Photo: Ilustrasi (www.ugm.ac.id)
Penulis: Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Sosiolog Alumnus Fisipol UGM, Tinggal di Bantul Yogyakarta
Utustoria.com – Sebelum media sosial merajai jagat kehidupan sosial, ketinggalan informasi dinilai sebagai masalah. Informasi apapun, baik terkait dengan pendidikan, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, cuaca, dan lain-lain. Kala informasi belum melimpah ruah seperti saat ini, komunikasi dalam penyampaian informasi dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas dan kewenangan sehingga minim risiko gesekan sosial di dalam masyarakat. Saya ingat cerita salah satu guru SMP saya, bahwa beliau pernah mengalami langsung suasa gerhana matahari total di tahun 80-an. Kala itu informasi hanya diperoleh dari media pemerintah Orde Baru seperti TVRI dan RRI yang membuat masyarakat patuh meskipun informasi tersebut dibumbui hal-hal yang menakutkan.
Runtuhnya Rezim Orde Baru pada Mei 1998 berdampak pada pengubahan kebijakan negara terhadap aktivitas media. Kebijakan itu termanifestasi pada terbukanya ruang-ruang media yang lebih demokratis di era Reformasi yang berdampak pada kebebasan pada penyampaian informasi, kebebasan dengan tetap mengedepankan asas tanggung jawab. Media yang awalnya didominasi oleh media cetak seperti koran, majalah, dan tabloid di awal-awal reformasi dalam perkembangannya kemudian diikuti oleh perkembangan teknologi informasi seperti internet dan telepon genggam.
Perkembangan internet dan telepon genggam memunculkan media-media komunikasi online atau yang lebih sering disebut sebagai media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, Telegram, Gmail, Line, Messenger, dan aplikasi lain yang sejenis memeriahkan gegap gempita informasi yang tidak lagi dimonopoli oleh pihak tertentu dalam penyampaiannya. Orang lebih nyaman dan cepat untuk mengakses informasi apapun di media sosial. Televisi, radio, dan media cetak telah kehilangan kewibawaannya dan bahkan ada yang mengalami kebangkrutan.
Munculnya beragam media sosial dengan kekayaan informasi yang ada di dalamnya tidak selalu membawa dampak yang memajukan. Adakalanya muncul sisi yang mendegradasi kehidupan dan hal ini yang perlu diulas agar lebih meningkatkan kehati-hatian kita dalam menggunakan media sosial. Kekayaan informasi dalam media sosial mengandung potensi yang dapat menimbukan fragmentasi atau disintegrasi. Fragmentasi atau disintegrasi sosial berada pada tataran makro di mana berkelindan dengan karakteristik bangsa Indonesia yang multikultural yang terdiri dari berbagai etnis, adat, bahasa, dan agama atau kepercayaan. Kekayaan informasi rentan dengan berbagai tafsir, representasi, dan deskripsi yang bertentangan dengan komunitas yang terikat dengan etnis, bahasa, adat, atau agama tertentu. Hal itu yang dapat menyebabkan terjadinya konflik di ruang media sosial bahkan dapat berujung konflik di dunia nyata.
Pluralnya informasi yang dicampuri oleh hoax dan ujaran kebencian dalam ruang media sosial berpotensi pula melahirkan konflik dalam tataran individual. Individu dapat terbawa arus oleh beragam informasi dari beragam media sosial menyebabkan ketidakstabilan emosi, kebingungan, stres, kegalauan, dan ketakutan. Ketidakstabilan dalam tataran individual tersebut bisa menyebabkan krisis identitas. Andaikan seseorang memiliki ikatan pada salah satu identitas berdasarkan etnis atau agama tertentu kemudian melihat banyak informasi yang bertentangan dengan prinsip yang ada dalam etnis atau agamanya, ada kemungkinan individu tersebut mengalami krisis identitas. Krisis identitas tersebut baik menurunnya keyakinan pada etnis atau agamanya atau semakin memperteguh keyakinan terhadap etnis atau agamanya yang berkorelasi dengan ikut menyebarkan ujaran kebencian dan hoax yang tidak disadari yang meningkatkan stigma terhadap agama atau etnis lain.
Krisis identitas berkaitan dengan keterbelahan identitas. Keterbelahan identitas tersebut berkaitan dengan bidang politik, ekonomi, budaya, gaya hidup, perkembangan teknologi, iklan, dunia hiburan, kebijakan publik, dan lain-lain. Kita ambil contoh dalam bidang politik. Misal seseorang yang berafilisasi pada salah satu partai politik tertentu dapat mengalami keterbelahan identitas politik ketika salah kadernya terlibat kasus korupsi. Di satu sisi dia kecewa dan mengkritik tindakan tidak terpuji dari kader tersebut, tetapi di sisi lain dia juga bisa mendukung kinerja partai lain dengan memberikan apresiasi di media sosial dengan akun yang tidak diketahui atau akun anonim. Bisa pula menggunakan akun samaran untuk menyatakan keinginan membentuk partai baru yang memiliki prinsip ideologi berbeda dari afiliasi partai sebelumnya.
***
Manuel Castells dan Jurgen Habermas merupakan dua pakar ilmu sosial yang memfokuskan pada kajian masyarakat modern tahap lanjut. Tahap lanjut yang dimaksud ialah masyarakat yang sulit mengaktualisasikan diri tanpa ruang-ruang publik baru yang memiliki jaringan dan relasi antarjaringan secara global. Baik Habermas maupun Castells masing-masing memiliki konsep yang berbeda mengenai ruang publik berjejaring, tetapi muaranya tetap sama pada isu ketegangan masyarakat modern tahap lanjut.
Jurgen Habermas memperkenalkan konsep logika lifeworld dan system, sedangkan Castells memperkenalkan konsep self dan net (Usman, 2018 : 46, 48). System dan net merupakan sistem global atau jaringan global yang saling terkoneksi termasuk melalui internet dan media sosial. Lifeworld dan self merupakan entitas individu atau komunitas yang merupakan tingkatan mikro-mezo di bawah kendali system dan net yang merupakan tingkatan makro. Habermas menandai system ke dalam instrumental rationality dan lifeworld ke dalam communicative rationality (Usman, 2018 : 46).
Instrumental rationality dan net merupakan ruang-ruang dalam media sosial yang dipenuhi beragam informasi. Ruang-ruang tersebut dinilai sebagai sarana rasional oleh aktor-aktor tertentu untuk merepresentasikan dan menyampaikan beragam kepentingan, maksud, dan tujuan. Berbagai kepentingan yang direpresentasikan dalam ruang media sosial menjadi bagian dari sistem yang mempengaruhi individu dan komunitas. Tidak selalu individu patuh kepada sistem tersebut, adakalanya terjadi protes dan perlawanan terhadap sistem tersebut yang kemudian menghasilkan ketegangan.
Saya sendiri pun mengalami secara nyata ketegangan antara system dan self. Saya sebagai self atau lifeworld merasa terombang-ambing secara batin melihat banyak akun di Instagram dan Facebook baik yang pro dengan pemerintah dan oposisi terhadap pemerintah dalam setiap kebijakan yang diambil. Contoh riil seperti kebijakan vaksinasi yang banyak menuai pro dan kontra. Beragam klaim yang mendukung dan menolak bertebaran utamanya di kolom komentar. Tidak sedikit kritik, sumpah serapah, kalimat benci, pujian, dukungan, dan simpati membuat saya sendiri bimbang harus berada di posisi yang mana. Terkadang saya harus melakukan self-reflection untuk menentukan sikap yang tidak terlalu mengarah ke pro dan yang tidak terlalu mengarah ke oposisi.
Mungkin tidak sedikit orang-orang selain saya yang juga mengalami apa yang saya alami dan mengambil tindakan self-reflection sebagai jalan keluar. Namun, tidak sedikit juga yang terperangkap ke dalam posisi nista seperti menghujat, menghina, memfitnah, membully, yang masuk ke dalam hate speech. Dan, tidak sedikit juga yang masuk ke dalam posisi pro ekstrem yang justru menyerang balik yang posisi nista dengan hate speech yang tak kalah hebat ditambah dengan berbagai hoax yang tersebar liar. Begitu mengerikannya sisi lain dari dunia media sosial yang melebihi kehebohan di dunia nyata. Kemungkinan karena hal itu Indonesia berada pada tingkat kesopanan paling rendah se-Asia Tenggara dalam hal berinternet khususnya bermedia sosial berdasarkan hasil dari riset Microsoft yang dirilis dalam Digital Civility Index (DCI), mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa atau 73,7 persen pada tahun 2020 sebagaimana dikutip dari teknologi.bisnis.com. Jumlah yang cukup besar tersebut ditambah dengan maraknya hate speech dan yang sejenisnya yang terkadang tidak mampu diimbangi dengan informasi-informasi yang positif dan membangun.
***
Melimpahnya beragam informasi di era Industri 4.0 yang terkontaminasi dengan berbagai hate speech dan hoax menyebabkan kita terperangkap dalam kekuasaan disrupsi atau kekacauan informasi. Disrupsi informasi menciptakan ketidaksolidan identitas dalam diri seseorang yang melahirkan apa disebut sebagai krisis legitimasi atau krisis penguatan dan pengesahan sesuatu dalam diri yang membentuk integritas diri seperti kejujuran, keterbukaan, kebijaksanaan, ketegasan, dan keteguhan. Krisis legitimasi dalam tataran mikro atau individu dapat berdampak pada munculnya krisis legitimasi pada tataran komunitas dan masyarakat seperti disintegrasi dan konflik sosial. Bila di zaman sebelum Rezim Media ketinggalan informasi menimbulkan masalah, maka di Rezim Media saat ini, keberlimpahan informasi menimbulkan masalah.
Disrupsi informasi dalam ruang media sosial menciptakan informasi yang memperbudak masyarakat. Perbudakan informasi atas masyarakat dikarenakan kurangnya pendidikan kritis-emansipatoris tentang media sosial sebagai ruang publik sebagaimana yang diutarakan oleh Habermas. Model pendidikan seperti itu secara praksis berupa literasi media yang sehat dan bertanggung jawab. Literasi media seharusnya mulai diterapkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia mengingat media menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan sosial saat ini. Namun, penerapan literasi media masih belum optimal mengingat kurikulum pendidikan masih terus melakukan penyesuaian terlebih di masa pandemi Covid-19.
Literasi media juga dapat dilakukan dengan mengintensifkan kampanye literasi sehat di ruang-ruang media sosial raksasa seperti Facebook dan Instagram. Dalam hal ini, fungsi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) begitu penting sebagai institusi yang memiliki otoritas dalam memberikan edukasi bermedia yang bermanfaat untuk warganet atau netizen. Diharapkan, kampanye secara intensif mengenai bermedia yang cerdas dan bertanggung jawab dapat menumbuhkan kesadaran dan empati dari warganet bahwa media sosial merupakan ruang publik yang harus diisi dengan perilaku dan aktivitas daring yang demokratis yang beretika dan menjadi ruang bagi individu dan komunitas untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka dan bermoral, di mana akan menjadi sebuah demokrasi deliberatif sebagaimana yang diutarakan oleh Habermas.
Akhirnya, demokrasi deliberatif dalam ruang media sosial menumbuhkan sikap untuk tidak langsung percaya terhadap informasi yang diterima, terlebih itu datangnya bukan dari sumber yang resmi dan terpercaya. Sikap tersebut memperkuat atau meningkatkan tindakan klarifikasi dan validasi terhadap informasi-informasi yang sumbernya tidak jelas, atau dalam kaidah Al-Qur’an disebut sebagai tabayyun. Memang, membiasakan tabayyun dapat menjadikan diri kita untuk tidak ikut-ikutan menjastifikasi tanpa bukti dan argumen yang kuat dan jelas.