Photo: Angel Mami (kiri), salah satu selebritis CFW. TribunJakarta/Pebby Adhe Liana
Penulis: Made Supriatma
Utustoria.com – Ada Apa Dengan Pakaian? Akhir-akhir, pikiran kita sebagai masyarakat didominasi oleh pakaian. Ada hal-hal yang tampaknya kontradiktif namun sesungguhnya menggambarkan psyche kita sebagai bangsa.
Pertama adalah soal anak-anak miskin pinggiran kota (suburban) yang datang ke jantung metropolis dan mendudukinya sebagai ajang ‘fashion.’
Mereka adalah anak-anak remaja. Banyak diantaranya yang putus sekolah. Atau bahkan dengan sengaja memutuskan untuk tidak bersekolah.
Mereka tidak melihat kegunaan bersekolah. Sepintas tampak bahwa mereka “sadar” bahwa mereka hanya akan jadi “feeder” untuk industri apa saja yang butuh upah murah.
Salah seorang dari mereka menolak beasiswa yang ditawarkan seorang menteri (yang kaya raya dan tidak sedetik pun pernah kekurangan sepanjang hidupnya). Anak ini beralasan, ngapain sekolah? Mending bikin konten.
Anak-anak miskin dari pinggiran kota Jakarta berusaha membuat lompatan ke depan dengan memanfaatkan apa yang disediakan teknologi untuk mereka: membikin konten. Satu dua berhasil. Namun mayoritas gagal dan tidak memiliki bakat dan kemampuan untuk bikin konten.
Saya dengar bahwa pada awalnya mereka datang ke stasiun Dukuh Atas di Jakarta hanya untuk berkumpul bersama teman-teman. Kemudian, mereka mulai ‘showing off’ pakaian-pakaian yang mereka kenakan.
Tentu pakaian mereka bukan pakaian bikinan para desainer. Hanya pakaian kasual entah bekas pakai atau baru. Namun mereka bisa tampil ‘chic.’
Dari situlah muncul “Citayem Fashion Week.” Kehadirannya menuai kontroversi. Kelas menengah dan atas Jakarta pada awalnya mengejek mereka. Menurut mereka bagaimana pun anak-anak ini tetaplah kampungan.
Namun tidak semua mengejeknya. Kelas menengah liberal progressif ngaceng melihat fenomena ini. Tidak jarang saya membaca komentar bahwa apa yang dilakukan anak-anak ini sungguh “revolusioner.”
Kecuali bahwa tidak ada revolusi apapun yang diberikan oleh para remaja ini. Anak -anak ini hanya menoleh ke atas — mereka belajar dari kelakuan kelas menengah dan kelas atas Jakarta. Hanya saja mereka tidak memiliki tempat macam M Blok Square — sebuah tempat yang biasa saja dengan harga makanan yang bisa berlipat-lipat dari uang saku para remaja ini.
Kalangan kelas menengah Jakarta sudah lama memiliki area mereka sendiri. Masih ingat kawasan Melawai pada jama tahu 80-90an yang kemudian menjadi ikon kebudayaan pop Indonesia? Bahkan hingga kini, kawasan Jaksel masih menjadi the center of gravity dari kebudayaan pop Indonesia.
Kemudian datanglah para selebriti dan para elit yang melihat para remaja miskin ini dengan kacamata mereka. Dua orang selebritis dengan gaya sangat memuakkan membawa dua koper penuh uang tunai dan memberikanya kepada selebritis dadakan yang lahir dari CFW. Tidak itu saja, mereka mempatenkan CFW.
Tentu kenorakan ini kemudian menuai kecaman.
Dari sinilah arus balik itu muncul. Kalangan agama resah karena beberapa remaja LGBTQ ikut dalam fashion show ini. Bahkan saya mendengar orang-orang yang menamakan diri “Masyarakat Tanah Abang” mengancam akan menyerbu para remaja ini. Kegiatan seperti ini tentulah maksiat dalam ideologi mereka.
Kemudian masuk juga politik. Secara diam-diam, beberapa politisi yang sedang berkampanye untuk menjadi presiden menyatakan dukungannya. Dan dibalas oleh politisi lain dengan bahasa agama atau hukum.
Akhirnya CFW dilarang. Para remaja ini, yang masa depan terbaiknya adalah adalah menjadi driver Ojol atau buruh pabrik, harus mencari tempat lain untuk nongkrong dan “mejeng” (istilah Jaksel tahun 80an).
Sementara itu, sesuatu yang secara diametral berbeda terjadi di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Seorang siswa SMA Negeri menjadi depresi karena dipaksa untuk mengenakan jilbab.
Ia siswi baru di sekolah tersebut. Karena tidak berjilbab, di dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling. Tiga orang guru menanyakan mengapa dia tidak berjilbab. Rupanya, ada juga pertanyaan tentang keluarganya. Tentang kesalehan orangtuanya. Pada akhirnya, dia dipakaikan jilbab.
Kepala sekolah SMA Negeri ini menolak tuduhan bahwa siswi tersebut dipaksa untuk berjilbab. Ia hanya “diimbau.” Sebagai orang yang lahir dan besar pada jaman Orde Baru, saya cukup paham akan arti “diimbau” tersebut. Dulu, seringkali imbauan itu diucapkan dengan mata kaki dijepit di kaki meja. Ketika tidak mengiyakan imbauan itu, meja ditekan. Bayangkanlah apa yang terjadi.
Citayem dan Banguntapan memang berbeda. Namun ada hal-hal yang menyatukan yaitu pakaian dan pendidikan. Anak-anak Citayem menolak sekolah — entah karena memang tidak mampu atau karena memang sadar bahwa tidak ada manfaatnya. Toh karir tertinggi yang disediakan sekolah adalah driver Ojol atau buruh pabrik.
Mereka bebas mengekspresikan dirinya, termasuk lewat fashion. Perkara bahwa hidup mereka miskin, lingkungan mereka kumuh, dan bekal mereka hanya cukup untuk cilok dan es teh bungkus, itu bisa dipikirkan kemudian.
Saya tidak mengglorifikasi “kemerdekaan” mereka. Karena bagi saya, pendidikan itu sangat penting. Pendidikan membuka mobilitas sosial khususnya bagi mereka yang paling miskin.
Sementara di Banguntapan, Bantul, yang terjadi adalah gambaran mayoritas sekolah-sekolah kita — termasuk sekolah negeri. Anak-anak ini dididik untuk takluk dan taat. Tidak ada sedikit pun ada kemerdekaan untuk mereka. Termasuk dalam cara berpakaian.
Saya melihat foto-foto SMA yang dimaksud di Google. Bahkan foto-foto beberapa tahun lalu menunjukkan tidak ada satu pun siswi yang berkepala hitam. Sementara lingkungan sekolahnya sendiri tampak sangat modern.
Lama sekali saya bertanya, apa yang sesungguhnya ada dalam benak para pendidik di negeri ini? Mengapa mereka sangat takut pada kebebasan? Mengapa mereka sangat terobsesi pada pakaian?
Saya kira, untuk banyak guru, punya murid saleh jauh lebih baik ketimbang murid yang bebas dan kreatif. Kesalehan membuat pekerjaan guru-guru lebih ringan.
Pendidikan kita menghasilan manusia-manusia saleh di tingkat individual. Namun sama sekali tidak saleh di tingkat publik atau masyarakat.
Kita tidak bicara soal kreativitas, soal kepandaian (apalah artinya pandai tapi tidak beriman? begitu sering saya dengar), dan juga ketertarikan pada kemajuan (progress). Itu jauh sekali.
Di hadapan kita, akhir-akhir ini, ada dua pilihan. Anak-anak Citayem yang bebas namun miskin. Ataukah mayoritas anak remaja kita seperti di Banguntapan, yang taat dan saleh. Besar kemungkinan hidup keduanya berujung pada Driver Ojol juga.
Untuk yang pertama, paling tidak ia menikmati sedikit kebebasan dari celah yang mereka eksploitasi sendiri.
Anda atau anak-anak Anda berdiri dimana?