Ulasan Sosiologi: Petasan dalam Perspektif Marxisme Eksistensial - Laman 2 dari 3 - Utustoria Ulasan Sosiologi: Petasan dalam Perspektif Marxisme Eksistensial - Laman 2 dari 3 - Utustoria

Ulasan Sosiologi: Petasan dalam Perspektif Marxisme Eksistensial

1231
Spread the love


Karena digunakan dalam upacara perayaan atau festival, bazhou makin dikenal kala itu.
Versi lain menyatakan bahwa pada masa Dinasti Song (960 – 1279 Masehi), bubuk mesiu menggantikan bahan-bahan sebelumnya yang biasanya digunakan dalam pembuatan bazhou yang tidak menimbulkan ledakan.
Penggunaan bubuk mesiu dalam pembuatan bazhou dilakukan oleh seorang pendeta bernama Li Tian.
Penggunaan bubuk mesiu menjadikan bazhou memiliki daya ledak yang keras dan lantang. Dan, itu didukung oleh mitos yang menyatakan bahwa roh-roh jahat akan takut dengan suara-suara yang bergemuruh.
Dalam perkembangan selanjutnya, bazhou yang menggunakan medium bambu digantikan oleh medium kertas berbentuk tabung kecil warna merah agar makin mudah dan cepat diledakkan dan tidak menimbulkan efek yang terlalu besar.


Pada tahun 1292, seorang penjelajah dunia bernama Marcopolo membawa beberapa sampel petasan atau bazhou dari Tiongkok ke Italia.
Sampel tersebut sebagian bermedium bambu, sebagian bermedium kertas.
Karena hal itu, berbagai perayaan yang ada di Italia selalu dimeriahkan oleh suara petasan.
Hal itu mendorong sebagian masyarakat Italia memanfaatkan bahan mesiu dalam petasan untuk membuat senapan dan meriam. Selain itu, juga dibuat kembang api di Italia. Hal itu yang menjadikan Italia sebagai negara Eropa pertama yang memproduksi petasan dan kembang api.
Dan, kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa yang lain.
Menyebarnya petasan di daratan Eropa menarik perhatian Ratu Elizabeth I.
Ratu Elizabeth I di Inggris begitu menyukai petasan sebagai hiburan pada momen-momen tertentu dan menunjuk beberapa ahli untuk mendesain dan membuat petasan.


Lalu, bagaimana kemudian petasan bisa sampai ke Indonesia?
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, banyak pedagang dari Cina datang membawa petasan dan diterima sebagai bagian dari budaya lokal seperti budaya Betawi yang selalu memanfaatkan petasan dalam setiap acara hajatan.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, petasan sempat dilarang karena dianggap setara dengan senapan dan digunakan musuh untuk menyerang. Selain itu, karena petasan mudah terbakar dan mengenai benda-benda di dekatnya terutama ketika musim kemarau dan rentan terhadap rumah-rumah penduduk yang kala itu kebanyakan terbuat dari rumbia dan kayu.


Menyalakan petasan telah menjadi budaya di Indonesia dan diwariskan turun-temurun, atau menurut G.W.F. Hegel merupakan sebuah totalisasi yang berarti budaya membunyikan petasan di zaman ini adalah bentukan dari sejarah penemuan dan penyebaran petasan di masa lampau.
Ketika bulan Puasa Ramadan, Idul Fitri, Natal, maupun Tahun Baru Nasehi dan Imlek, tanpa ada suara petasan, terasa ada yang kurang, dan biasanya anak-anak dan remaja yang suka membunyikan petasan pada momen-momen tersebut.
Apa yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja tersebut adalah menggerakkan sejarah kehidupan mengenai budaya membunyikan petasan sehingga hal itu sulit dihilangkan sekalipun ada undang-undang yang melarang membunyikan petasan, narasi sejarah lebih kuat dibandingkan produk hukum yang usianya jauh lebih muda.
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja ketika membunyikan petasan ialah praktik dari Marxisme Eksistensial sebagaimana yang diperkenalkan oleh Jean Paul Sartre.