Analisis Sosiologi Mengenai Fenomena Klitih di Yogyakarta - Utustoria Analisis Sosiologi Mengenai Fenomena Klitih di Yogyakarta - Utustoria

Analisis Sosiologi Mengenai Fenomena Klitih di Yogyakarta

2994
Spread the love

Photo: Ilustrasi (Star Jogja FM)

Penulis: Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Pengamat Sosial (Bantul, Yogyakarta)

Utustoria.com – Secara etimologis, pada mulanya Klitih bermakna mencari udara segar di luar rumah atau sekadar bepergian keluar rumah untuk menghilangkan penat.

Namun, makna tersebut bergeser menjadi peyoratif yakni tindakan brutal menyerang orang lain secara tiba-tiba atau acak dengan menggunakan senjata tajam.
Klitih umumnya dilakukan oleh remaja laki-laki dan menyasar pengendara laki-laki dan biasanya beraksi pada pertengahan malam hingga menjelang subuh.

Klitih sudah menjadi kejahatan jalanan yang meresahkan warga Yogyakarta. Tindakan hukum terhadap para pelaku Klitih belum mampu mengatasi akar-akar persoalan penyebab maraknya aksi Klitih.

Secara sosiologis, akar-akar penyebab masih maraknya aksi Klitih berupa tiga hal :

  1. Perkembangan ruang-ruang urban yang ditandai dengan bertambahnya urbanisasi dan arus mobilitas karena perkembangan sumber-sumber ekonomi memicu perilaku antarkelompok untuk saling menunjukkan keunggulan identitas masing-masing termasuk pada kelompok remaja yang terjebak sosialisasi menyimpang. Hal itu ditandai dengan aksi mencari musuh secara acak dan menyerang secara brutal terhadap orang yang dianggap sebagai anggota kelompok lawan.
    Perilaku seperti itu sudah menjadi ritus kelompok yang diwariskan melalui pola doktrin dan rekrutmen anggota secara tertutup.
    Persaingan antar remaja esensinya untuk menunjukkan kehebatan setiap kelompok atau peer-group, karena perkembangan ruang-ruang urban yang menyuburkan individualisme dan egosentrisme kelompok ditambah permisifnya perilaku kekerasan karena mencairnya tatanan norma, persaingan itu diubah pola interaksinya dengan saling serang dan apabila hal itu tidak tersalurkan dilakukan dengan menyerang orang lain yang tak dikenal sebagai sasaran amarah kelompok.
  2. Tak dapat disangkal, perkembangan media teknologi digital semakin memudahkan setiap remaja untuk saling berinteraksi termasuk rencana tindakan yang menyimpang.
    Perkembangan teknologi global rentan menghadirkan atau menyuburkan bentuk-bentuk kekerasan dan merujuk pada perspektif dari Ulrich Beck, kita adalah bagian dari masyarakat risiko karena teknologi dan industri menghadirkan berbagai kerentanan dan ancaman, tidak hanya pada lingkungan fisik, namun juga pada aspek sosial dan ekonomi.
  3. Masih kuatnya stigma sosial dalam masyarakat yang menyatakan bahwa perempuan terlarang untuk keluyuran pada malam hari dan pulang larut malam, sedangkan permisif terhadap laki-laki yang dibiarkan lebih bebas bepergian dan keluyuran hingga larut malam. Budaya yang bias patriarkis seperti itu juga secara langsung atau tidak langsung menyumbang pada maraknya aksi Klitih yang kebanyakan dilakukan oleh remaja laki-laki sebagai aksi jalanan yang menonjolkan sisi maskulinitas namun dengan cara-cara yang keliru.
  4. Lingkungan keluarga memiliki peran paling penting dalam mencegah perilaku kejahatan jalanan yang melibatkan remaja karena keluarga adalah lingkungan pertama tempat tumbuh dan berkembangnya remaja.
    Sering kali, para pelaku Klitih berasal dari orang tua yang lemah modal sosialnya dalam arti kurang memiliki komitmen kuat dalam membangun interaksi dan sosialiasi yang tepat, intensif, dan berimbang sehingga transmisi nilai dan norma yang sesuai dengan kehidupan sosial relasi dan jaringan komunitas masyarakat tidak berhasil disampaikan secara optimal.
    Dampaknya anak remaja memiliki trust yang lemah kepada orang tuanya dan orang tua juga memiliki trust yang lemah kepada anak. Si anak lalu membangun trust yang lebih solid kepada peer-group karena dinilai lebih memberikan perhatian dan dukungan terhadap keinginan si anak itu sekalipun berada dalam peer-group yang menyimpang. Modal sosial berupa nilai, norma, relasi, jaringan, dan trust dalam kelompok menyimpang lebih solid karena sama-sama merupakan anak remaja yang kurang mendapat perhatian dan rekognisi.
    Modal sosial tidak selalu untuk kepentingan konstruktif, namun bisa juga disalahgunakan untuk kepentingan destruktif.
  5. Keluarga sebagai faktor paling penting dalam pencegahan aksi kejahatan jalanan menjadi sebuah pembelajaran sosial mengenai pembentukan institusi keluarga atau perkawinan yang ideal dan sesuai dengan harapan-harapan masyarakat.
    Dalam narasi critical discourse berkaitan dengan fenomena Klitih, pembentukan institusi keluarga atau perkawinan cenderung memenuhi kepentingan-kepentingan pragmatis dan nilai-nilai heterosexuality dan cenderung lemah dalam berkomitmen membentuk generasi-generasi beradab yang menebar kebajikan dan kebijaksanaan sosial.
    Maka perlu sebuah konsistensi moral dalam sebuah institusi keluarga baik sebelum dan sesudah terbentuknya institusi tersebut mengenai bagaimana pola asuh, bagaimana transmisi nilai-nilai agama dan budaya, dan seperti apa pembagian peran antara ayah/suami dan ibu/istri dalam pembentukan karakter anak yang diharapkan oleh masyarakat yang beradab. Maka ilmu parenting menjadi hal penting dan krusial bagi calon pasangan maupun pasangan yang telah memasuki institusi marital.

Berdasarkan pemahaman di atas, dapat ditentukan langkah-langkah penangangan aksi Klitih baik secara preventif maupun kuratif.

Secara preventif :

  1. Aparat kepolisian perlu memperluas titik-titik area patroli pada dini hari karena para pelaku Klitih juga memiliki kemampuan mengamati setiap pergerakan petugas kepolisian sehingga terkadang sulit ditangkap langsung oleh aparat kepolisian. Dalam hal ini pihak kepolisian harus menjalin kerja sama dengan warga lokal terutama yang tinggal di area rawan Klitih dalam bertukar informasi mengenai keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
  2. Aparat kepolisian dan masyarakat sipil harus mengawasi peredaran senjata tajam seperti celurit dan pedang agar penggunaannya tidak menyalahi aturan.
  3. Memperluas pemasangan kamera pengawas (CCTV) yang bertujuan untuk lebih menyiagakan petugas keamanan dan warga lokal dalam mengantisipasi gangguan kamtibmas.
  4. Pemerintah daerah perlu merestrukturalisasi program pembinaan keluarga berdaya dalam arti meningkatkan pengetahuan dan kapasitas orang tua agar lebih sadar mengenai pentingnya komunikasi yang sehat dengan anak-anaknya yang masih bersekolah di mana penyelenggaraan program tersebut bisa bekerja sama dengan pihak sekolah khususnya yang para siswanya sering terlibat perkelahian pelajar dan aksi kejahatan yang sejenis.

Secara kuratif :

  1. Pemberian sanksi sosial dan pidana yang pantas bagi para pelaku Klitih agar memberikan rasa keadilan terhadap para korban dan keluarga korban.
  2. Penguatan resiliensi mental dan sosial kepada korban dan keluarga korban oleh pihak-pihak yang berkompeten.
  3. Pelaksanaan pembinaan oleh pihak berwenang terhadap orang tua para pelaku agar mereka lebih tahu diri dan reflektif bahwa apa yang dilakukan oleh anak-anaknya adalah tindakan melanggar pidana dan berdampak pada pengucilan oleh masyarakat.
  4. Perlu mempertimbangkan nasib para pelaku Klitih apabila nanti sudah selesai menjalani masa hukuman. Perlu peran institusi agama dan institusi sosial lain yang terkait dalam membina kehidupan mantan para pelaku Klitih khususnya diarahkan pada pembentukan kelompok anti-Klitih dan strategi memutus kesuburan reproduksi budaya Klitih. Memandulkan budaya Klitih setidaknya bisa mengurangi proses rekrutmen dan belajar menjadi pelaku Klitih oleh para remaja sehingga menjadi sisi yang fungsional dalam mereproduksi dan mendesain ulang aturan-aturan kamtibmas.