Photo: Ilustrasi
Penulis: Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Sosiolog, Tinggal di Bantul Yogyakarta.
Utustoria.com – Kasus gagal ginjal akut atau gangguan ginjal akut progresif atipikal atau acute kidney injury pada anak di bulan Oktober 2022 telah mencapai 245 kasus yang terjadi di 26 provinsi di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, persentase 80 persen kasus terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Banten, dan Sumatera Utara.
Dalam hal ini, upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang diperkuat melalui kerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) antara lain:
- Meminta apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirop kepada masyarakat;
- Meminta tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk cair/sirop sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas;
- Mengeluarkan daftar obat-obatan dalam bentuk cairan/sirop yang tidak mengandung bahan kimia berbahaya;
- Memperbolehkan penggunaan obat dalam bentuk sirop untuk sejumlah penyakit kritis sesuai dengan resep dokter;
- Peningkatan kehati-hatian dalam menguji sampling obat-obatan yang mengandung pelarut, dan
- Mendatangkan obat Fomepizole untuk pasien gangguan ginjal akut.
Fomepizole didatangkan dari Singapura, Australia, Amerika, dan Jepang.
Hasil dari penanganan tersebut menunjukkan penurunan pada jumlah anak penderita gangguan ginjal akut.
Berdasarkan informasi terbaru, BPOM mengumumkan terdapat 198 obat sirop yang tidak mengandung propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Empat larutan tersebut diklaim secara medis sebagai penyebab gagal ginjal akut pada anak.
Sebelumnya BPOM menyebut terdapat 23 obat yang aman dari 102 obat pada pasien gagal ginjal.
Apa yang telah diusahakan oleh Kemenkes, BPOM, IDI, dan IAI sesuai dengan standar penilaian keamanan obat dan bahan pangan mengacu pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan protokol keamanan dan kesehatan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Pihak Kemenkes telah mengimbau kepada para orang tua untuk tidak panik, tetap tenang, namun selalu waspada terutama ketika anaknya mengalami gejala-gejala yang mengarah kepada gagal ginjal akut seperti diare, mual, muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk, serta jumlah air seni/kecil semakin sedikit bahkan tidak buang air kecil sama sekali.
Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, orang tua diharapkan untuk segera memeriksakan anaknya ke puskesmas atau rumah sakit terdekat guna mendapatkan penanganan medis.
Secara sosiologis dalam pendekatan fungsional, apa yang telah diupayakan oleh Kemenkes, BPOM, IDI, dan IAI merupakan pelaksanaan peran dalam sistem sosial di ranah kesehatan dalam mencegah dan mengatasi patologi medis.
Adapun patologi medis di satu sisi menganggu kestabilan atau equilibrium dalam tatanan sistem sosial yang mengandalkan kesehatan sebagai sumber daya produktivitas, sedangkan di sisi lain mampu memelihara legitimasi negara dalam kebijakan dan strategi penanggulangan wabah penyakit karena terjadi relasi dialektis antara negara dan masyarakat yang secara berkelanjutan mampu menciptakan kerja sama dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap negara; negara diuji dalam hal memperkuat atau mempertahankan otoritasnya untuk mengembalikan sisi normal dalam tubuh sosial masyarakat yang terkena gangguan patologis.
Dalam perspektif Foucauldian yang berkelindan dengan paradigma fungsionalis, negara menerapkan biopolitik terhadap warga negara yang rentan dan terkena dampak dari patologi yang berasal dari obat-obatan dalam arti negara berusaha memelihara ketahanan tubuh anak-anak karena anak-anak adalah generasi yang memiliki potensi mendukung produktivitas ekonomi negara maupun sektor pasar dalam jangka panjang.
Negara juga memiliki kerangka moral dalam memproteksi anak-anak sebagaimana yang tertera dalam undang-undang karena anak-anak adalah aktor yang kelak memegang estafet kepemimpinan dan peran-peran sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam memperkuat integrasi dan kemajuan pembangunan suatu bangsa.
Pendekatan fungsionalis yang mengandung kekuatan biopolitik mampu mendorong, menumbuhkan, dan memberi ruang pada subjektivitas atau agensi masyarakat khususnya orang tua yang memiliki anak yang belum beranjak remaja melalui partisipasi dalam mengantisipasi dan menangani penyakit dari obat-obatan yang di luar standar negara.
Hal itu diwujudkan misal melalui pencarian informasi yang berkaitan dengan penyakit gagal ginjal akut, lebih selektif dalam membeli obat, berkonsultasi ke dokter dan apoteker, aktif memantau kesehatan anak, dan memelihara kebersihan lingkungan dari kemungkinan munculnya faktor-faktor yang mengakibatkan berbagai penyakit.
Agensi dari orang tua mampu menyelaraskan dengan strategi dan upaya dari negara dalam upaya penanggulangan penyakit. Meskipun demikian tetap ada potensi konflik antara orang tua dan negara karena perbedaan persepsi dan tujuan namun hal itu bisa diminimalisasi melalui kesadaran bersama terhadap ancaman dan risiko yang diakibatkan oleh penyakit yang mengganggu tatanan kehidupan sosial.
Maka dari itu, negara dalam hal ini Kemenkes, BPOM, IDI, dan IAI agar memperbarui standar kualitas, pengetatan, dan pengawasan terkait penggunaan bahan obat-obatan mencakup pula merek dan labelnya terutama pada industri obat-obatan yang ditengarai menggunakan bahan medis yang tidak aman.
Dalam lingkup masyarakat khususnya orang tua perlu lebih peka dalam mengenali berbagai produk obat-obatan modern terutama dalam hal komposisi dan kandungannya serta menumbuhkan literasi dasar tentang dunia medis.