Photo: Aksi Protes Perusakan Hutan dan Pelanggaran HAM (Istimewa)
Penulis: Abdul Haris
Utustoria.com – Krisis ekonomi global tidak terjadi di semua negara di belahan dunia ini, itu karena krisis selalu diciptakan untuk memastikan kelancaran sistem kapitalistik tetap eksis. Mereka adalah Negara kaya pelopor kapitalisme mengeksplotasi negara miskin yang direpresentasikan oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Mereka membuatnya menjadi nampak normal dengan dalih membantu negara miskin untuk berkembang bahkan maju layaknya mereka. Penormalan ini dilakukan dengan berbagai upaya salah satunya, dengan membuat forum-forum lintas negara untuk berbagai isu ekonomi, lingkungan, pembangunan, teknologi dan lainnya. Hari-hari ini kita bisa melihatnya dengan telajang mata, gelaran Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Grup (G20) yang berlangsung di Bali adalah bentuk kongkritnya.
Sebelumnya, pada tahun 1975 Forum ini bernama G7 beranggotakan tujuh negara maju yang dianggap berhasil menjawab krisis yang berdampak global seperti Mexican Peso Crisis 1994, Asian Finacial Crisis 1997/1998, Rusian Financial Crisis 1998 dan Financial Crisis 2007-2008. G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.
Forum ini ditujukan untuk menjawab berbagai persoalan-persoalan dunia yang terjadi di belahan bumi, G20 dianggap mampu meciptakan solusi atas krisis yang terjadi secara global, dengan melakukan perundingan secara damai, penuh kekeluargaan dan menurunkan kepentingan masing-masing negara untuk mencapai komitmen bersama maka krisis akut yang bercokol dijantung sistem kapitalisik dapat diobati. Krisis selalu dijawab dengan konsolidasi kapital dari Eropa ke negara wilayah-wilayah koloni. Arif Novianto menulis di kolom Indoprogress, merujuk ke Sosiolog-cum filsuf Prancis Henri Levebvre, dalam teorinya tentang produksi ruang (production of space), mengungkapkan bahwa keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang napasnya agar tak hancur akibat kontradiksi internal, seperti yang diramalkan Marx, adalah melalui cara produksi dan reproduksi ruang-ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global.
Menariknya dalam pertemuan G20 Bali ini, banyak kalangan menanti strategi apa yang akan dilakukan oleh negara-negara G20 untuk menjawab krisis ekonomi global yang melanda dunia setelah hantaman pandemi Covid19. Dalam keterangan pers Kemenko ekonomi menjelaskan bahwa Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 menjadi periode paling krusial dalam proses pemulihan ekonomi global. Dengan demikian, kolaborasi global melalui Forum G20 harus mampu menghasilkan langkah-langkah nyata dan terobosan besar untuk mengatasi krisis pangan, energi, dan keuangan global yang terjadi saat ini, serta mempercepat pemulihan bersama dan pulih menjadi lebih kuat (recover together recover stronger). Hal ini akan diatur dalam satu workstream dalam G20. Selain Finance Track, Sherpa Track terus melakukan pembahasan terkait tantangan global dan berbagai isu ekonomi (non-finansial) untuk mencari solusi dan memberikan rekomendasi atas agenda dan isu prioritas G20.
Kongkritnya, krisis yang saat ini melanda harus dijawab dengan ekspansi kapital, ini dapat terlaksana dengan cepat dengan interkoneksi dan flesibilitas wilayah satu dan lainnya, dan tentu saja kebijakan yang mempermudah investasi untuk beroperasi. Hanya dengan begitu maka percepatan penyelesaian krisis dapat diselesaikan dengan tempo yang sikat. Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Jokowi sendiri berusaha menjawab krisis dengan membuat paket kebijakan ekonomi khusus, Undang-undang cipta kerja dan berbagai regulasi turunnya yang bertujuan untuk mempercepat investasi hadir di Bumi Pertiwi. Kebijakan ini adalah bagian dari solusi krisis yang melanda dunia dengan melakukan eksport kapital ke belahan dunia lain dengan cara mengeksplotiasi alam yang memiliki kandungan mineral dibawahnya. Singkatnya, hadirnya berbagai investasi sektor sumber daya alam seperti Nikel di Sulawesi dan Maluku, Batubara di Sumatera dan Kalimantan, juga Papua dengan gunungan emas, adalah bentuk dari akumulasi kapital yang harus dilakukan untuk keluar dari krisis global.
Industri lain seperti perkebunan kelapa sawit juga memiliki bentuk sendiri dalam perluasan kapital di Indonesia yaitu penguasan tanah yang luas dengan watak penyingkiran terhadap rakyat, penghancuran hutan dan pencemaran lingkungan. Tidak heran jika untuk industri ini pemerintah paling royal dalam memberikan izin karena kecenderungan perkebunan yaitu untuk penguasaan tanah yang luas. Pada tahun 2021 Kementerian Pertanian mencatat luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 15,08 juta ha, mayoritas dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). Kemudian, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%). Luasnya tanaman sawit Indonesia menjadikan negara ini pengeksport terbesar Crude Palm Oil (CPO) Dunia. Hanya dengan tiga Komoditi eksport terbesar dunia ini (Nikel, Batubara dan CPO) Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi dunia baru dalam sistem yang kapitalistik.
Pada tahun 2014 Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam Pidato Kenegaraan menyoal keterlibatan Indonesia menjadi negara anggota G20, “Pendek kata, Indonesia telah menjadi salah satu pemain inti dalam ekonomi internasional. Kita tidak punya alasan menjadi bangsa yang rendah diri, yang gemar menyalahkan dunia atas segala permasalahan yang terjadi. Kita harus meyakini bahwa Indonesia di abad ke-21 adalah bagian dari solusi dunia,” Kita harus menggaris bawahi solusi terhadap permasalahan apa yang dimaksud oleh SBY dalam pidato tersebut, tentu saja terhadap krisis dunia.
Dirujuk dari publikasi Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA tahun 2022 dalam temuan terbaru koalisi Forests and Finance mengungkapkan sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyalurkan dana 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan. Sebesar 90% diantaranya bank-bank yang berasal dari Negara G20. Publikasi ini menunjukkan bahwa secara keseluran ekonomi yang dibangun untuk menjawab krisis berada pada kerentanan lingkungan global yang tentu saja berdampak pada meningkatnya krisis lingkungan secara global. Peningkatan pemanasan global tentu saja disebabkan oleh kapitalisme. Lalu Negara mendebatnya dengan mengatakan bahwa secara keseluruhan kita harus ikut bertanggung jawab terhadap ini karena secara konsumtif kita menjadi bagian dari yang memproduksi gas rumah kaca. Pandangan ini ingin menghindari dan mengalihkan masalah utama dan pengabaian solusi yang harus dilakukan oleh negara untuk keluar dari krisis iklim. Tentu saja negara harus melakukan itu, karena jika solusinya adalah mengurangi produksi yang kapitalistik maka tentu akan memancing krisis dan berpotensi negara akan mengalami kekacauan ekonomi politik.
Solusi Krisis Iklim
Menjawab problem krisis iklim negara kapitalistik memiliki solusi lain, yaitu dengan mendorong investasi hijau, semua jenis investasi saat ini harus bermerek sustainable mulai dari sawit berkelanjutan, tambang berkelanjutan, berdagang karbon, konsep hutan kemitraan kelola dan lain sebagiannya. Solusi ini turut serta diperankan oleh berbagai pihak, mulai dari swasta, lembaga Universitas (juga promosi oleh kalangan akademisi), Lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi sipil lainnya. Tidak heran jika Pemerintah Indonesia selalu mempublikasi peran mereka dan kolaborasi dalam menjawab masalah krisis iklim ampuh dalam menurunkan kerusakan lingkungan.
Solusi ini tidak sungguh-sungguh menjawab masalah krisis lingkungan hidup yang diciptakan oleh sistem kapitalis, dia hanya dapat dijawab dengan apa yang disebut oleh John Bellamy Foster sebagai pendekatan Ekologi Radikal. Para pengusung pendekatan ini yakin bahwa kapitalisme, yang merupakan sebuah sistem sosial ekonomi, menempatkan pengejaran keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas adalah akar masalah dari krisis ekologi saat ini. Dan untuk melayani mesin produksi keuntungan ini agar tetap bekerja, sektor produksi, distribusi, dan konsumsi digenjot semaksimal mungkin dan seglobal mungkin.
Hanya dengan menempatkan kapitalisme berhadap hadapan dengan krisis ekologi kita dapat melihat solusi lain dari krisis ini. Dengan begitu kita bisa membuat solusinya kongkrit dari krisis ekologi. Pada akhirnya semua ini dapat dilakukan jika seluruh komponen gerakan sosial dan lingkungan hidup terkonsolidasi dan membangun gerakan bersama.
[1] https://indonesiabaik.id/infografis/sejarah-pendirian-g20
[2] https://www.bi.go.id/id/g20/default.aspx
[3] https://indoprogress.com/2011/01/krisis-dan-kelas/
[4] https://indoprogress.com/2014/05/krisis-kapitalisme-dan-upaya-perebutan-ruang-hidup-rakyat-di-pegunungan-kendeng-utara-pati-jawa-tengah/
[5] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/31/luas-perkebunan-minyak-kelapa-sawit-nasional-capai-1508-juta-ha-pada-2021
[6] https://www.antaranews.com/berita/448538/presiden-indonesia-jadi-pemain-inti-ekonomi-internasional
[7] https://www.tuk.or.id/2022/10/90-kreditor-negara-g20-fasilitasi-pembiayaan-perusahaan-perusak-hutan-dan-pelanggaran-ham/
[8] https://indoprogress.com/2021/12/236433/
[9] idem