Seniman-Seniman yang Merindu Selangkangan Raja - Utustoria Seniman-Seniman yang Merindu Selangkangan Raja - Utustoria

Seniman-Seniman yang Merindu Selangkangan Raja

960
Spread the love

Photo: Ilustrasi

Cerpen Karya Abdy Gunawan

Kota Abelovard tidak lagi sama seperti sebagaimana mestinya. Gedung-gedung pertunjukan dan pusat-pusat pameran seni kini sepi tak berpenghuni, hanya berkas-berkas sinar yang lewat di ventilasi jendela tempat yang dulunya adalah ruang publik.

Sudah 5 tahun sejak musik, hiburan dan bentuk-bentuk perayaan estetika lainnya dilarang untuk dilakukan. Lambat laun, kesenian akhirnya tidak lagi dirindukan oleh masyarakat Abelovard. Buntutnya, kesenangan dicari secara instan lewat penyalahgunaan obat-obat terlarang.

Para pekerja seni terlalu takut untuk sekedar berbeda pendapat dengan Erwan, Wali Kota yang dengan sadis tidak segan menghilangkan nyawa siapapun yang menentangnya.

“Apa yang membuat walikota sangat membenci kesenian?” tanya seorang wartawan dari luar kota.

“Aku sudah menjelaskan, bagaimana warga mencari kesenangan saat ini, silahkan simpulkan sendiri!” Akhirnya seorang penduduk Abelovard angkat bicara. Dari puluhan orang yang ia tanyai, hanya satu yang bersedia memberi komentar. Itupun disampaikan dengan gagap dan penuh rasa takut.

* * *

“Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini, bisa gila!” gerutu Eja, sastrawan yang kini bekerja kantoran akibat pelarangan seni yang dicetuskan pemerintah.

“Ja! Ja! Sudah dinikmati saja, yang penting kita masih bisa makan, dan yang utama, masih hidup,” kata Akmal sambil kedua jarinya menekan keyboard laptop.

Eja yang awalnya berada di seberang meja, kini datang menghampiri rekan sesama senimannya itu, kemudian menutup laptop milik Akmal, “Apa kau tidak rindu melukis? Apa hebatnya mengerjakan hal yang berulang-ulang seperti ini!”

“Pelankan suaramu!” memperhatikan sekeliling, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang berada bersama mereka saat itu, “Aku lebih memilih hidup untuk keluargaku, walaupun tanganku sudah sangat ingin memegang kuas.”

“Ah, jangan biarkan kematian teman-teman kita menghantuimu! Mereka saja yang kurang hati-hati.”

“Sudahlah, Eja! Biarkan saja karya-karyamu istirahat di buku catatan.”

“Aaah dasar penakut! Tanpa penikmat, karya kita ibarat makanan yang hanya membusuk di lemari, membusuk, Mal! Membusuk! Harusnya itu dimakan orang.”
Hanya senyuman kecil yang terlukis di bibir Akmal. Tanpa menggubris lagi sikap dan ucapan temannya itu, ia kembali mengerjakan pekerjaannya.

* * *

Eja berdiri di hadapan teman-teman pekerja seni yang kelihatan lesu dan pesimis atas alasan mereka berada di aula gedung pertunjukan saat itu.

Penuh sarang laba-laba dengan bau amis karena sering dijadikan tempat mabuk-mabukan oleh warga yang kehilangan tempat untuk mencari kesenangan, gedung pertunjukan tersebut membuat siapapun tidak nyaman ketika berada di dalamnya.

Peralatan bekas penggunaan sabu dan putau berserakan tak terhitung lagi jumlahnya. Gedung yang menyimpan beribu kenangan tentang tepuk tangan, sorakan dan lampu-lampu pertunjukan, kini hanya terdengar suara decit tikus yang mondar-mandir mencari makanan.

“Kalian lihat tempat ini,” semua yang hadir menatap sekeliling, “anak-anak dulunya kemari berlatih dan mengekspresikan diri, tapi lihat sekarang!” Eja mengambil jarum suntik yang terletak dekat kakinya, “ini yang mereka lakukan disini.”

“Apa yang ingin coba kau sampaikan, Eja?” tanya Sadam, salah satu seniman yang hadir.

“Kita akan lakukan revolusi estetik jilid 2.”

“Lalu kita akan dikuburkan berdampingan dengan para korban revolusi yang pertama,” Akmal dengan cepat merespon.

“Aku tidak perlu pendapatmu yang pengecut itu, Mal!”

“Dia ada benarnya Eja, kita masih bisa bernafas karena waktu itu bukan kita yang berada di panggung,” timpal Sadam.

Kalian berdua tidak perlu tampil jika takut. Biar aku dan yang lain saja yang mencetuskan revolusi ini. Kecintaan kalian akan kehidupan membuat ku jijik. 

“Kalian setuju dengannya? Kawan-Kawan? Hamsun ingat anakmu baru lahir!”

“Kami bukan sarjana sepertimu, tidak ada perusahaan yang mau menerimaku, yang bisa kulakukan hanya menjual apa yang bisa kujual, rasanya seperti hidup dalam jasad yang tidak memiliki nyawa, sudah sejak SD aku main musik dari panggung ke panggung, apa kau pikir gerobak sayur bisa menggantikan itu?” jawab Hamsun.

“Aku juga kehilangan arti di komunitas kita, tidak ada lagi yang menganggapku pencipta keindahan, hanya pria normal yang setiap hari duduk di belakang meja, tetapi posisi itu yang membuat dirinya bisa pulang dan bertemu keluarganya.”

“Kami akan menyusun rencana, silahkan kau pulang dan bersembunyi di balik ketiak istrimu, kami akan tampil, menghibur warga, dan membangunkan kesenian yang tertidur lama di kota ini,” Eja menanggapi.

“Lalu kalian semua pun akan dibuat tidur selamanya oleh Wali Kota Erwan.”

“Tenanglah! Aku bersedia bertanggung jawab, akan kusampaikan padanya bahwa kalian hanya ikut-ikutan karena diprovokasi dan diintimidasi olehku.”

“Ayolah teman-teman kita pergi dari tempat ini sebelum terlambat!”

Tidak ada satupun rekan senimannya yang mengiyakan ajakan Akmal. Rata-rata hanya diam dan menundukan muka. Tidak mampu berdebat lebih panjang dengan Akmal yang notabene dituakan di kelompok mereka.

“Sadam? Kau juga?”

“Eja bilang dia akan pasang badan, tidak peduli dampaknya seperti apa, aku hanya ingin pentas sekali saja, kita tidak tahu kan berapa lama lagi kita hidup, Mal?” walau segan, Sadam berusaha agar pendapatnya barusan tidak menyakiti perasaan Akmal, yang sejak ide ini beberapa hari lalu disampaikan Eja di WA group, Sadam bersama dengan Akmal, menjadi yang paling keras menolak gagasan tersebut.

* * *

Pengendara kendaraan bermotor yang biasanya lalu lalang, sibuk dengan urusan dan tujuan masing-masing, kini memarkirkan kendaraan mereka di sisi jalan sembari memperhatikan puluhan orang yang saat ini memenuhi sekeliling monumen yang berada di pusat kota.

Mereka terpaku pada kain putih raksasa yang ditulis dengan cat merah, “Pertunjukan Seni Abelovard”. 

Warga yang berada di sekitar monumen menatap bingung Eja dan kawan-kawan yang telah siap dengan sound system, panggung sederhana, alat musik, dan jejeran kanvas dengan peralatan melukis di sekitarnya.

Orang-orang yang berada di pusat kota paham dengan apa yang dilakukan sekelompok seniman itu, walaupun hal demikian telah lima tahun lamanya tidak pernah terlihat lagi. Ada yang langsung tertarik kemudian merapat ke arah monumen, ada yang masih tetap ditempat dan memantau dari jauh, sembari menebak-nebak nasib yang akan dialami para pekerja seni nekat itu.

Tidak sedikit pula, yang sekedar menoleh, lalu karena paham bahwa seni adalah hal yang tabu di Albelovard, tidak terbesit sedikitpun keinginan untuk tinggal dan menyaksikan pertunjukan Eja dan kawan-kawan.

“Sudah lama aku tidak melihat yang seperti ini, ah terimakasih Tuhan, kau masih memberikan kesempatan menyaksikannya lagi,” kata seorang kakek tua yang tergopoh-gopoh, melangkah pelan ke arah monumen didampingi cucu perempuannya.

“Cucuku, keceriaan sebentar lagi akan datang ke Albelovard, terimakasih Tuhan! terimakasih Tuhan!”

“Cukup berterima kasih kepada Tuhanmu, Pak Tua! Tidak ada yang terjadi di kota ini, jika bukan karena kehendakku, hahaha” saking perhatian tertuju pada panggung yang didirikan Eja dan rekan senimannya, masyarakat luput akan kedatangan sosok pria paruh baya dengan jenggot dan rambut putih tipis di kepalanya.

Masyarakat, termasuk para seniman, diam tak bergeming. Tragedi pembantaian pada peristiwa Revolusi Estetika Jilid Pertama masih membekas di ingatan mereka. Betapa bencinya Erwan sampai harus membunuh pencipta seni, daripada hanya melarang ciptaan mereka ditampilkan. 

Warga yang sempat turun dari motor dan mobil mereka, perlahan tapi pasti, melangkah mundur. Anak-anak kembali dalam pelukan orang tuanya yang bergegas menyelamatkan diri, sebelum instruksi Walikota selanjutnya membahayakan nyawa mereka.

“Hei kalian mau kemana? Bung Eja sudah mempersiapkan pertunjukan sedemikian rupa, haha ayo wargaku kita saksikan sama-sama!”

Meski dirundung kebingungan, Warga Arbelovard dengan ragu menghentikan niat mereka untuk meninggalkan tempat tersebut, lalu berbalik dan mendekat ke arah panggung.

Eja memberikan kode kepada para penampil untuk segera bersiap. Hamsun membuka pertunjukan dengan menyanyikan lagu ciptaannya sendiri diiringi permainan gitar akustiknya yang apik.

Akmal yang menyaksikan dari kejauhan tersenyum melihat kebahagiaan yang termanifestasi jelas di wajah Warga Abelovard. Tetapi jauh di lubuk hatinya, Akmal merasa khawatir akan sikap wali kota mereka yang tiba-tiba berubah.

* * *

"Inilah dia pahlawan kesenian Abelovard, Bung Eja!" kalimat Hamsun barusan diiringi sorak-sorai dari para seniman yang memenuhi kedai kopi, tempat yang sering mereka gunakan untuk berkumpul.

"Bagaimana? Apakah diizinkan?" tanya Sadam yang juga berada di sana saat itu.

Sebelum menjawab, Eja melepas terlebih dahulu topi rimba yang selalu ia kenakan, lalu meletakan tubuhnya yang kurus di kursi dekat bar.

"Pasti! Sudah kubilang revolusi ini berhasil, haha kita akan menyuguhkan warga sebuah pertunjukan kolosal, di sana nanti ada teaternya, tarian, musikalisasi puisi, pokoknya semua bentuk kesenian." 

Mendengar hal itu, semua yang hadir bertepuk tangan. Seisi kedai kopi mengeluh-eluhkan nama Eja.

"Ini terlalu mudah untuk sebuah revolusi," semuanya terdiam. Tidak ada yang mampu membatah statement Akmal barusan. Para penggiat senipun melihat ke arah Eja, karena hanya ia yang berani secara terang-terangan bersebrangan dengan Akmal.

"Mudah atau tidak, nyatanya hal ini berhasil, kita bisa berkumbul dengan bebas di sini, karena apa kalau bukan karena aksi tadi sore."

Tidak memperdulikan tanggapan Eja atas ucapannya, Akmal menyeruput kopi itam miliknya.

"Ah sudahlah, Mal! Aku tidak mau berdebat denganmu, di momen seperti sekarang, kita harus berkarya bersama, coba kau baca saja ini, kareka kau paling mahir, mungkin kau bersedia menjadi penata artisik kami," Eja menyodorkan naskah drama tebal kepada Akmal.

"Sang Pelindung?" Akmal membaca judul yang tertera di halaman pertama, "Bukannya selama ini tulisanmu berupa kritik sosial? Aku tidak menyangka kau akan menjilatnya lewat karyamu."

"Ayolah, Mal! Untuk sekarang yang penting masyarakat terhibur dulu, setelah 5 tahun akhirnya kita bisa berkesenian kembali, aku tidak akan menyia-nyiakan awal yang baik ini dengan idealisme semacam itu."
"Kalau begitu, silahkan kalian urus saja sendiri, i am out!" Akmal mengambil jaket jeans yang ia letakan di sandaran kursi, lalu perlahan melangkah meninggalkan kedai kopi.

"Dengan atau tanpamu, pertunjukan ini akan tetap kita lakukan, apalagi tiket sudah habis terjual, apakah kau tidak ingin memiliki pekerjaan sesuai dengan hobimu?"

Akmal berhenti kemudian berbalik, "Mungkin nanti akan ada revolusi yang sebenarnya, tapi bukan untuk melawan Erwan, melainkan kalian semua para pengkhianat!"

* * *

"Bagaimana? Apa ada kendala?" Tanya Erwan.

"Tidak ada, semua konsepnya sesuai keinginan bapak, nanti di akhir, Bapak akan muncul dan membunuh penjahat," Saking segannya, Eja tidak mampu menatap mata Erwan secara langsung.

"Yah itu perlu agar masyarakat selain takut, tapi juga dipola untuk mencintaiku sesuai saranmu, tapi bukan itu yang ingin kutanyakan."

"Oh soal narkoba, aman pak, semuanya sudah disiapkan, sabu, putau, ganja, akan dijual saat pentas, nanti kita usir dari gedung jika tidak beli."

"Hahaha ya, ya, ini ambil punyamu," Erwan membuka koper lalu mengambil uang senilai 20 juta lalu menyerahkannya pada Eja, "Sisanya ku kasih setelah pentas."

* * *

Setelah empat bulan persiapan, para seniman Albelovard siap mementaskan hasil latihan mereka dihadapapan warga yang memenuhi gedung pertunjukan.

Satu demi satu penampilan memukau para hadirin yang telah lama rindu akan perayaan-perayaan kesenian semacam itu.

Tidak kalah dengan para seniman, Wali Kota Erwan yang sedari tadi menjadi tokoh utama, memerankan sosok pahlawan yang melindungi kota dari penjahat.
Ia, walaupun dengan akting yang buruk, tetap mendapat apresiasi dari penonton, entah karena takut, atau simpati dengan perubahan sikap wali kota.

Di akhir drama, seseorang yang kedua tanganya terikat dengan kepala yang ditutup dengan tas plastik berwarna hitam, masuk ke dalam panggung.
Tokoh misterius yang entah diperankan oleh siapa, kesana kemari, terlihat gelisah dan bergerak tak menentu.

"Jangan lari kau penjahat!" Erwan menerjang ke arah orang itu kemudian beberapa kali menusukan pisau di perut dan dadanya. 

Saat dia tergeletak di lantai panggung dengan darah yag mengalir deras dari badannya, lampu panggungpun padam, tanda pertunjukan telah berakhir. Tepuk tangan yang meriah bergemuruh ke seleruh penjuru gedung pertunjukan.

"Haha aku tidak menyangka kau akan membuat adegan pembunuhan yang nyata," puji Erwan ketika bertemu Eja di belakang panggung, "Apakah penonton tadi tahu?"

"Tidak, mereka mengira itu rekaan semata, lagipula setiap revolusi memerlukan tumbal, sehingga tatanan baru yang dibangun tidak akan runtuh lagi."

"Aah bicaramu sudah seperti politisi saja, haha, ngomong-ngomong siapa itu tadi?"

"Dia satu-satunya seniman yang tidak setuju dengan gerakan kami."

Luwuk, 15 Desember 2022