Analisis Sosiologi Mengenai Konser ColdPlay - Utustoria Analisis Sosiologi Mengenai Konser ColdPlay - Utustoria

Analisis Sosiologi Mengenai Konser ColdPlay

212
Spread the love

Photo: ColdPlay (Istimewa)

Ulasan oleh Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Sosiolog, Tinggal di Bantul Yogyakarta


Utustoria.com – Akhir-akhir ini, ramai diperbincangkan mengenai konser salah satu band musik dari Inggris, yakni Coldplay. Coldplay menggelar konser di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Rencananya, Coldplay dijadwalkan akan menggelar konser di Jakarta pada tanggal 15 November 2023, di Lapangan Stadion Gelora Bung Karno dan didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Harga tiketnya bervariasi, dari Rp800 ribu hingga Rp11 juta.
Berdasarkan informasi yang ada, tiket untuk konser di Jakarta telah sold-out yang dijual melalui promotor resmi, meskipun terdapat calo dalam penjualan tiket konser Coldplay bahkan terdapat beberapa oknum menggunakan modus calo untuk melakukan penipuan.
Harga tiket Coldplay dijual tanggal 17 hingga 19 Mei 2023, namun tanggal 18 Mei 2023 tiket sudah terjual habis karena adanya ticket war atau perang tiket yang berarti memperebutkan atau bersaing atau berlomba-lomba dalam memperoleh tiket.
Kabar yang beredar pun ada pihak yang meminta untuk menambah konser satu hari sehingga menjadi dua hari, namun belum ada konfirmasi lebih lanjut terkait hal tersebut.
Selain terkait persoalan teknis penyelenggaraan konser, juga terdapat persoalan substansi kultural mengenai rencana konser tersebut. Tidak sedikit pihak khususnya dari beberapa tokoh dan ormas keagamaan yang menolak konser Coldplay karena Coldplay dinilai menyebarkan nilai-nilai LGBT dan Atheisme, selain itu juga tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang tidak sama dengan bangsa Barat. Bahkan ada ormas yang berencana akan menggagalkan konser tersebut karena dinilai dapat membahayakan moral bangsa Indonesia.


Terlepas dari persoalan pro dan kontra dari konser Coldplay, secara sosiologis menarik untuk diulas dari sisi perkembangan industri budaya yang berpengaruh terhadap keterkenalan sebuah grup musik Barat, termasuk Coldplay dalam konteks masyarakat Indonesia.
Tak bisa dipungkiri, industri budaya memainkan peran yang sangat signifikan dalam memproduksi jenis-jenis hiburan yang dirancang sesuai ekspektasi pasar.
Dalam merancang ekspektasi pasar, para pelaku atau perusahaan industri budaya berbasis global melakukan berbagai riset untuk mengetahui keinginan dan selera masyarakat termasuk dari sisi psikologisnya.
Tak jarang upaya tersebut didukung oleh negara-negara yang begitu terbuka dengan unsur-unsur neoliberal demi sebuah keuntungan ditambah kontribusi dari beberapa instansi seperti kampus yang melakukan kajian strategi pemasaran atau prinsip manajerialisme.
Hasil dari riset tersebut kemudian dirakit dalam bentuk iklan dan promosi dengan prinsip-prinsip hiperrealitas yang dapat memikat massa untuk mengonsumsi.
Penggunaan prinsip hiperrealitas, meminjam istilah dari Jean Baudrillard, menampilkan berbagai citra imajiner yang membentuk makna kebahagiaan sebagai manusia-manusia kekinian, manusia-manusia yang dirancang dalam desain pasar.
Apabila dikaitkan dengan perspektif dari Pierre Bourdieu tentang ranah, habitus, dan kapital, orang-orang yang rela bahkan menghabiskan uang hingga jutaan rupiah untuk menonton konser Coldplay tidak selalu dimaknai dalam perangkap citra atau tanda sebagaimana pemikiran mainstream Baudrillard, namun memiliki kekuatan negosiasi dan konsolidasi dalam menggunakan unsur-unsur identitas kelas untuk terlibat aktif dengan citra-citra imajiner yang ditampilkan.
Bagi mereka yang membayar tiket dalam kelas reguler, itu merupakan sebuah bentuk negosiasi dalam kehidupan ruang perkotaan yang glamour dan dinamis, karena sebagian dari mereka tetap memperhatikan nilai-nilai agama dan budaya.
Adapun bagi yang membayar pada kelas VIP, tentu merupakan sebuah wujud privilege sebuah kelas sosial yang dengan lebih bebas mampu melibatkan diri dengan citra-citra imajiner kapitalisme.
Citra-citra imajiner di sini berarti tampilan yang dibuat memukau dalam wujud visual seperti gambar atau tayangan yang membangkitkan hasrat ditambah dengan narasi-narasi audio yang melegitimasi citra-citra imajiner tersebut yang ada dalam pakaian, aksesoris, gerak badan, suara, wajah, bentuk tubuh, nama yang dibuat terkesan super, dll.
Hal itu bagi pemesan tiket reguler, semi-VIP maupun VIP menjadi sebuah kontestasi dalam penggunaan ruang-ruang yang dicitrakan atau disimulasikan demi meningkatkan harga diri atau reputasi identitas mereka, termasuk bagi orang yang sengaja berutang kepada pinjol demi tiket Coldplay yang tentu sudah siap menanggung risikonya.
Untuk golongan yang terakhir merupakan pihak yang paling rentan karena tidak mampu mengendalikan diri dalam pengaruh hiperreralitas yang disebarluaskan oleh industri pasar.


Menyikapi hal-hal di atas, diperlukan koordinasi dari semua pihak dan pemangku kepentingan dalam menjaga stabilitas sosial menjelang konser musik band dari Barat.
Dalam hal ini perlu terus didiskusikan tentang besarnya biaya dan upaya meminimalisasi kerugian-kerugian materi dan nonmateri dari sebuah acara besar.
Dari hal itu sekiranya dapat mengantisipasi kejadian seperti penolakan terhadap timnas Israel U-20 dalam Piala Dunia U-20 di mana Indonesia sebagai tuan rumahnya yang kemudian dibatalkan.
Transparansi publik mengenai kegiatan dan biaya tetap menjadi prioritas agar tidak saling menimbulkan prasangka.
Sementara itu dari sisi individu agar terus melakukan refleksi diri dalam kehidupan yang penuh dengan fluiditas citra yang berkembang sangat pesat sehingga dapat lebih sadar dalam memperhatikan nilai guna dan nilai citra.