Photo: Ilustrasi
Utustoria.com – Bulan Ramadan 1443 Hijriah telah usai, umat muslim telah menjalani ibadah puasa Ramadan yang hukumnya wajib selama satu bulan dan setelah satu bulan menjalani ibadah wajib puasa maka umat muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri di mana tidak lagi menjalani ibadah wajib puasa setelahnya kecuali bagi yang ingin mengganti puasa Ramadan yang batal karena berbagai hal yang dibenarkan untuk tidak melanjutkan puasa dan setelahnya umat muslim bertemu dengan ibadah-ibadah puasa yang sifatnya anjuran atau sunnah hingga bertemu lagi dengan Ramadan tahun hijriah berikutnya.
Selama ibadah puasa Ramadan, umat muslim dilarang makan dan minum dan melakukan hal-hal lain yang dapat membatalkan keabsahan puasa dan yang menggugurkan pahala puasa.
Terkait dengan makan dan minum setelah ibadah puasa Ramadan usai khususnya ketika momen Satu Syawal atau Idul Fitri dan beberapa hari setelahnya di mana biasanya tersaji berbagai hidangan khas lebaran seperti opor ayam, rendang, sate dicampur dengan lontong dan ketupat maupun menu-menu hidangan lain yang identik dengan kuah santan.
Bagi sebagian orang, pola makan yang tak terkontrol pada momen lebaran menimbulkan kekhawatiran akan bertambahnya berat badan dan mengganggu penampilan tubuh yang ideal pasca bulan Ramadan.
Kekhawatiran terhadap bertambahnya berat badan tersebut disebabkan faktor-faktor seperti ketakutan terhadap timbulnya penyakit, penampilan yang tidak nyaman dipandang, pertimbangan dalam melamar pekerjaan dengan syarat ciri postur tubuh tertentu, pertimbangan dalam penerimaan jodoh maupun stigma dari lingkungan sosial terhadap orang berbadan gemuk.
Dalam kajian Sosiologi post-struktural, kontrol dan pengawasan terhadap perawatan tubuh terkait dengan apa yang diutarakan Michel Foucault mengenai pengaturan politik tubuh dalam, melalui, dan atas tubuh fisik (Synnot, 2007 : 369).
Pengaturan terhadap tubuh tersebut merupakan kekuasaan terhadap tubuh (bio-power).
Kekuasaan terhadap tubuh tersebut bahkan menyentuh hingga aktivitas kecil mikroskopik tubuh dan merupakan bagian dari mekanika kekuasaan yang mengontrol kedisiplinan waktu seperti keterlambatan, ketidakhadiran, gangguan tugas; kedisiplinan atas aktivitas seperti tidak perhatian, kurang bersemangat; kedisiplinan atas tingkah laku seperti tidak sopan, tidak patuh; kedisiplinan atas ucapan seperti ocehan yang tidak perlu, kelambatan berbicara; kedisiplinan atas tubuh seperti sikap yang tidak benar, gerak tubuh yang tidak teratur, kurang menjaga kebersihan dan kedisiplinan atas seksualitas seperti ketidakmurnian dan ketidaksenonohan (Synnot, 2007 : 369 – 370). Hal tersebut menyebabkan arena kehidupan sosial dimekanisasikan.
Mekanisasi terhadap kehidupan sosial tersebut yang menyebabkan kekuasaan terdesentralisasi dan menyebar sebagaimana gagasan dari Foucault bahwa kekuasaan itu tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi beragamnya hubungan kekuasaan (Haryatmoko, 2016 : 12).
Kekuasaan atas tubuh khususnya menyebar pada berbagai institusi atau lembaga seperti pada perusahaan-perusahaan yang mewajibkan tinggi dan berat badan pada ukuran tertentu serta penampilan menarik bagi pelamar kerja dan karyawan yang bekerja; pada institusi keluarga yang memiliki doktrin sehat jasmani dan ruhani dengan memiliki berat badan yang ideal; pada institusi militer yang mengontrol postur dan gerak tubuh para tentara lapangan; pada institusi medis di mana dokter memiliki kontrol dalam relasi kuasa terhadap pasien dalam mengatur pola makan dan bentuk tubuhnya; dan juga pada biro jodoh di mana pemilik biro menetapkan aturan dalam menetapkan kriteria ciri ideal tubuh tertentu pada karakteristik individu-individu tertentu sebagai ciri ideal pasangan yang diterima.
Dalam konteks ini, tubuh dikendalikan seakan-akan menjadi mesin ketubuhan yang harus patuh terhadap rezim mekanika kekuasaan dan agar sesuai dengan tatanan sosial-moral-politik tertentu dalam suatu lingkup masyarakat.
Mesin ketubuhan dalam mekanika kekuasaan tidak bebas nilai termasuk yang berkenaan dengan gender.
Kekuasaan di dalam masyarakat patriarkal berasal dari laki-laki; dengan kata lain term biopolitik menyembunyikan realitas kekuasaan laki-laki atas tubuh perempuan atau lebih khusus seksualitas perempuan; berkaitan dengan disiplin dan tatapan mata laki-laki (Synnott, 2007 : 373).
Realitas yang seringkali terjadi perempuan lebih memperhatikan penampilan tubuhnya dalam hal ukuran berat badan, kelangsingan, keindahan, dan perawatan tubuh agar memiliki daya tarik dan daya pikat pada kaum laki-laki sehingga timbul rasa bangga dan kepuasan diri terlebih di institusi kerja tertentu membutuhkan pekerja wanita yang betul-betul memperhatikan keindahan tubuhnya termasuk juga kecantikan wajahnya.
Perhatian terhadap perawatan tubuh tersebut dapat mengarah kepada fetisisme atau kepercayaan terhadap sakralnya keindahan tubuh.
Fetisisme didukung dan diperkuat oleh berbagai wacana baik yang dipromosikan oleh ahli-ahli medis maupun non-medis yang tergila-gila dengan industri tubuh (Jones dkk, 2016 : 189).
Industri tubuh tersebut seperti industri kecantikan, industri mode pakaian, industri remaja, industri makanan diet, dan industri kebugaran tubuh.
Fetisisme terhadap tubuh dalam realitasnya cenderung lebih banyak pada perempuan dalam upaya perawatan dan keindahan tubuh melalui salon-salon kecantikan, tempat-tempat pemijatan tubuh dan perawatan kulit maupun pada pengelolaan kecantikan wajah, meskipun ada juga laki-laki yang melakukan perawatan tubuh.
Semua itu juga tidak lepas dari pengaruh industri kapitalisme global yang membentuk pola pikir dan hasrat untuk mengubah citra diri sesuai dengan domain pasar kapitalisme khususnya dalam pekerjaan dan narsisisme diri demi mendapatkan rekognisi.