Photo: Ust. Abdul Somad
Penulis: Made Supriatma
Utustoria.com – Abdul Somad, penceramah kondang yang kontroversial itu, ke Singapore. Di airport, dia dilarang masuk. Otoritas Singapore kemudian mengembalikan dia ke Indonesia.
Somad datang membawa keluarganya. Saya kira, karena bersama keluarga, tujuan kedatangannya adalah, ya, plesir. Itu diakuinya sendiri lewat media. Dia ke Singapore untuk berlibur.
Mungkin Anda tidak tahu siapa Abdul Somad ini. Dia seorang penceramah agama yang sangat populer. Pengikutnya sangat banyak. Di twitter namanya adalah H. Abdul Somad Lc., D.E.S.A., Ph.D., S1 Al Azhar, Mesir. S2 Darul Hadits, Maroko. S3 Oumdurman Islamic Univ, Sudan.
Pada 2019, ia hanya beberapa sentimeter dari kursi kepresidenan. Saat itu Prabowo Subianto mencari calon wakil presiden. Nama Abdul Somad ada di urutan pertama. Namun Somad menolak. Dan, sejarah punya cerita lain. Indonesia akhirnya mendapat Ma’ruf Amin.
Jadi, kembali lagi ke soal Somad, ia datang ke Singapore untuk plesiran. Yah, keluarkan sedikit uang untuk bersenang-senang. Melancong ke Universal Studio, barangkali. Bakar-bakar beberapa ribu dollar di mal-mal di Orchard Rd.
Juga melihat-lihat betapa bersih, tertib, dan teraturnya negara kota ini. Itu semua untuk dinikmati, bukan? Sedikit jeda kesibukan sehari-hari. Ya kan?
Sampai disini semua kelihatan normal-normal saja. Kecuali bahwa semua rejeki yang hendak dia belanjakan di Singapore itu berasal dari pekerjaan mengharamkan ini dan itu.
Yang menarik untuk saya adalah mengapa Somad dan keluarga memilih berlibur ke Singapore? Atau, lebih sempit lagi, mengapa dia perlu berlibur? Saya tidak tahu apakah dalam kotbah-kotbahnya itu dia pernah mengajarkan soal liburan dan pentingnya berlibur; dan kemana tempat berlibur yang sesuai dan tidak menambah dosa?
Kemarin rumah saya ketamuan seseorang yang di mata saya sangat istimewa. Dia adalah dr. Ryu Hasan, seorang neuro-surgeon, yang pemikiran-pemikirannya beberapa kali saya ikuti lewat media sosial.
Kami melewati banyak jam tanpa merasa lelah. Kami membincangkan hal-hal dari yang intelek hingga ke telek. Dari cerita pribadi hingga ke soal-soal sains. Tentu kami tidak selalu sepakat dalam memandang satu hal. Namun disanalah keindahannya.
Dalam perbincangan, terletup satu cerita ketika dia makan malam bersama satu teman. Di meja sebelah ada satu rombongan yang kalau dari pakaian terlihat sangat agamis. Namun, mereka ribut luar biasa. Ketawa cekakakan, teriak-teriak dalam bercerita …
Mengapa itu terjadi?
Ryu Hasan menjawabnya dengan sederhana. Orang-orang ini merasa sudah menjalankan semua yang dituntut oleh agamanya. Semua. Secara literer dan menurut mereka benar.
Hanya saja, mereka hanya merasakan bebas dalam soal-soal yang tidak diatur dalam agama. Di jalan raya, misalnya. Di ruang-ruang publik. Manner atau tata krama, itu tidak diatur dalam agama.
Kalau pun diatur, dia kabur. Atau ia hanya diterapkan terhadap lingkaran sosial si pemeluk agama itu. Di luar itu, mereka bisa seenaknya. Dan ketika berada di luar ajaran-ajaran normatif itu ia bertindak seenaknya.
Ini mengingatkan saya saat memergoki kawan yang sangat relijius membolak-balik halaman majalah Penthouse, sebuah majalah bagus yang berisi gambar-gambar perempuan telanjang bulat. Kentara persis oleh saya bahwa jakunnya naik turun dan dia ereksi.
Ketika terpergok oleh saya, dia berkilah, ah yang telanjang itu kan bule. Ya bule, yang dalam persepsinya, pastilah bukan orang seagamanya.
Kawan saya ini mencari celah dari “the otherness,” yang lain, yang bukan kita. Dia perlu jeda dari keketatan moralnya. Dia perlu keluar dari beban hidup moralnya yang spartan itu. Namun dia ingin tetap berada dalam wilayah moralnya itu.
Maka pergilah dia ke wilayah “yang lain” yaitu bule. Toh para bule yang telanjang itu sudah kafir. Hidupnya sudah digariskan akan menghuni ceruk neraka. Tidak apa-apa kan memandang penghuni ceruk neraka dari jendela surga?
Dari sini, saya paham mengapa Somad perlu membawa keluarganya berlibur ke Singapore. Saya kira Somad bukannya tidak sadar seperti apa masyarakat Singapore itu. Ini sebenarnya membuat saya ingin bertanya, apakah orang-orang Singapore itu akan masuk sorga dalam standar moral si Somad?
Sampai disini, saya kembali ingat pada perbincangan dengan dr. Ryu Hasan. Dia bilang, sebagian besar orang percaya namun tidak percaya-percaya amat. Dalam bahasa saya, dalam hal apa saja kita perlu memoderasikan diri kita, supaya kita tidak diadili dengan standar moral kita sendiri.
Tentu pengikut Abdul Somad menjadi so mad dengan keputusan Singapore yang mencegah Somad masuk ke negeri itu. Hingga saat ini saya belum mendengar pemerintah Singapore memberi penjelasan mengapa mereka mencegah Somad masuk ke negerinya. Saya rasa mereka tidak akan pernah menjelaskannya.
Namun saya bisa mengerti kalau mereka menganggap bahwa Somad adalah ancaman untuk keamanan dan ketertiban mereka. Ini karena provokasi Somad yang mungkin akan bergaung di masyarakat Singapore. Dia akan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat Singapore, tidak saja di kalangan masyarakat Muslim tetapi juga antara Muslim dan non-Muslim.
Tentu Singapore punya alasan sendiri untuk mencegah Somad masuk ke negerinya. Sekalipun, tujuan Somad adalah berlibur. Menghamburkan sebagian duit hasil provokasi itu.