
Photo: Istimewa (Sumber http://lambeturah.co.id)
Ulasan oleh Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Sosiolog, Tinggal di Bantul Yogyakarta.
Utustoria.com – Konten mandi lumpur menjadi viral beberapa waktu terakhir ini dan menimbulkan kontroversi bahkan tak sedikit menuai kecaman.
Konten tersebut beredar di TikTok yang diperankan seorang wanita paruh baya dan berada di sebuah tempat di daerah Lombok Tengah.
Dalam menjalankan tindakan viral itu, wanita tersebut menjalankan dengan sukarela dan disiarkan melalui akun TikTok salah satu kerabatnya.
Adanya konten mandi lumpur yang berlokasi di Lombok Tengah sudah ada di tempat-tempat lain.
Pemilik akun TikTok kemudian menirunya dan meminta kesediaan perempuan paruh baya yang merupakan saudaranya untuk menjadi pemeran konten mandi lumpur.
Dari tindakan mandi lumpur yang disiarkan di TikTok, perempuan paruh baya yang bersangkutan memperoleh keuntungan hingga 9 juta rupiah lebih yang dibagi rata dengan kerabatnya yang merupakan pemilik akun TikTok yang menjadi media tersebarnya konten kontroversial tersebut.
Menurut perempuan paruh baya tersebut, pendapatan dari konten mandi lumpur lebih menguntungkan daripada bertani yang dirasa cenderung kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Pemerintah daerah setempat dan kementerian sosial mengetahui hal itu dan kemudian menemui wanita paruh baya dan keluarganya agar menghentikan konten mandi lumpur.
Sebagai gantinya, wanita paruh baya pemeran konten mandi lumpur mendapat bantuan ternak ayam untuk modal usaha dan sembako yang bertujuan agar ia tidak meneruskan konten mandi lumpur viral.
Hal itu dinilai juga berdampak tidak baik bagi kesehatan dan sekaligus sebagai imbauan kepada masyarakat agar tidak memproduksi konten-konten yang berpotensi menimbulkan pergolakan dan hal-hal lain yang bersifat kontraproduktif.
Secara sosiologis, faktor pendorong adanya tindakan mandi lumpur oleh perempuan paruh baya yang viral selain karena peran kerabatnya juga disebabkan oleh lemahnya pengetahuan dan etika bermedia digital, merujuk pada perspektif Max Weber, lebih condong didominasi oleh tindakan rasional instrumental daripada tindakan berorientasi nilai.
Hal itu diperkuat oleh faktor sosial demografis seperti stereotip gender, rendahnya pendidikan, dan ketimpangan ekonomi di mana ketiga hal itu melekat khususnya pada identitas perempuan paruh baya pemeran mandi lumpur.
Perempuan yang memiliki kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) rendah cenderung berada pada posisi hegemonic decoding merujuk pada persepsi Stuart Hall dan menilai itu merupakan hak untuk mengekspresikan otonomi diri atau agensi dalam ruang-ruang media virtual.
Menurut Donna Haraway, ruang-ruang dalam media virtual membentuk identitas diri sebagai cyborg atau secara lebih spesifik sebagai cyborg feminism di mana perempuan memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan dirinya dalam ruang-ruang digital sekaligus sebagai bentuk resistensi terhadap hegemoni patriarki.
Identitas cyborg mengaburkan batasan antara identitas nyata dan identitas maya sehingga yang maya dianggap sebagai yang nyata dan begitu pula sebaliknya yang nyata menjadi maya diperkuat dengan sifat interaktivitas di dunia virtual yang mencair. Hal itu yang menjadi sebuah praktik diskursif yang membenarkan perilaku di dunia virtual yang kontras dengan praktik diskursif di dunia nyata.
Praktik diskursif di dunia maya lebih membentuk kekuatan imajinasi dan mobilitas sosial vertikal naik dibandingkan di dunia nyata.
Menurut Jean Baudrillard, keinginan untuk tampil terkenal dan viral di dunia virtual tidak didasarkan oleh praktik demokrasi, tetapi lebih kepada konstruksi identitas diri sebagai konsumen apolitis, yang berarti kemenangan ‘citra’ atas substansi yang berkorelasi dengan gagasan dari McLuhan di mana dalam pesan berbasis media menyatakan bahwa bagaimana sesuatu itu disajikan lebih penting daripada apa yang disajikan.
Baudrillard menyatakan bahwa hal-hal yang tidak nyata atau tiruan disimulasikan dan bahkan menggantikan aslinya, yang disebut sebagai orde ketiga simulakra atau hiperrealitas.
Dari hal itu semakin memperkuat bukti bahwa rezim posmodern di samping memperkuat sisi partisipasi demokratis namun di sisi lain juga cenderung merangkul citra, permukaan, dan ketidakdalaman, perilaku didasarkan pada logika pasar dan memperkuat kuasa pasar dalam menentukan tekstur dan pengalaman kehidupan kita sehari-hari.
Perempuan paruh baya rela mempertaruhkan rasa malu dan identitas sosialnya demi reproduksi citra diri di atas kedalaman identitas demi komodifikasi dan bukan tidak mungkin mengarah pada konsumerisme yang semakin memperkuat wacana tentang post-human.
Dampak dari semua itu ialah pembentukan apa yang dinamakan sebagai relativisme moral di mana citra atau hiperrealitas dari komunikasi tanpa batas telah mencengkeram pada sisi-sisi kehidupan individu di mana gemerlap dunia yang dibentuk oleh media menjadi kehidupan kedua yang lebih banyak menjanjikan kesenangan.
Utopianisme teknologi digital mungkin menawarkan kehidupan yang lebih baik, akan tetapi kesejahteraan di masa depan tergantung dari apa dan bagaimana yang kita lakukan hari ini dengan pilihan-pilihan yang ada.
Dari viralnya konten mandi lumpur dan analisis di atas, sekiranya penting untuk membentuk ketahanan ekonomi dan etika bermedia digital melalui penguatan modal sosial seperti membentuk komunitas pemberdayaan di dunia virtual.
Hal itu tentunya untuk memperkecil sisi gelap dari posmodernisme dan memperluas partisipasi positif warga salah satunya dalam kegiatan ekonomi berbasis digital.
Bagi perempuan paruh baya pelaku konten mandi lumpur viral dan juga pada warga lain yang memiliki keadaan sosial yang relatif serupa, perlu adanya pendampingan dan pelatihan mengenai ekonomi produktif disertai ajakan untuk bergabung dengan komunitas ekonomi produktif.
Penguatan sisi positif di era posmodern atau pascafordisme sekaligus sebagai kritik terhadap glorifikasi sisi kontraproduktif ataupun yang mengutamakan aspek narsisme dalam kaitannya dengan penggunaan teknologi informasi yang interaksi di dalamnya bersifat mencair.