
Photo: Eko Sulistyo (Istimewa)
EKO SULISTYO
Utustoria.com, Banggai. Pada pidato di Sidang Tahunan MPR 2022, 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo mendudukan persoalan, bahwa pandemi dan ketegangan geopolitik telah menimbulkan krisis multidimensi.
Hal ini jadi ujian berat bukan hanya Indonesia, juga mengganggu stabilitas global. Belum sepenuhnya dunia pulih dari krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19, terjadi perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan global.
Organisasi Pangan Dunia (FAO), “Global food commodity prices decline in July”, pada 5 Agustus 2022, merilis indeks harga pangan pada Juli 2022 sebesar 140,9. Indeks itu turun 8,6 persen dari Juni 2022, namun tetap lebih tinggi 13,1 persen dibandingkan dengan Juli 2021. Penurunan harga minyak nabati dan sereal menjadi faktor utama mulai melandainya harga pangan.
Selama empat bulan berturut-turut, indeks harga pangan global turun cukup signifikan. Kendati harga pangan masih lebih tinggi dibandingkan pada tahun lalu, namun masyarakat global masih dilanda kecemasan. Transmisi kenaikan harga pupuk dan energi ke depan, dapat kembali mendorong kenaikan harga pangan.
Menurut Kepala Ekonom FAO, Maximo Torero, kepada para ekonomnya di FAO, dilansir “UN.News Global perspective Human stories”, 5 Agustus 2022, menyebut penurunan harga komoditas pangan sangat baik dari sudut pandang akses pangan global.
Namun karena masih banyak ketidakpastian, perlu waspada, terutama masih belum stabilnya harga pupuk. Mengingat fluktuasi harga pupuk dapat memengaruhi prospek produksi dan mata pencaharian dunia petani di masa depan.
Gangguan yang disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina saling terkait dengan rantai pasokan energi dan makanan dunia.
Menurut Program Pangan Dunia (WFP), “Global Food Crisis: Update on the world’s unprecended needs 2022”, dunia menghadapi krisis kelaparan yang belum pernah terjadi.
Hanya dalam dua tahun, jumlah orang yang menghadapi atau berisiko, kerawanan pangan akut meningkat dari 135 juta di 53 negara sebelum pandemi, menjadi 345 juta di 82 negara saat ini (WFP, 25 Juli 2022).
Lonjakan harga pangan sejak pertengahan 2020, didorong pemulihan paska krisis Covid-19, kegagalan panen akibat perubahan iklim, pembatasan perdagangan produk makanan dan biaya input yang melonjak pesat. Perang Rusia-Ukraina menambah tekanan meningkat, karena kedua negara dikenal sebagai pembangkit makanan, menyumbang 30 persen ekspor gandum, dan memainkan peran kunci pasokan pupuk global.
Kerjasama Internasional
Organisasi internasional dan pemerintah masing-masing negara merespon dengan mencari jalan penangan krisis pangan. Mereka telah mengumpulkan sumber daya, memperluas bantuan kemanusiaan ke negara-negara yang terancam kelaparan. Termasuk melakukan investasi ke dalam penelitian dan pengembangan pertanian.
Begitu juga dalam mengatasi krisis energi. Membutuhkan kerjasama internasional dan regional, penyesuaian kebijakan biofuel, penghapusan distorsi perdagangan, investasi yang lebih besar di bidang pertanian dan produksi energi.
Promosi efisiensi dan diversifikasi energi juga telah menjadi tema krusial di berbagai konferensi dan pertemuan organisasi di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Banyak pemerintahan mulai turun tangan melakukan mitigasi agar tidak menyulitkan warganya di kemudian hari. Misalnya, Uni Eropa, ditulis Bloomberg.com, “The Great European Energy Crisis Is Coming for Your Food”, 9 Agustus 2022, menyetujui paket bantuan 110 juta euro atau setara US $ 112 juta untuk mensubsidi perusahaan di negaranya yang bergerak di sektor pertanian yang sangat terpukul kenaikan harga energi dan biaya input lainnya, termasuk sanksi ekonomi terhadap Rusia.
Krisis pangan dan krisis energi saat ini telah melanda hampir di seluruh muka bumi. Praktis tidak ada negara yang bisa bersembunyi dibalik dampak krisis. Bahkan kawasan yang selama ini dikenal makmur seperti Eropa, tampak rentan ketika didera krisis energi, saat mendekati musim dingin yang butuh banyak energi untuk pemanas.
Prioritas dunia saat ini adalah menghentikan perang, menuntaskan pandemi Covid-19, dan mengatasi ancaman kekurangan pangan dan krisis energi.
Satu-satunya cara mengatasi risiko itu adalah kerja sama internasional dan menghindari konflik. Juga pentingnya peran swasta, masyarakat sipil, dan pegiat filantropi untuk membantu warga yang paling rentan.
Seperti rekomendasi yang disampaikan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral anggota G-20, pada pertemuan akhir Juli 2022 di Bali. Setiap negara harus hadir memberikan perlidungan sosial bagi warga yang terdampak krisis. Setiap negara perlu meningkatkan kerja sama bilateral di bidang pangan, energi dan finansial.
Peran Indonesia
Indonesia bisa berkontribusi mengatasi masalah global, terutama dalam konteks kelembagaan G-20 dan Kelompok Respons Krisis Global PBB (GCRG).
Sebelum memegang Presidensi G20, Indonesia telah memiliki portofolio dalam mengatasi problem pangan dan krisis energi. Bahkan oleh Bank Dunia, Indonesia dinilai sebagai negara yang tangguh menghadapi dampak perang Rusia-Ukraina dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,44 persen pada kuartal kedua 2022.
Ketercukupan stok pangan dengan harga yang masih terjangkau oleh rakyat. Pengakuan internasional atas capaian ini dibuktikan dengan penghargaan dari Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) yang berbasis di Philipina, atas swasembada beras periode 2019-2021.
Ketika beberapa negara lain sudah mengalami krisis energi, di Indonesia masih tersedia pertalite dengan harga yang juga masih terjangkau.
Tingginya jumlah subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) yang mencapai Rp 502 triliun, mungkin bagi negara lain sudah tidak sanggup menyangga subsidi sebesar itu. Indonesia saat ini masih mampu memberikannya.
Indonesia juga terus mempercepat transisi energinya di tengah krisis energi global saat ini.
Karena subsidi sebesar itu menanggung dua konsekuensi, selain pemborosan devisa, kandungan karbon BBM sebagai faktor terpenting pemanasan global penyebab perubahan iklim yang berisiko bagi generasi mendatang.
Kenaikan harga minyak mentah dunia dan ketergantungan terhadap impor BBM, harus dijadikan momentum mengoptimalkan sumber energi terbarukan yang melimpah di Indonesia.
Dengan kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, jika dikelola secara berkelanjutan, Indonesia akan menjadi kekuatan besar. Melihat ancaman terhadap ketahanan pangan dan kecukupan gizi dunia saat ini, momen yang tepat memanfaatkan sumber pangan dalam negeri.
Salah satunya sumber pangan lokal yang sejak berabad-abad menjadi sumber makanan masyarakat dalam mendukung kecukupan nutrisi.
Menghadapi ancaman pangan global, pemerintah harus mengedepankan program intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi pangan. Memperkuat cadangan pangan lokal, modernisasi pertanian, dan membuka peluang pasar baru, termasuk ekspor.
Dalam memproduksi pangan harus mempertimbangkan kesesuaian agroekologi tanaman, kondisi sosial budaya lokal, termasuk faktor efisiensi input usaha tani, dan kelayakan ekonomi.
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).
Artikel ini terbit sebelumnya di KONTAN, 25/8/2022