
Photo: Ilustrasi
Oleh: Abdy Gunawan
Sudah dua tahun berlalu, tapi Awi masih saja belum percaya anak laki-kalinya kini telah tiada. Di kedai kopi tempat Awi duduk saat ini, anaknya yang baru berusia dua belas tahun ditembak oleh seseorang yang menurut investigasi polisi merupakan salah satu anggota kelompok pembebasan. “Pembebasan? Kau yakin? Apa urusan mereka dengan Awi? Awi hanya seorang musisi, ia bahkan tidak peduli dengan politik!” “Aku juga tidak mengerti kawan, Pembebasan biasanya hanya menyerang pemerintah, itupun tidak sampai melukai keluarga mereka.” “Ah kau terlalu berprasangka baik pada kelompok teroris itu, bisa saja mereka memang bengis, membunuh hanya untuk memuaskan nafsu belaka.” Percakapan dua orang tadi, meski telah berusaha mengecilkan volume, tetapi Awi yang duduk membelakangi mereka, masih dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Awi berdiri, meninggalkan kursi yang ia duduki dari tadi, kemudian mendekati kasir, mengeluarkan Rp.25.000 dan membayar kopi susu milikinya. Ketika berada di luar, Awi memandang kembali kedai kopi tempat anaknya menghembuskan nafas terakhir. Ia menutup kepala yang sedari tadi telah basah oleh gerimis menggunakan tudung jacket, lalu berjalan cepat dan menghilang dari pandangan siapapun yang berada di kedai kopi tersebut. * * * “Kelompok pembebasan terakhir kali terlihat memasuki hutan," jawab Jendral saat ditanya oleh Wali Kota. “Kalian kejar?” “Tidak, Pak! Sesuai arahan.” “Yah tepat! Kalau kopassus serius, sudah lama kita habisi mereka, tapi jangan! Biarkan masyarakat terus ketakutan, kalau tidak, bisa-bisa isunya malah ekonomi, kemiskinan dan lain-lain.” “Tapi nyawa bapak dan pejabat yang lain dalam bahaya.” “Hahaha memangnya kamu bakalan diam aja kalau aku kenapa-kenapa, kalau yang lain yah, biarkan saja, lebih banyak korban, masyarakat lebih takut nantinya.” “Kalau yang mati cuma dari kalangan pejabat, masyarakat tidak bakalan takut, polanya mudah dipahami, malah trust publik ke Pembebasan bisa lebih tinggi, apalagi bagi masyarakat yang memang kurang puas dengan kinerja kita.” “Ah kau benar Jendral! Kalau begitu aku mau ada korban dari warga sipil, kalau boleh anak-anak, biar kelihatan lebih sadis.” “Baik, Pak! Beri kami dua bulan!” * * * Bersama gitar akustik yang tidak terpisah dari dirinya, Awi telah mengunjungi lebih dari 10 kafe hari ini, akan tetapi tidak ada satupun yang bersedia memberinya pekerjaan. Mulai perihal tidak laku lagi dipasaran, hingga menyinggung soal selera lagunya yang ketinggalan zaman. “Ah dulu kedaimu laris karena aku main di sini.” “Hahaha anak muda seperti mereka kau pikir mau dihibur om-om,” kata Melwan, pemilik kafe terakhir yang didatangi Awi. Musisi itu tidak terima begitu saja, ia memohon agar Melwan memberinya pekerjaan. “Eh begini saja, apapun biar bukan menyanyi, aku bisa jadi pelayan, eh atau juru masak.” “Bertahun-tahun kau meniti karir sebagai musisi di kota ini, punya banyak murid, punya banyak pengikut, dianggap senior di dunia musik, visioner dan idealis, apakah kau tidak malu jika hanya menjadi pelayan?” “Ah persetan dengan semua itu? Aku butuh makan! Orang tuaku tidak lagi mau menanggung anak mereka yang sudah berusia 45 tahun dan telah berkeluarga.” “Kasihan kamu! Masamu sudah habis, bukan salah siapa-siapa, memang begitulah lika-liku dunia hiburan, besok datang jam 4 sore! Kau bisa mulai dengan membersihkan meja dan cuci piring.” Keesokan harinya, Awi lengkap dengan seragam pelayan kafe. Hilir mudik menyemprotkan cairan pembersih ke meja makan sebelum para pelanggan datang. Ia terlihat nyaman-nyaman saja, sampai akhirnya dua orang pasangan muda-mudi menyapa Awi. “Senior Awi, ngapain di sini? Lagi cek sound? … Eh tunggu dulu, bukannya seragam ini..” belum sempat pria tersebut menyelesaikan kalimatnya, Awi yang dari tadi tidak membalikan badan, dengan tergesa-gesa menjauh dari situasi canggung itu. Awi menatap cermin yang terletak di kamar mandi. Ia memandang wajah serta pakaian yang ia kenakan. Mungkin karena keburu ingin cepat-cepat punya uang, Awi sama sekali tidak memikirkan bahwa tempat kerjanya sekarang kerap dijadikan lokasi nongkrong para musisi muda yang sering minta ilmu kepadanya. “Wah aku tidak menyangka ketemu musisi senior, aku fans berat lagu-lagu ciptaanmu.” “Oh begitu, terimakasih!” kata Awi gugup. Ia bersedekap. Mencoba menutupi nama cafe yang tertulis jelas di dada kirinya. “Wow kostumnya keren, dresscode band ya? Idenya unik, tampil pakai seragam pelayan, memang kalau legenda pasti beda dari kami-kami ini yang cuma reguleran di cafe.” “Tapi setidaknya kalian bisa punya penghasilan tetap, jadi tidak kesulitan dari sisi ekonomi,” Awi berbicara pelan. Sengaja hanya agar kalimatnya barusan didengar oleh dirinya sendiri, tapi ternyata musisi muda itu masih bisa mengetahui dengan jelas apa yang diucapkan Awi. “Emang jadi pimpinan sanggar tidak menjamin hidupmu, Bang?” “Eh haha tentu saja menjamin, musikku bukan hanya untuk hiburan semata, ia adalah manifestasi pandanganku tentang dunia, tidak bisa dinilai dengan uang, karena musik bagiku bukan hanya karya yang dikonsumsi oleh orang-orang, ia hidup, punya nyawa, dan setara dengan jiwa manusia.” “Tidak salah aku mengidolakanmu, kau memberi musik arti yang lebih mendalam dari sekedar hiburan semata, tapi maafkan aku, hanya ini yang kubisa dan kucintai, aku harus menggunakannya mencari uang.” MC memanggil nama pemuda yang sedari tadi berbicara dengan Awi. Rupanya ia adalah musisi yang baru dipekerjakan Melwan untuk menghibur para pengunjung kafe setiap malamnya. Penonton bersorak sorai usai pria itu membawakan empat lagu. Ia mahir dalam bernyanyi juga piawai memainkan gitar, “Hadirin sekalian, selanjutnya aku ingin mengundang panutanku, musisi yang sudah lama berkiprah di kota kita, jam terbangnya tidak diragukan lagi, ini dia, Awi Maulani. Baru berjalan dua langkah dari posisi berdirinya semula, Melwan mencegat niatan Awi untuk naik ke atas panggung, “Mau apa kamu? Kerja sana! Banyak piring yang belum dicuci.” Pemuda yang tadi mengundang Awi tampil, memandangnya dengan tatapan kecewa. Selain karena malu akibat undangannya yang tidak direspon, ia tidak menyangka bahwa orang yang ia begitu idolakan tega berbohong kepadanya. * * * Cafe sudah tutup sejam yang lalu. Awi sibuk merapikan kembali meja dan kursi bekas para pelanggang yang kebanyakan adalah muda-mudi. Tiba-tiba seseorang yang dikenal oleh hampir semua orang di kota Lewish menyapa Awi. Hanya tinggal mereka berdua. Bahkan Melwan, si owner sudah pulang dari tadi. “Kamu sama sekali tidak cocok jadi pelayan, Awi.” “Ah selamat malam Jendral, maaf aku tidak menyadari kedatanganmu, sejak kapan Bapak berada disini?” “Cukup lama untuk menyaksikan dirimu beberapa kali dipermalukan junior-juniormu sendiri!” Berbeda dengan Wali Kota yang kerap bercanda. Jendral selalu terlihat serius, dan berkata serta melakukan apapun secara hati-hati. “Yah memang, begitulah jika seorang seniman tidak bekerja selayaknya seniman.” “Sebenarnya tidak mengapa, seorang seniman pun bisa mencari rezeki dengan cara apapun, selama tidak melanggar hukum.” “Kau memang benar, lihat saja aku ini.” “Kau termakan omongan sendiri, yang kau lakukan sekarang adalah barang haram yang dulu kau sampaikan kepada pengikut-pengikutmu, jadi wajar saja jika mereka menganggap kau menjilati ludah sendiri.” “Maaf jendral, tapi ku rasa, kedatanganmu bukan hanya untuk menghinaku, bukan?” Meski terdengar lancang, nyatanya sekujur tubuh Awi telah mandi peluh. Selain karena memang Jenderal adalah sosok yang ditakuti oleh orang-orang Lewish, dulu waktu Awi masih muda dan berjaya, ia sering mengkritik pemerintahan Kota Lewish yang otoriter. * * * Dua bulan Awi menikmati kembali kehidupan sebagai musisi yang dibayar cukup mahal. Pemerintah memfasilitasinya tampil reguleran di ruang-ruang rekreasi karyawan di perusahaan tambang yang ada di Lewish. Hampir separuh dari daerah Lewish, dikuasai oleh perusahaan tambang luar negeri. Setiap malam Awi harus ke salah satu perusahaan tersebut secara bergantian untuk menghibur para pekerja asing yang sedang melepas penat. “Hanya ini yang kubisa, para pemilik cafe di Lewish berpikir kau tidak akan memberikan mereka keuntungan, karena usia dan selera musikmu yang jadul.” “Hahahaha tidak masalah Jenderal, aku tidak memperdulikannya lagi, ini yang terpenting,” Awi mengangkat beberapa lembar uang seratus ribu, “Lagi pula orang-orang Jepang ini, tidak peduli siapa yang bernyanyi.” “Sekarang saatnya kau membalasku.” Suasana menjadi hening.Wajah Jendral kini tampak lebih serius. Sementara Awi sudah bermandikan keringat dingin. Kedua kakinya entah kenapa, tidak berhenti bergetar. “Aku ingin kau mengajak anakmu datang ke kafe Melwan besok.” “Untuk apa?” “Kau akan mewakiliku bertemu ketua Pembebasan.” “Ah Gila!” Awi terangkat dari kursinya, “Pembebasan katamu? Aku tidak mau berurusan dengan teroris?” “Pikiranmu cepat sekali berubah, haha, aku tahu dulu kau simpatisan mereka saat masih muda, sekarang kau lebih memihak orang yang memberimu makan.” “Eh itu, sekarang aku lebih mencintai perdamaian, jadi tolonglah jangan libatkan aku dengan politik.” “Kau tidak punya pilihan, Awi. Ini Perintah!” Jenderal meski mengatakannya dengan nada yang pelan, tapi gesture meletakan pistol di atas meja yang baru saja dilakukan, sukses membuat Awi pipis di celana. “Ba-baiklah, ta-tapi, ke-kenapa harus dengan anakku? Hanya aku yang berhutang padamu,” kata Awi terbata-bata. “Kalau perihal itu, aku mengembalikannya kepadamu. Lagipula, Anakmu tidak punya kewajiban kepadaku, aku juga tidak ingin berurusan dengan lembaga perlindungan anak internasional.” “Ah baiklah kalau beg---“ “Kau pernah merekam lagu ciptaanmu di studio?” Potong Jendral. “Aku tidak pernah punya uang yang cukup untuk melakukan rekaman secara indi, dan laguku tidak diterima studio-studio besar, kata mereka tidak masuk pasaran.” “Siapkan saja 12 lagu terbaikmu, kalau aku yang minta, salah satu dari studio-studio itu pasti mau memproduseri karyamu, penting kau bersamanya saat bertemu Ketua Pembebasan.” Sampai Jendral meninggalkannya dirinya, ia masih tidak mampu mengungkapkan rasa bahagia yang kini berkecamuk di dalam kepalanya, “Orang-orang di Lewish akhirnya dapat mendengarkan betapa hebat laguku jika sudah masuk dapur rekaman.” Awi masih terus tersenyum, meski saat ini ia telah kembali ke rumah. Memandang buku catatan tebal yang didalamnya tertulis lirik-lirik lagu serta kunci gitar yang Awi buat sendiri. Ia menikmati nasibnya yang kini berubah 180 derajat akibat sering tampil menghibur karyawan perusahaan. Awi sekarang serba berkecukupan. Furniture rumahnya satu persatu dibeli. Rumah itu tidak lagi seperti gudang tua. Catnya ia ganti, dan di sudut-sudut ruangan telah dihiasi perabotan. Kamar anaknya pun telah terisi dengan banyak mainan. Awi masih bingung. “Mengapa bertemu Ketua Pembebasan haruslah membawa sang anak. Apa rencana jendral? Apa ia semata-mata hanya cari aman? Bagaimana denganku?” batin Awi. Kemudian tampak ekspresi lega terlukis di wajahnya, “Ah aku memahami betul sepak terjang kelompok pembebasan, mereka hanya membunuh orang pemerintahan.” Usai menyunting beberapa lirik dan melodi lagu-lagu lamanya, Awi bangkit dari ruang tamu, hendak menuju kamar. Ia terhenti saat melewati kamar anaknya. Awi memperhatikan wajah buah hati hasil pernikahannya dengan istri yang telah meninggalkan Awi lima tahun yang lalu. “Aku tidak akan membawamu, Nak! Hal demikian terlalu beresiko,” katanya dalam hati. Selang beberapa detik, ia kembali mengangkat dan memperhatikan buku kecil berisi lagu ciptaannya, kemudian secara bergantian, berpindah pandangan ke anaknya, lalu kembali lagi ke buku. * * * Berbeda dari anaknya yang sama sekali tidak tahu menahu, perasaan Awi saat ini campur aduk. Antara takut bertemu pria yang paling dimusuhi negara saat ini, dan perasaan penasaran dengan sedikit rasa bangga akan pengalaman yang bakal diperolehnya beberapa saat lagi. “Aku akan menjadi legenda, mewakili Negara berbicara dengan Ketua Pembebasan,” kalimat-kalimat tersebut terus diucapkannya guna membunuh waktu yang menurut Awi saat ini terasa lambat. “Kau bukan jenderal! Apa-apaan ini, kalian menjebak kami.” Awi kaget bukan kepalang. Seorang pria dengan topi berlambang bintang berwarna merah, tiba-tiba datang, mengagetkan Awi yang sedang membersihkan mulut anaknya yang belepotan coklat cair. Teriakan pria itu lantas membongkar penyamaran para anggota Kelompok Pembebasan yang ternyata sudah dari tadi berada di kedai kopi tersebut. Masing-masing dari mereka menodongkan senapan laras panjang ke arah pengunjung cafe. “Jendral! Apapun rencanamu, kuharap kau hentikan segera, nyawa beberapa orang berada dalam bahaya,” teriak Ketua Pembebasan kepada seseorang yang ia hubungi lewat telepon genggam. Para Anggota pembebasan terlihat panik. Seperti kebingungan dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Mereka dikhianati Jenderal. Tadinya mereka berpikir akan bertemu kaki tangan Wali Kota itu untuk melakukan diplomasi penting terkait gencatan senjata, atau bahkan perdamaian. Sirine polisi terdengar dari kejauhan. Para Anggota Pembebasan panik tidak karuan, “Apa yang akan kita lakukan Kamerad?” Tanya salah seorang anak buahnya. “Tenang, Kamerad! Ini salahku karena mempercayai Jendral, dengan terpaksa kita harus menjadikan mereka sandera.” Mengetahui fakta bahwa mereka akan dijadikan sandera, semua orang yang pastinya takut mati itu, berusaha kabur lewat pintu depan yang dijaga oleh seorang Anggota Pembebasan. Satu dua orang berhasil keluar, tetapi kebanyakan menyerah pada moncong senjata yang tepat berada di wajah mereka. Entah sejak kapan, anak Awi satu-satunya itu kini berada di luar kedai kopi. Sempat takut, tapi Awi akhirnya tersadar kalau anaknya kini lebih aman ketika berada di luar. “Ia akan selamat, polisi-polisi akan segera datang.” “Duaaar!” Baru berada kurang lebih 10 menit, dari puluhan pengunjung kafe yang berhasil keluar, hanya anaknya yang kini ambruk, tersungkur di tanah, dengan darah yang mengalir deras dari lubang kepalanya yang menganga. Orang-orang berteriak. Para wanita histeris dan memaki-maki para Anggota Pembebasan yang anehnya, bingung pula dengan adegan penembakan barusan. “Siapa yang menembak?” Semua anggotanya menggeleng. Kemudian dari arah dapur, tiba-tiba seorang Anggota Pembebasan datang, “Mereka tidak mengepung kita, pintu belakang aman!” * * * Sudah dua tahun berlalu, tapi Awi masih saja belum percaya anak laki-kalinya kini telah tiada. Di kedai kopi tempat Awi duduk saat ini. Anaknya yang baru berusia dua belas tahun ditembak oleh seseorang yang menurut investigasi polisi merupakan salah satu anggota kelompok pembebasan. “Pembebasan? Kau yakin? Apa urusan mereka dengan Awi? Awi hanya seorang musisi, ia bahkan tidak peduli dengan politik!” “Aku juga tidak mengerti kawan, Pembebasan biasa hanya menyerang pemerintah, itupun tidak sampai melukai keluarga mereka.” “Ah kau terlalu berprasangka baik pada kelompok teroris, bisa saja mereka memang bengis, membunuh hanya untuk memuaskan nafsu belaka.” Percakapan dua orang tadi, meski telah berusaha mengecilkan volume, tetapi Awi yang duduk membelakangi mereka, masih dapat menangkap apa yang mereka bicarakan. Awi berdiri, meninggalkan kursi yang ia duduki dari tadi, kemudian mendekati kasir, mengeluarkan Rp.25.000 dan membayar kopi susu milikinya. Ketika berada di luar, Awi memandang kedai kopi tempat anaknya menghembuskan nafas terakhir. Ia menutup kepala yang sedari tadi telah basah oleh gerimis menggunakan tudung jacket, lalu berjalan cepat dan menghilang dari pandangan siapapun yang berada di kedai kopi tersebut. “Halo, Selamat malam, Pak Produser?” Awi menelepon seseorang ketika sampai di rumah. “Iya Halo Awi, ada yang bisa saya bantu?” “Saya punya lagu baru, barangkali bisa digarap.” “Ah sudahlah Awi, kemarin saja tidak laku, kalau bukan karena permintaan Jendral, aku tidak akan menjual lagumu.”