
Photo: Ilustrasi
Like an echo, in the forest.. Haruga doraogetji, Amu ildo oepdan deusi..
Yeah, life goes on….
Like an arrow in the blue sky, Tto haru deo naragaji, on my pillow, on my table..
Yeah, life goes on, like this again…
Utustoria com – Sepenggal lirik di atas mungkin tidak asing lagi terdengar ditelinga, di saluran-saluran radio, televisi, ketika sedang berselancar di sosial media, bahkan ketika berada di pusat-pusat perbelanjaan.
Pemilik lagu itu adalah Bangtan Boys atau akrabnya dipanggil dengan BTS, salah satu grup vokal pria asal Seoul, Korea Selatan. Sebagian besar generasi saat ini tentu saja mengenal grup band ini.
Menilisik lebih lanjut, mengenai Korean Waves ini hendaknya kita perlu senantiasa akrab dulu dengan wawasan kebangsaan dari Negara kita sendiri yaitu Indonesia. Tak bisa dipungkiri, banyaknya disrupsi yang terjadi dengan pengaruh Teknologi dan berkembangnya budaya mengarah pada kiblat Korea ini cukup memberikan representasi baru dalam memandang budaya yang mempengaruhi nilai luhur wawasan kebangsaan Indonesia. Generasi Milenial yang mayoritas menjadi penggemar Budaya Korea merupakan insan yang berusia dibawah 25 yang biasa disebut generasi Alpha, mereka sangat mudah untuk dicekoki segala sesuatu yang berbau budaya asing salah satunya adalah Budaya Korea. Distingsi terhadap Budaya Indonesia dan Budaya Korea ini memang menjadi suatu yang pelik untuk dikorelasikan dengan Wawasan Kebangsaan yang dianut oleh Bangsa Indonesia, namun yang menjadi disparitas adalah ketika anak milenial sekarang tidak mengetahui bagaimana pengaplikasian wawasan kebangsaan yang sesuai dengan koridor dan ranahnya, dikarenakan anak-anak milenial sekarang cenderung tergerus dengan Budaya Korea yang mampu mendeterminasi pikiran dan gaya anak muda saat ini yang menggerus lapisan wawasan kebangsaan terhadap Wawasan Bangsa indonesia.
Dewasa ini, Fenomena Korean Waves ini sudah menjadi salah satu Hegemoni Budaya. Hegemoni budaya merupakan konsep yang dibangun oleh Antonio Gramsci. Penjajahan ini dilakukan melalui berbagai produk budaya, seperti musik, teknologi, kecantikan, mode, hingga makanan. Berbicara Hegemoni terhadap budaya korean waves ini sendiri, mereka mulai masuk pertama kali melalui acara TV Winter Sonata dan Endless Love, diikuti dengan berbagai kemunculan K-Pop Boyband dan girlband pada awal tahun 2009. Kemunculan Boyband seperti SHINEE, 2NE1, The Wondergirls, Super Junior, 2AM, 2PM, MBLAQ, dan banyak lainnya. Bermunculan pula Boyband dan Girlband terbesar korea saat ini seperti BTS, BlackPink, Exo dll. Pada K-movie seperti Parasite, Train to Busan, The Host, K-Food seperti Kimchi, Kimbab, Bulgogi, hingga minuman seperti Soju. K-Beauty ditandai dengan maraknya penggunaan produk kecantikan dan trend 10 Step korean skincare. Keberhasilan Hallyu ini juga tidak lepas dari peran serta pemerintah yang konsisten untuk menerapkan kebijakan mempromosikan kebudayaan korea ke seluruh dunia.
Korean waves atau Hallyu seolah menjadi gelombang yang tiada hentinya. Choi (2015) mendefiniskan Hallyu merupakan cakupan beberapa domain budaya seperti Konten Essensial (K-drama, K-Pop), Semi-Essensial (Videogame, makanan), produk dan layanan Hallyu (pariwisata, produk kosmetik, operasi plastik, mode, layanan bahasa), Distrusi saluran (berbagai teknologi komunikasi) seperti contohnya Webtoon, dan efek (Komoditas penjualan dan citra nasional).
Jin (2016) mengklasifikasikan Hallyu kedalam dua kategori, yang pertama adalah Hallyu 1.0 dimulai pada era 1990an – 2007 sedangkan Hallyu 2.0 dimulai pada 2007-saat ini. Namun menurut Bok Rae (2015) Hallyu dibagi kedalam beberapa bagian kategori, hallyu 1.0 didorong oleh K-dramas, Hallyu 2.0 didorong oleh K-Pop Musik, Hallyu 3.0 didorong oleh K-Culture dan terakhir Hallyu 4.0 didorong oleh K-style.
Jika mengaitkan dengan keadaan puncaknya kapan Indonesia merasakan demam K-Pop yang sangat tinggi, sepertinya dapat terjadi ketika Pandemi Covid-19. Mengapa demikian, dikarenakan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2020, 842 dari 924 responden mengaku menonton drama korea selama pandemi covid-19. Dari 842 responden tersebut, 41,3% diantaranya menonton seri drama korea lebih dari enam kali selama seminggu. Meningkatnya penonton drama korea ini diasumsikan karena orang lebih banyak berdiam diri di rumah selama pandemi, serta di dukung oleh kebijakan pemerintah, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dengan demikian, salah satu driver yang menstimulus semakin berkembangnya korean waves di Indonesia adalah terhjadi ketika Pandemi Covid-19, karena ketika pandemi hampir seluruh aktifitas dinonaktifkan sehingga banyak sekali kebiasaan baru yang mendominasi terutama pada kalangan generasi milenial untuk mencari sebuah aktifitas dengan tanpa mengurangi eksistensi dalam ranah entertain dan salah satunya adalah dengan mencari sebuah esksistensialisme melalui Budaya Korea (Drakor, Music K-Pop. dll).
Fitriana Selvia
Dosen Ilmu Administrasi Negara, Universitas Palangka Raya
Peserta Latsar Angkatan XXV PUSLATBANG KDOD SAMARINDA