sebuah Senyuman

834
Spread the love

Photo: Ilustrasi

Menjadi Gila demi Sebuah Senyuman
Karya : Abdy Gunawan


Berkas mentari yang masuk melalui jendela, langsung menyinari wajah alex begitu ia terjaga. Di kamarnya yang sempit dan sederhana, Alex membangun mesin waktu yang ia pelajari hanya melalui film-film yang ditonton. Dengan alat seadanya, seperti generator listrik, aluminium yang berbentuk menyerupai lingkaran, ia rangkai sedemikian rupa lalu disambungkan ke laptop. Sementara di laptonya, siap dengan aplikasi google calendar.

“Hahaha kamu benar-benar sudah gila, Lex!” ejek Parman sahabatnya sejak ia masih SD ketika mereka bertemu di kantor.

“Apakah kau pernah melihatku berlarian di jalan sambil berteriak-teriak?” jawab Alex sambil mengerjakan laporan yang diperintahkan atasannya.

“Jelas tidak! Kau masih bekerja, makan dan minum dengan normal, tapi ini mesin waktu, Lex! Mesin Waktu! Bahkan ilmuwan di negara-negara maju pun masih menganggap itu mustahil, dan kau, ah menjadikan film kartun sebagai acuan.”

“Hahaha eits, Avenger bukan film kartun, bro!”

“Sama saja! Namanya film tetap saja fiksi.”

“Haha kamu tidak akan mengerti biar kujelaskan, anggap saja ini hanya caraku menghabiskan waktu ketika bosan.”

* * *

Manajer Alex, ketika tinggal sejam lagi sebelum semua karyawan pulang, memantau anak buahnya itu menekan-menekan tuts keyboard komputer dengan gesit dan linca, dimana saat ini, di layar komputer milik Alex, terlihat tampilan microsoft excel yang penuh dengan angka.

 “Kau memang akunting kebanggan kami,” puji atasan Alex.

Ketika ia memastikan bahwa bosnya tidak lagi berada di samping untuk memantau pekerjaannya, Alex mengganti tampilan lembar kerja tadi dengan film “The Flash” yang memperlihatkan si tokoh utama kembali ke masa lalu.

“Sulit dilakukan, aku tidak bisa berlari secepat ini,” batin Alex.

* * *

Hujan yang kencang memaksa Alex untuk memarkir motor bebek miliknya di dekat halte yang saat itu sepi. Ia mengutak atik handphone guna mengisi waktu di sela-sela kegiatan menunggu hujan reda yang tentu membosankan.

Alex mengetik kata “Arlena” di kolom pencarian aplikasi instagram, tetapi tidak bisa menemukan akun yang ingin ia cari, begitu pula facebook, dan sosial media lainnya.

Ia lalu, dengan penuh rasa takut, membuka percakapan whatsapp nya dengan kontak yang ia beri nama, “Bestie”. Meski diselimuti kekhawatiran, Alex mencoba mengetik sesuatu.

Kata “Apa kabar?” yang kesekian kali itu, hanya berakhir dengan tanda centang satu, dimana berarti pesan Alex tersebut tidak sampai kepada orang yang ia tuju.

Alex tersenyum, menatap langit yang kini mulai cerah, kemudian kembali melanjutkan niatnya untuk kembali ke rumah, menikmati semangkuk mie instan dan mengakhiri hari di ranjangnya yang sempit.

 “Halo Alex!” suara ibu Alex lewat jalur seluler menyapa Alex sesaat setelah ia merebahkan diri di kasur.

“Halo Ma! Alex baru pulang kantor nih, kenapa nelpon jam segini?”

“Huh kamu, kalau orang tua mau tau kabar anaknya, kapanpun dimanapun boleh.”

“Iya Ma! Emangnya ada apa? Papa sehat, kan?”

“Papamu sehat, tapi sebentar lagi bakalan sakit keras, karena tahu anaknya yang sudah umur 35 tahun belum juga nikah, sejak lulus kamu udah berapa kali pacaran, tapi tidak ada satupun pacar kamu yang kamu nikahi.”

“Alex kan sudah minta ke mama buat bantu cariin, apapun pilihan mama, Alex ngikut, sekarang Alex yang penting bisa bangun keluarga serius dulu, tidak perlu pacaran lama, tinggal mama kirim fotonya ke Alex, pekerjaanya apa, kalau oke, Alex langsung ketemu sama keluarganya.”

“Nah itu yang mama mau bicarakan sama kamu, coba kamu cek WA deh.”

“Oke Ma, Alex lihat dulu, nanti Alex kabarin.”

“Okey, daa Alex, kamu sehat-sehat yah di sana!”

“Daa, mama sama papa sehat-sehat juga di sana!”

Alex melihat foto dan informasi yang dikirim ibunya. Foto seorang wanita cantik memakai toga wisuda, dan beberapa penjelasan mengenai wanita tersebut. Alex tersenyum, mengangguk lalu mengirim chat balasan kepada ibunya. “Cantik ma, Alex suka, kalau Alex cuti langsung aja ketemu orang tuanya.” 

Ia berbaring terlentang menatap langit-langit kamar yang penuh dengan sarang laba-laba. Sesekali ia mengarahkan pandangan ke mesin waktu yang ia buat dengan seadanya. HP yang sedang ia gunakan untuk bertukar cerita dengan ibunya tadi, kini digunakan Alex untuk menonton beberapa video di youtube tentang pengalaman orang yang pernah menjelajahi waktu.

Beberapa tampak meyakinkan, tetapi ujung-ujung video lain berisi klarifikasi orang yang sama bahwa videonya itu hanya merupakan settingan belaka. Ada lagi video seminar yang menyebutkan kalau mesin waktu memungkinkan untuk dibuat, tetapi sekali lagi, muncul secara kebetulan, video beberapa orang ahli fisika yang membantah teori tentang perjalanan waktu, dan menyebut ilmuwan tadi gila.

Alex memikirkan kembali dunianya saat ini dengan mindset yang lebih praktis dan realistis, betapa ia sekarang begitu beruntung dengan gaji dan pekerjaanya, ia pun sukses membangun komunitas kesenian yang sekarang sudah berumur delapan tahun di kampung halaman, dan Alex paham ia sudah sering melewati berbagai cobaan hidup dan jatuh cinta beberapa kali.

“Ah aku rupanya semakin tua semakin bodoh,” kata terakhir Alex sebelum ia terlelap dalam tidur.

* * *

Alex menatap jam tangan miliknya, saat itu sudah menunjukan pukul 15.00, harusnya junior yang ia tunggu sudah selesai mengikuti pembekalan untuk masuk di salah satu klub drama yang ada di kampusnya.

“Kak Alex, sory lama, maklum mahasiswa baru jadi takut mau minta izin pulang duluan,” seorang gadis tomboy dengan rambut mirip guntingan pria menyapanya.

Alex terbangun dari mimpi tentang kejadian 16 tahun lalu, “Alarm sial!”, ia menggerutu.

Setibanya di kantor, rekan-rekan kerjanya sedang mempersiapkan kejutan ulang tahun untuk manajer mereka. Ketika pria tua itu memasuki kantor, seisi departemen keuangan langsung menyanyikan lagu selamat ulang tahun, sembari menyodorkan kue dan lilin untuk ditiup.

“Terimakasih teman-teman! Untuk merayakannya, aku traktir kita makan siang di Kedai Kopi Baella.”

“Wah mantap tu, Pak!,” sahut salah seorang rekan kerja Alex.

“Bukannya disana hanya ada cemilan,” suasana menjadi hening ketika Alex mempertanyakan ide pimpinan mereka itu.

“Oh iya aku lupa, kamu baru kesini lagi semenjak kamu wisuda, walaupun kedai kopi, tapi menyediakan pula berbagai menu makanan, terutama jika kamu menyukai masakan oriental.”

“Apa tidak bisa tempat lain saja, Pak?”

“Hahaha sebenarnya ada apa denganmu Alex? Kamu bahkan belum pernah kesana, sudahlah ikuti saja kita, nanti kamu bakalan coba cappucino yang enak, lagipula itu tempat favoritku.”

“Sudahlah Lex, kamu ngapain sih? Kan tinggal ikut aja, makan gratis  nih,” timpal Parman.

Selang beberapa menit, akhirnya mereka semua tiba di kedai kopi yang dimaskud si manajer. Pelayan yang juga merupakan pemilik kedai tersebut rupanya seseorang yang dikenal Alex.

“Kak Alex? Sejak kapan balik lagi ke sini?”

“Dua bulan yang lalu.”

“Kerja?”

“Iya hehe, ini sama teman-teman kantor.”

“Oh gitu, welcome back, Kak!” Pria tadi memalingkan wajah ke arah barista wanita berambut panjang yang sedang menyeduh kopi dengan serius, “Sayang ini ada bestie kamu, Kak Alex.”

Arlena mengangkat wajahnya. Kini ia dan Alex saling bertatapan. Sesuai prediksi Alex sebelumnya, Arlena hanya menyapanya dengan anggukan kemudian kembali menaruh perhatiannya di mesin pembuat kopi. Hal demikian membuat pacar Arlena pun ikut bingung.

“Rupanya kamu kenal sama pemiliknya haha, mereka udah lama pacaran?” kata Parman dengan suara pelan.

“Sejak kuliah setahuku, tapi memang kedai ini belum ada waktu itu,” dengan wajah agak murung, Alex kembali menyeruput kopinya.

* * *

“Ah wedang memang enak di minum jam segini, apalagi saat flu,” kata mahasiswa tomboy yang duduk tepat di samping Alex.

“Setuju kalau itu, selera kita memang selalu sama.”

“Iyalah kita kan sahib, semua di kampus tahu kalau kita kayak amplop sama prangko.”

“Haha iya-iya kemana-mana berdua, pacaran aja sekalian gimana?” tanya Alex yang membuat gadis itu terdiam.

“Waduh bahaya haha, memangnya kamu suka sama aku?”

“Masih kurang jelas?”

“Kirain selama ini, semua rayuanmu sebatas candaan,” ia memegang tangan Alex, “begini Lex, kita sudah terlalu dekat untuk pacaran, yang perlu kamu pahami, hatiku sudah jadi milikmu, tidak mungkin ada orang lain lagi.”

“Maksudnya kamu suka sama aku? Kita bisa pacaran? Supaya lebih official hehe.”

“Hahaha kamu tahu kan aku perempuan seperti apa, aku tidak se feminis itu untuk berada di situasi yang romantis, mohon jangan minta aku mengulangi perkataan barusan, jijik tau nggak haha, dan soal pacaran, it is not me.”

Alex membelai rambut gadis itu kemudian berniat mencium tangannya, tetapi lebih dulu ia yang mengecup jari-jemari Alex, “Harusnya aku yang melakukan itu, Bego!”

“Alex! Alex!” panggilan Parman barusan membuyarkan lamunan masa lalu Alex, “kamu ngapain sih dari tadi melamun sambil mandangin bar, mau tambah kopi.”

“Rencana sih mau bawa pulang, enak soalnya hehe.”

“Itu manajer mau kasih pengumuman.”

“Mohon perhatian semua, bapak mau menyampaikan informasi dari bos kita, karyawan andalan kita, Alex Abraham, diminta oleh kantor pusat di Singapura untuk menjadi asisten manajer di sana, selamat yah!”

Raut wajah sumbringan tidak hanya terpancar dari wajah Alex, melainkan rekan-rekan kerjanya yang terus memberi selamat dan bertepuk tangan ketika mendengar kabar baik itu.

“Waduh bukan cuma waktu kuliah, sekarang kita mau pisah lagi, Bro,” beda dengan yang lain, Parman kelihatan sedih, mengingat dia akan berpisah lumayan jauh dan lama dengan sahabatnya sejak kecil.

“Emangnya kapan saya harus ke sana, Pak?”

“Ah maaf itu murni kesalahan manajemen, kita terlambat memberitahu, karena kebutuhannya memang mendesak, kamu harus berangkat lusa Alex.”

“Baik pak, suatu kehormatan buat saya, kebetulan keluar negeri adalah mimpi saya sejak kecil.”

Setekah kawan-kwannya, termasuk Parman, meninggalkan kedai, Alex masih di sana untuk memesan kopi buat di bawah pulang. Seperti biasa, sikap dingin dan ekspresi datar Arlena menjadi penyebab suasana di sekitar mesin kasir menjadi tidak nyaman buat Alex.

“Pesan apa?”

“Kapucino kayak tadi,” jawab Alex cepat.

“Oke tunggu ya!”

Alex mempehatikan wanita itu dengan saksama. Tidak ada yang berubah selain potongan rambutnya yang kini jauh berbeda dengan apa yang diingatnya dulu. Cara berpakaiannya masih sama, kaos oblong longgar dengan jeans hitam seperti yang biasa dikenakan kaum adam.

“25.000.”

“Arlena ngomong-ngomong—,“ Alex memulai pembicaraan usai memberikan uang.

“Maaf kalau sudah tidak ada lagi keperluan, bisa kasih kesempatan yang lain, banyak yang antri soalnya, Kak!” 

Respon Arlena demikian membuat Alex hanya bisa tersenyum. Iya, senyuman yang kentara sekali dibuat-dibuat. Sekarang wanita itu bahkan kembali memanggilnya “kak” sama ketika mereka pertama kali bertemu. Ia paham betul sikap demikian adalah yang paling tepat untuk dilakukan. Alexpun sukses menyembunyikan kesedihan yang bergelut dalam hatinya. Tidak ada lagi yang bisa diperbuat selain berbalik dan segera pergi.

Sesampainya di kos, Alex segera mengabari kedua orang tuanya. Ibu Alex turut merasa bangga dan bahagia, tetapi ia tidak lupa mengingatkan Alex akan janjinya saat ia cuti nanti.

Alex mempersiapkan keperluan yang akan ia bawa ke Singapura. Mulai dari pakaian, obat-obatan, dan dokumen yang dibutuhkan untuk mengurus visa dan paspor besok.

Usai semua barangnya siap. Alex berbaring di kasurnya sambil mengutak atik handphone. Alex melihat kembali informasi-informasi beasiswa luar negeri yang dulu kerap ia cari. Betapa senangnya ia, mimpinya tinggal di luar negeri yang sempat kandas karena beberapa kali gagal mengikuti tes beasiswa, dan tidak punya uang yang cukup, kini tinggal menghitung hari.

* * *

Alex dan gadis tomboy yang sering bersamanya sewaktu kuliah sedang asik duduk menikmati kopi dan pisang goreng di pinggiran pantai. Sore hari yang cerah itu membuat Alex dapat memandangi dengan jelas paras cantik sosok di depannya meski dibalut dandanan cowok.

“Alex tunggu yah, aku lagi berusaha untuk bisa menyesuaikan dengan permintaanmu.”

“Hahaha tidak perlu sih, aku nyaman aja kita kayak gini, yang penting kamu selalu ada buat aku.”

“Yah kok gitu, aku niatnya mau manjangin rambut, biar nanti kita tidak kelihatan aneh kalau pacaran.”

Baru saja ingin membalas perkataannya, Alex terbangun dari mimpinya tentang kejadian saat ia masih duduk di bangku kuliah. Jam dinding telah menunjukan waktu tengah malam. Di HP-nya terlihat screenshot chat aplikasi Blackberry Messenger antara dia dan Arlena tiga belas tahun lalu.

“Kamu kira kamu itu siapa? Beraninya bersikap kasar sama aku, teriak-teriak di depan kos, banting-banting barang segala, ingat yah bukan berarti kita dekat,lantas aku harus setiap saat dengan kamu, aku juga punya lingkungan pergaulan yang lain, jujur kamu buat aku jijik dan malu, bisa dibilang aku menyesal menghabiskan waktu bahkan kenal sama kamu, bertepatan kamu udah mau balik ke daerah kamu, jangan pernah ganggu aku lagi!”

Alex menitikkan air mata. Ia menangis tersedu-sedu membaca kembali chat terakhirnya dengan Arlena. Alex memandang bergantian antara cup kopi buatan Arlena dengan mesin waktu yang ia rancang.

Masih berlinang air mata, Alex berganti memandangi koper yang telah ia siapkan untuk kepergiannya ke luar negeri. Alex membatin, “Persetan dengan itu!”.

Alex menyalahkan mesin diesel bertegangan tinggi yang menjadi sumber energi mesin waktu miliknya.  Terlihat aliran listrik mengitari Alumunium yang ia bentuk melingkar. Alex menyetel tanggal di laptop, kemudian sejenak tersadar bahwa yang ia lakukan tersebut adalah hal yang tidak masuk akal. 

“Dari model mesinnya saja sudah jelek begini, haha aku memang mulai gila!”

Alex melangkah perlahan mendekati arus listrik yang berputar searah jarum jam di mesin waktunya. Di otaknya yang tidak bodoh itu, ia tahu bahwa hal demikian mustahil untuk dilakukan, tetapi di lubuk hati yang paling dalam, Alek berdoa kepada Tuhan semoga usahanya berhasil.

“Alex! Alex!” suara Parman memanggil dari luar, tetapi tidak dihiraukan sama sekali.

Tubuh Alex terlempar, membentur dinding kamarnya begitu menyentuh pusaran listrik itu, ia terbaring lemas dengan nafas terengah-engah. 

“Alex kamu ngapain? Alex bunyi apa itu? Alex! Alex!” suara Parman mengeras, tetapi tidak mendapat respon apa-apa dari dalam kamar.

Meski kesulitan, Alex kembali berdiri. Ia berjalan lagi menuju aliran listrik yang bertegangan tinggi tersebut. Kali ini ia tidak hanya bicara dalam hati. “Tuhan tolonglah!” kata Alex sebelum ia kembali mengarahkan tangannya ke arus listrik, dan ia pun kembali terhempas. 

Sekujur badan Alex menggeliat akibat tersengat, setelahnya, tubuhnya membujur kaku, perlahan matanya pun tertutup. Saat itu Alex mengira, bahwa sekaranglah waktu ajal menjemput dirinya.

Alih-alih berada di kamar kosnya yang sempit, kini Alex tepat berdiri di depan kos-kosan putri yang sangat dikenalinya. Ia memperhatikan sekeliling, kemudian membalikan badan, fakultas tempat ia mengenyam pendidikan semasa kuliah, masih merupakan bangunan tua.

Seketika Alex langsung memeriksa helm, motor dan HP yang ia gunakan dulu. Semuanya masih dalam keadaan normal, tidak retak atau rusak. Rupanya ia belum terlambat. Kemudian Alex menyadari bahwa dia  sedang berada di tengah aktivitas mengetik sesuatu untuk dikirimkan kepada Arlena. “Hampir saja!,” gumam Alex. Lalu ia buru-buru menghapus draft chat yang lumayan panjang itu.

Sesuai perkiraan Alex, beberapa saat kemudian Arlena keluar menemuinya. Rambutnya mulai memanjang, kentara dari ikatan rambut di kepalanya.

“Alex kenapa nge-SPAM chat sama telepon? Aku kan sudah bilang belum bisa sama-sama hari ini, soalnya mau ngumpul sama teman-teman angkatan.”

Alex terdiam, ia menghayati momen yang sudah lama tidak terjadi antara dia dan Arlena, bersamaan dengan air mata yang jatuh dipipinya.

“Kamu kenapa? Ada masalah apa? Semalam pas kita jalan, kamu kelihatan baik-baik saja,” Alex tidak menjawab pertanyaan Arlena barusan. Saking terharunya, ia kesulitan untuk mengungkapkan isi hatinya. 

“Begini, aku mau pinjam ATM kamu, ATM aku hilang tadi, kamu tidak balas-balas chat aku, takutnya kamu udah pergi, lupa buat kasih pinjam ATM, mau makan nanti gimana haha,” jawaban yang seratus persen berbeda dengan jawaban yang disampaikan Alex dahulu.

“Oh gitu, aku kira kenapa, tidak perlu sampai menangis begini Alex!” raut wajah Arlena yang semula ketus, kini kembali tersenyum. Perubahan sikap Arlena itu sontak membuat Alex semakin terharu. Setelah bertahun-tahun, senyuman tersebut akhirnya kembali padanya.

“Nih, tapi nanti ganti yah kalau ATMnya sudah jadi, aku udah mau pergi,” Arlena menyodorkan ATM miliknya.

“Mau aku antar?”

“Tidak usah, nanti bakalan dijemput sama teman-teman, mereka bilang cukup kita-kita aja yang hadir, maaf yah Alex, sesekali boleh dong!”

“Biar berkali-kali pun boleh, kamu kan punya kehidupan lain yang mesti kamu jalani, kan biar nanti kita bisa bertukar cerita.”

“Yakin nih tidak apa-apa? Kok tumben hehe makasih yah,” Arlena tersenyum ceriah. Ia mencubit pipi Alex dengan begitu kuat, “Memang pintar bestiku satu ini!”

“Harusnya aku yang melakukan itu hehe,” usai mengucapkan itu, tubuh Alex gemetar, nafasnya sesak, tanpa tahu sebabnya, Alex terjatuh dan tidak sadarkan diri.

* * *

HP milik Alex berdering, membuat ia terbangun dari tidurnya. Alex memperhatikan dimana kini ia berada. Ternyata Alex telah kembali ke kamar kosnya yang sederhana. Furniture, jam dinding, bahkan kopor masih berada di posisi semula, yang berbeda hanya mesin waktu Alex yang hilang entah kemana.

Ia membaca nama kontak yang membangunkannya itu, “Bestie”. Alex kaget, akun yang telah memblokirnya sekian lama, anehnya kini meneleponnya berulang-ulang. Dengan gugup, Alex menjawab panggilan itu.

“Kamu ketiduran ya?”

“Eh itu..”

“Pokoknya kalau kamu tidak datang, aku akan batalkan pernikahan ini, dan jangan coba-coba menghubungiku lagi!”

Mendengar ancaman yang dulu mengakibatkannya galau seumur hidup, segera mendesak Alex untuk bangun dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Sejak terbangun hingga ketika berada dalam perjalanan menuju gereja, perlahan, satu per satu, ingatan-ingatan baru muncul di kepala Alex. Bukan sekedar ingatan, tapi jasmani dan rohaninya ikut pula merasakan perubahan pengalaman hidup yang telah ia alami akibat perjalanan waktu.

Sesaat setelah tiba di gereja, Alek buru-buru mengambil tempat duduk. Dia kaget bahwa orang yang duduk di sebelahnya adalah Parman, “Kok kamu diundang?”

“Laiyalah, kita kan teman satu kantor! Kepalamu habis terbentur yah?”

“Teman kantor? Bagaimana bisa?”

“Astaga kamu kan yang merekomendasikan dia kerja di tempat kita, bos langsung mengiyakan, karena katanya yang masuk itu sahabatmu, kebetulan dia kompeten juga jadi quality control produk makanan di kantor, ada-ada saja kamu nih.”

Alex memperhatikan sekeliling, di antara para undangan, selain teman kuliah mereka, ada pula pimpinan dan karyawan di tempat Alex bekerja.

Musik yang mengiri pengantin berbunyi, semua orang berdiri menyambut mempelai wanita untuk bertemu pasangannya di Altar. Di sana telah menunggu pria yang sama dengan yang bersama Arlena di kedai kopi.

Arlena tampak cantik dengan gaun putih menawan. Rambutnya yang panjang dihiasi hiasan kepala yang senada dengan warna gaunnya. Meski ia berjalan pelan penuh khidmat, tapi ia kelihatan panik, kepalanya menengok kesana kemari, seakan mencari sesuatu. 

Ketika Arlena berhasil menemukan posisi Alex, ia terlihat lega, kemudian tersenyum kearah pria itu sambil mengedipkan mata kirinya, lalu memasang tampang mengejek.

“Aku dengar dari teman-teman kuliahnya, katanya kalian dulu pacaran?” bisik Parman.

“Hahaha tidak, itu cuma gosip yang biasa muncul kalau melihat laki-laki dan perempuan dekat.”

Saat berada di altar, sebelum pendeta memandu pemberkatan nikah, Arlena masih sempat-sempatnya tersenyum kearah Alex sambil mengucapkan sesuatu tanpa suara. Dari gerakan dan bentuk bibirnya, Alex paham betul bahwa kata yang diucapkan adalah “Terimakasih”.

Senyuman tulus Arlena yang akhirnya ia peroleh, adalah suatu kepuasan bagi Alex karena mengetahui bahwa tujuannya kembali ke masa lalu berhasil.

“Alex, ngomong-ngomong kamu sudah tahu kalau permintaan untuk kamu ke Singapura ditunda?” kata Parman.

“Iya, sekalian aja batal.”

“Hah? Bukannya itu mimpimu sejak kecil?”

“Aku bakalan lebih bahagia bekerja di sini.”


Siuna, 8 Agustus 2023