Photo: Ilustrasi
Cerpen Ini di Tulis Oleh; Abdy Gunawan Zakaria berdiri menatap seorang mahasiswa yang terbaring di aspal. Tubuhnya penuh luka lebam akibat pukulan dan hantaman dari beberapa oknum polisi yang membubarkan paksa para demonstran. Tidak ada lagi kawan-kawan yang dapat membantunya saat itu, semuanya lari tunggang langgang dikejar aparat yang jumlahnya jauh dibandingkan mereka. Separuh dari para mahasiswa telah diangkut ke dalam mobil patroli. Teriakan “Salah kami apa?” terdengar dari mulut aktivis-aktivis yang ditarik paksa, jika melawan nasibnya sama dengan pemuda yang saat itu berada di hadapan Zakaria, dihajar habis-habisan. Berbeda dengan kawan-kawannya, Zakaria, sama sekali tidak menjadi incaran, padahal ia adalah pimpinan organisasi mahasiswa di kampusnya, yang sejak awal aksi, merupakan orator yang paling lantang mengkritik pemerintah. “Sudahlah, biarkan saja, toh nanti akan ada ambulans,” kata seorang perwira polisi, ketika dilihatnya Zakaria akan menolong mahasiswa yang sekarat itu. * * * Usai menghadiri kuliah yang terakhir untuk hari ini, Zakaria menuju sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), di mana teman-temanya telah menunggunya untuk memimpin rapat persiapan demonstrasi penolakan terhadap kebijakan Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). “Sebentar, saya mau ngopi dulu, Cil tolong buatin, seperti biasa gulanya setengah sendok!” pinta Zakaria, juniornya yang bernama Acil itu hanya manggut-manggut saja mengikuti arahan pria yang disegani koleganya itu. “Boleh rapat sambil ngopi, Bung? Soalnya kita udah dari tadi nunggu nih,” respon Kalfi, adik tingkat Zakaria yang menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), lembaga legislatif yang mengawasi kinerja BEM. “Yah, maklumlah, saya kan baru selesai kuliah,” bantah Zakaria. “Tapi–” “Bacot! Mau BPM saya boikot?” Mendengar apa yang disampaikan Zakaria, Kalfi hanya bisa diam. Mengingat ketua BEM-nya itu berasal dari latar belakang organisasi ekstra kampus yang sama dengan rektor. Zakaria beberapa kali membuat mahasiswa, bahkan organisasi kemahasiswaan yang tidak sejalan dengannya, kehilangan SK kepengurusan. “Baiklah teman-teman kita mulai duluan, mungkin Ketua BEM masih sangat sibuk menghabiskan kopinya,” sindiran Kalfi hanya dibalas Zakaria dengan senyum licik. Zakaria yang duduk di kursi yang terletak di depan Sekretariat BEM, tidak mempedulikan apa yang dibahas oleh teman-temannya. Ia hanya asyik menghabiskan rokok sembari menyeduh kopi hitam miliknya. Tidak ada protes, baik dari anggota BEM maupun MPM yang lain, selain karena takut menegur, hal itu sudah menjadi kebiasan Zakaria. Untung-untungan jika setelah bersantai, ia akan masuk dan mengikuti rapat, lebih sering pria itu malah beranjak dari sekretariat. “Halo, kandaku!” Zakaria berbicara kepada seseorang lewat Iphone 13 miliknya. Takut didengar oleh orang lain, Zakaria bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mencari lokasi lain agar percakapannya tidak diketahui oleh teman-temannya yang sedang rapat. “Ya, bagaimana, Kanda?” “Ada respon soal kenaikan BBM dari teman-teman mahasiswa?” tanya Beno, Ketua partai pendukung pemerintah. “Ada Kanda, rencana teman-teman mau demo,” Zakaria mengatakannya dengan pelan, takut jika seniornya itu tidak senang dengan informasi yang ia berikan. “Waduh gimana sih? Masa sampai bisa ada demo? Apa guna anggaran kami keluarkan buat kamu jadi ketua BEM?” “Iya, masalahnya Kanda–” “Apa lagi, Kar? Kurang ya uang kami buat kamu?” “Bukan begitu, tapi inisiasi aksi kali ini dari MPM, bukan kami!” “Saya tidak mau tau! Atur sebaik mungkin, kalau memang terpaksa harus aksi, jangan lama-lama, di DPR sekarang sedang pembahasan UU Investasi, kami tidak mau diganggu!” Sambungan telepon terputus. Zakaria memutar otaknya yang sebagian besar diisi oleh mimpi-mimpi materialistik. Ia tidak menyangka MPM mendahuluinya melakukan konsolidasi. Sebelumnya, sikap kritis mahasiswa di kampusnya sebatas cuitan-cuitan di sosial media, toh jika akan ada aksi, palingan sebatas aksi damai merefleksi hari-hari besar nasional tanpa memperjelas sasaran yang dituju. Dulu MPM hanya menunggu undangan BEM untuk menambah massa pada saat mereka melakukan demonstrasi. Semua berubah ketika Kalfi menempati pucuk pimpinan lembaga legislatif tertinggi mahasiswa di kampus itu, MPM yang hanya formalitas belaka, kini jadi pelopor perjuangan yang sulit diajak berunding. * * * Mengatur aksi untuk tujuan memperburuk citra pemerintah tentu jauh lebih muda daripada harus mensiasati agar suatu aksi tidak mempengaruhi image pimpinan. Bos Zakaria dulunya adalah pihak oposisi yang gencar memintanya mengganggu ritme pemerintahan. "Sebentar kalau ada barikade di depan DPR jangan masuk, kita orasinya di luar saja," pinta Zakaria kepada kawan-kawanya yang duduk di halaman kampus sambil menunggu teman-teman lain ikut bergabung. “Ah Bung, seperti mahasiswa baru saja kamu!” balas Kalfi. “Apa maksudmu?” “Maksud saya, kamu kayak yang tidak paham ilmunya saja, apa guna nya kita orasi tapi tidak dapat ketemu anggota DPRD, lantas siapa yang akan tandatangani pernyataan sikap kita.” “Kamu ini, yang penting masyarakat sudah melihat kita protes, kampus-kampus lain kan bakalan lihat aksi kita di facebook.” Mahasiswa lain hanya diam menyaksikan mereka berdua saling bantah. Bingung akan kemana arah dan bagaimana aksi ini dijalankan. “Satu komando di tangan Korlap!” Kalfi menyalakan megaphone nya, lalu memberikan instruksi kepada massa aksi untuk membentuk barisan. “Hey kita harus bicarak—” “Hidup Mahasiswa!” teriakan Kalfi mengakhiri begitu saja bantah-bantahanya dengan Zakaria, kemudian menjadi penanda dimulainya long march para demonstran menuju gedung parlemen. * * * Benar prediksi Zakaria, di depan gerbang gedung DPR, ratusan aparat telah berbaris rapi dan berlapis-lapis. Melihat hal itu, Kalfi yang bertugas sebagai koordinator lapangan (Korlap), memberikan isyarat kepada teman-temannya untuk berhenti. “Ada yang ingin berorasi?” Zakaria dengan cepat merespon pertanyaan Kalfi. Ia mengajukan dirinya sebagai orator berikutnya. Sementara itu, Kalfi bertemu teman-temannya untuk beruding. Zakaria, seperti biasa, terlihat berkarisma dengan rambut ikalnya yang panjang dan diikat. Ia secara sistematis dan berapi-api menyampaikan pidatonya tentang penolakan terhadap kenaikan BBM. Tidak ada yang aneh dengan kalimat-kalimat yang diutarakan Zakaria. Substansinya mengandung kritik yang rasional perihal kebijakan yang tidak menguntungkan itu, tetapi makin ke belakang, Zakaria yang bertanggung jawab hanya sebagai orator inti, malah terasa bertindak bak korlap. “Kami meminta supaya dapat dipersilahkan 3 orang untuk masuk–” “Apa-apaan ini, kita mau mereka yang bertemu kita, kita ini satu, tidak bisa diwakili!” Dengan sigap Kalfi merampas megaphone dari tangan Zakaria. Zakaria yang terlihat bingung dan mati gaya karena orasinya terhenti di tengah jalan, marah lalu mencengkram kerah jas almamater Kalfi, "Maksud kamu apa? Kamu tahu saya siapa dan apa yang bisa saya lakukan?" "Kamu bisa saja jadi raja di kampus, tapi tidak di sini, Bung! Ini aksi milik masa Bung, jadi tolong ikuti aturan yang disepakati kawan-kawan." Tatapan Kalfi bak pisau yang menikam bagian di antara kedua mata Zakaria, menembus otak yang Zakaria tahu tidak sebanding dengan milik Kalfi. Berbeda dengan Kalfi yang doyan baca dan riset langsung di lapangan, miliknya hanya penuh dengan arahan, doktrin dan ilmu dari senior yang ia dapatkan di tempat ngopi. Walaupun ketua BEM, ia tahu betul seberapa cerdas dan berani pemuda di hadapannya itu. Zakaria kemudian menjauh dari Kalfi, ia sekarang berada paling belakang dari rentetan demonstran yang bertumpah ruah di depan gedung parlemen. Ia berdiri lumayan jauh dari tempat teman-temannya berkumpul. Masih dengan suasana hati yang carut marut, Zakaria membakar rokok miliknya. "Kok bukan kamu yang Korlap?" tanya seorang polisi berpakaian preman yang tiba-tiba datang menghampirinya. "Susah! Si Kalfi sekarang sudah masuk organ intra, anak-anak pada milih dia semua." "Kalfi yah, tumben dia mainnya dengan mahasiswa, biasanya kan bareng petani." "Jadi? Si Bos kesal sama saya?" "Yah selama kamu bisa buat mereka tidak masuk ke dalam, kalo soal ini—" polisi itu memberikan kode dengan jarinya, "bonus kamu aman!" * * * Massa Aksi yang terdiri dari hampir seluruh mahasiswa di kampusnya telah saling dorong dengan aparat yang menjaga pintu gerbang, menyisakan Zakaria dan beberapa anggota BEM yang bingung bagaimana cara untuk mengurai masa. Pintu gerbang gedung parlemen akhirnya roboh, ratusan mahasiswa mampu mencerai beraikan barisan aparat yang kini terpukul mundur menjauh hingga ke teras gedung tersebut. "Ayo balik semua! Jangan ada yang mendekat ke gedung!" Zakaria menghadang beberapa juniornya yang sedang berlari. "Tapi kita sepakat mengikuti arahan korlap," kata salah seorang mahasiswa baru. "Kamu mau dengar dia atau saya, saya ketua BEM loh, mau mati kamu?" "Maaf kak, tapi maju saja belum tentu tuntutan kita dikabulkan, apalagi mundur, ayo teman-teman!" Mereka lalu berlari meninggalkan Zakaria yang kaget dengan pola pikir mahasiswa umur jagung itu. "Ah Fuck! Ini pasti ajaran Kalfi" gumamnya. Ketika Zakaria mulai putus asa, kesulitan menemukan jawaban perihal bagaimana ia harus menyabotase demo tersebut, seorang oknum polisi yang sedang berlari tidak sengaja menabraknya. Zakaria terjatuh, tidak sampai hitungan menit, mahasiswa ilmu hukum itu bangkit lalu meneriaki polisi itu. "Bangsat! Punya mata tidak! Polisi tadi sama sekali tidak mendengarnya, ia fokus berlari ke arah barisan massa aksi yang kini berkumpul di depan gedung parlemen. Ide licik lewat di benak Zakaria. Akibat dorongan iblis, ditambah keserakahannya akan uang, ia mengejar polisi tersebut, lalu memukulnya dari belakang. "Kamu sengaja kan! Dasar Otoriter kalian!" Melihat apa yang dilakukan Zakaria, para polisi lain dengan cepat meringkasnya, yang tentu otomatis membuat kawan-kawan BEM Zakaria mencoba melepaskan Zakaria dari dekapan lengan seorang polisi. "Dia memukul aparat! Kami akan bawa ke kantor." "Apa-apaan ini pak? Tolong jangan represif!" "Diam kamu!" polisi itu melayangkan tendangannya kepada salah seorang anggota BEM yang berusaha menyelamatkan Zakaria. Perbuatan polisi demikian membuat massa aksi naik pitam, tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi, para mahasiswa yang tadinya teratur dan rapi menyampaikan orasi, kini terlibat saling dorong dan adu jotos dengan polisi. "Kalian melanggar aturan dalam menyampaikan pendapat! Bubar-Bubar!" Tongkat kayu menjadi alat yang digunakan aparat untuk membuat mahasiswa mundur dan meninggalkan kantor DPR. Zakaria di kawal oleh dua orang polisi yang mencengkram lengannya dengan erat. Ia dipaksa untuk mengikuti mereka ke mobil polisi. "Lepaskan dia!" Kata polisi berpakaian preman yang tadi berbicara dengan Zakaria. "Siap! Izin Komandan, tapi dia provokatornya." "Bukan dia! Saya sudah dapatkan korlapnya." Zakaria melihat isi truk milik polisi, di mana di dalamnya, terlihat Kalfi sedang mencoba melarikan diri. Kalfi dipukul beberapa kali oleh empat orang anggota polisi. Ia dengan suara lantang terus meneriakkan salahnya apa. "Cukup! Tendang saja dia!" "Izin komandan, bukannya harus di bawah ke kantor buat dimintai keterangan." "Tidak perlu, massa aksi sudah bubar, otaknya sudah kita amankan, nanti kalau ada pers, bilang saja, massa aksi memang sengaja setting chaos." "Siap Komandan!" Meski masih bingung dengan arahan pimpinan mereka, tetap saja, tidak ada sikap lain selain mengiyakan. "Sudahlah, biarkan saja, toh nanti akan ada ambulans,” kata atasan mereka, ketika dilihatnya Zakaria akan menolong mahasiswa yang sekarat itu. * * * 7 hari kemudian, keluarga Zakaria berkumpul, sambil menyantap hidangan malam. "Kamu percaya almarhum adik kamu sengaja mengatur massa aksi agar menyerang polisi?" Zakaria hanya bisa diam ketika ayahnya bertanya. Sebelum bisa berkata apa, air mata sudah dahulu membasahi pipinya. Luwuk, 3 Oktober 2022