Photo: Rizky Bilar dan Lesty Kejora
Penulis: Muhammad Makro Maarif Sulaiman, sosiolog, tinggal di Bantul Yogyakarta
Utustoria.com – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Rizky Billar terhadap Lesti Kejora merupakan salah satu kasus KDRT di antara banyak kasus KDRT lain di mana perempuan yang lebih sering menjadi korbannya.
Namun karena KDRT terjadi pada orang terkenal sehingga menjadi sorotan publik.
Secara sosiologis, KDRT yang umumnya laki-laki sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban disebabkan oleh empat faktor yang terdiri dari dua faktor yang berkaitan dengan konstruksi sosial dan dua faktor yang berkaitan dengan dominasi relasi.
Berkaitan dengan faktor konstruksi sosial, KDRT disebabkan oleh masih menguatnya kultur patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan dalam masyarakat.
Selain kultur patriarki, transmisi kekerasan antargenerasi juga berpengaruh pada pembentukan perilaku KDRT karena perilaku KDRT dipelajari dan diidentifikasi oleh anak-anak yang diwariskan ke dalam perilaku mereka yang berpotensi berulang ketika anak-anak itu telah dewasa dan berumah tangga.
Faktor transmisi kekerasan antargenerasi dalam keluarga cenderung membentuk pribadi anak menjadi keras dan kaku yang memiliki sifat lebih permanen karena keluarga merupakan ruang pertama kali dalam kehidupan seorang anak menyerap apapun yang dilihat dan didengarnya ke dalam pikiran dan jiwanya.
Berkaitan dengan dominasi relasi yang dibentuk oleh faktor konstruksi sosial, KDRT disebabkan oleh ketimpangan sumber daya dan ketimpangan relasi kuasa.
Ketimpangan sumber daya dikarenakan korban KDRT tidak memiliki bekal yang cukup terkait pengetahuan, kecakapan, keterampilan atau sikap dalam menghadapi ancaman kekerasan.
Lesty Kejora adalah seorang biduan dangdut terkenal yang merupakan alumnus dari ajang kompetisi berbakat pada salah satu televisi swasta tidak menjamin dirinya memiliki bekal sumber daya yang cukup dalam menghadapi potensi kekerasan.
Terlebih diperkuat dengan stigma yang masih melekat dalam masyarakat, seorang biduan perempuan di atas panggung semata-mata dipandang sebagai seorang penghibur yang rentan mendapatkan pelecehan seksual atau tindakan tak senonoh lain dan juga sebagai pelampiasan eksploitasi ekonomi karena biduan minim memiliki sisi sumber daya lain yang bisa diandalkan.
Perempuan yang memiliki sisi sumber daya yang lebih baik dari aspek pendidikan, pekerjaan, dan kedudukan sosial biasanya lebih aktif dan berani dalam menghadapi ancaman kekerasan laki-laki tanpa takut distigmatisasi oleh masyarakat patriarki di mana perempuan yang berani terhadap laki-laki dinilai tidak pantas.
Selain ketimpangan sumber daya, faktor dominasi relasi lainnya adalah adanya ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.
Dalam kultur masyarakat patriarki secara global tidak terkecuali di Indonesia, seorang suami atau ayah memiliki kuasa kontrol terhadap istri dan anak-anaknya. Kuasa kontrol tersebut dapat berbentuk penyalahgunaan peran yang mengarah pada tindakan KDRT sehingga ketidakharmonisan dalam relasi peran pasangan suami-istri menjadi hal yang perlu disikapi secara rasional untuk dijadikan acuan melakukan tindakan preventif terhadap KDRT.
Dalam lingkup keluarga yang bukan dari orang terkenal atau publik figur, KDRT acapkali menjadi privasi dalam keluarga yang berdampak tindakan agresi dalam keluarga menjadi hal yang tabu untuk dipublikasikan sehingga korban seperti diisolasi dari sistem pendukung normal masyarakat.
Solusi secara sosiologis untuk meminimalisasi berulangnya kasus KDRT yang secara umum disebabkan oleh banyak faktor yang lebih banyak menimpa perempuan ialah dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas agensi perempuan baik dalam ranah ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.
Strategi peningkatan kapasitas dan kapabilitas agensi tersebut salah satunya melalui advokasi pemberdayaan baik dalam lingkup individu maupun kelompok, baik di institusi pendidikan, pemerintahan, organisasi informal, keagamaan maupun keluarga.
Pemberdayaan yang dimaksud di sini ialah memperkuat aspek kognisi dan resiliensi perempuan khususnya dalam beradaptasi dan bernegosiasi terhadap terhadap segala potensi yang mengarah pada kekerasan.
Selain itu perlu dilakukan upaya pendampingan terhadap perempuan korban KDRT dalam rangka memulihkan dan menguatkan mental dan jasmani. Tentu upaya tersebut tidak boleh tersekat oleh perbedaan kelas sosial mengingat Lesti Kejora adalah publik figur yang memiliki kemungkinan sisi “privilege” dalam advokasi dan pendampingan. Selain itu juga tidak boleh tersekat oleh perbedaan ras, usia, agama, dan suku/etnis.
Pihak-pihak berkompeten yang bisa diandalkan dalam upaya advokasi dan pendampingan antara lain Non-Government Organization (NGO) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang kemudian dapat diaktualisasikan dalam varian kegiatan seperti Focus Group Discussion (FGD), pelibatan perempuan dalam pengembangan ekonomi digital, memperluas relasi dan jaringan sosial perempuan peduli korban kekerasan, penguatan motivasi agar perempuan optimis terhadap masa depan melalui pendampingan kegiatan spiritual, memperluas informasi tentang pemberdayaan dan pendampingan melalui jaringan informasi di media sosial, dan upaya perlindungan hukum terhadap perempuan baik yang berpotensi terpapar KDRT maupun yang telah menjadi korban KDRT.
Yang perlu juga dilakukan dalam hal ini ialah memberikan advokasi pemberdayaan kepada laki-laki mengenai pentingnya relasi sosial yang sehat terhadap perempuan disertai penegasan risiko sanksi pidana apabila melakukan KDRT.
Akhirnya, strategi advokasi pemberdayaan baik terhadap perempuan maupun laki-laki bertujuan pada pembentukan character building yang menopang pengakuan dan pengintegrasian nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan dalam lingkup keluarga sehingga dapat mengurangi potensi KDRT yang umumnya dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun (meskipun jarang) yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki.