Zahra, Si Gadis Manis Yang Terancam Tuli Permanen - Utustoria Zahra, Si Gadis Manis Yang Terancam Tuli Permanen - Utustoria

Zahra, Si Gadis Manis Yang Terancam Tuli Permanen

2244
Spread the love

Photo: Ilustrasi (Jawapos.com)

Penulis: La Mukhaidir
  • (Sanana, Maluku Utara)

Derita Zahra
Zahra gadis 13 tahun yang mulai beranjak remaja itu, bersekolah disalah satu Pondok Pesentren yang berada di Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai. Kini ia sudah menduduki bangku kelas VIII setera dengan tingkat MTs kelas 2 atau setingkatnya. Gadis yang seharusnya tumbuh kembang dalam bimbingan kasih sayang guru di bangku pendidikan tempat ia menuntut ilmu pengetahuan untuk menjadadi bekal dimasa depannya kelak. Namun kini harapan dari gadis itupun pupus setelah mengalami pemukulan yang dilakukan oleh salah seorang ustad, sehingga menyebabkan gendang telinganya sobek sebagaimana berdasarkan keterangan dokter setelah melakukan pemeriksaan ia bisa mengalami tuli permanen jika tidak diobati secara intensif. Gadis cantik yang lahir dan tumbuh dalam kondisi fisik yang normal, kini ia harus kembali menerima kenyataan hidup yang pahit untuk yang kedua kalinya setelah kenyataan hidup yang harus dialaminya 10 tahun silam, tepatnya pada usia 3 tahun. Bahwa kini di usianya yang memasuki 13 tahun ia harus mengalami cacat disalah satu organ tubuhnya.

Zahra adalah seorang gadis dari keluarga broken home sejak usia 3 tahun, di usia ini adalah fase aktif dari pertumbuhan otak anak-anak sehingga pada fase ini seorang anak seharusnya tumbuh dalam pelukan kasih sayang orang tua. Namun hal itu tidak alami oleh si kecil Zahra, hal ini disebabkan karena Zahra kecil yang baru mulai belajar tentang dunia bermain anak-anak, namun sudah dipaksa oleh keadaan untuk harus menerima kenyataan hidup yang pahit, beban yang tidak sanggup dipikul oleh tubuh kecilnya itu, bahwa kedua orang tuanya sudah bercerai. Ya, ini alah kenyataan hidup pertama yang harus diterima oleh Zahra pada usinya yang masih sangat kecil untuk mengerti tentang perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya, sehingga dia hanya bisa tumbuh dalam pelukan kasih sayang neneknya. Dalam kondisi yang telah dialami oleh si kecil Zahra bisa kita bayangkan bagaimana kondisi mentalnya dan psikologi selama proses pertumbuhannya.

Pemukulan yang dialami oleh Zahra bermula pada tanggal 10 November 2021 lalu, saat ia dan ketiga teman keluar pondok untuk berkunjung kerumah salah seorang temannya hanya untuk sekedar mencari makan, karena mereka tidak kebagian jatah makan di pondok. Jarak antara pondok dan rumah temannya hanya sekitaran setengah kilometer. Namun tuan rumah yang merasa khawatir pada Zahra dan ketiga rekannya kemudian menghubungi pihak pondok melalui via telpon dan memberitahukan kalau empat orang santri mereka sedang berada dirumahnya dan meminta agar pihak Pondok menjemput mereka. Namun tuan rumah juga tidak lupa untuk memohon kepada pihak Pondok agar ke empat orang santri tersebut tidak diapa-apakan, karena hanya sekedar datang untuk bermain dengan anaknya. Sampai sekarang saat duduk dihadapan komputer tua ini, saya bertanya-tanya dalam hati saya sendiri sambil sesekali bergumam dan berharap ada jawaban, kenapa Si tuan rumah tempat Zahra dan ketiga temannya berkunjung memohon kepada pihak pondok agar mereka tidak diapa-apakan? ada apa sebenarnya dengan segala permohonan itu? kenapa ia harus bermohon-mohon segala? apakah tidak cukup dengan hanya memberitahukan kalau empat orang santri ada dirumahnya? Seketika gumam dan segala pertanyaan yang bersarang dalam hati saya terhenti saat mendengar suara adzan, sayapun berpikir bahwa mungkin suara adzan yang menghentikan gelisah dalam hati saya adalah isyarat agar tidak menduga-duga sesuatu yang bukan-bukan, sehingga sayapun menghentikan segala dugaan dalam hati sambil berkata Wllahu A’lam Bishawab.


Pemukulan Terhadap Zahra
Tepat pukul 22. 00 WITA Zahra dan ketiga temannya dijemput untuk kembali di Pondok. Sesampainya di Pondok mereka lansung dimarahi oleh pengurus Pondok. Keesokan paginya sekitar jam setengah 7 pagi mereka dibangunkan dan disuruh menghadap ke Pimpinan Pondok Pesantren, sesampainya di depan Pimpinan Pondok tersebut dalam kondisi berangkak , mereka lansung ditanya Pimpinan Ponpes. “ Siapa yang bernama Zahra” ? Zahra pun menjawab sambil mengacungkan jari tangannya “ saya”. Seketika jawabannyapun sontak dibalas dengan pukulan yang bersarang tepat ditelinga sebelah kiri sebanyak dua kali, sehingga zahra kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari posisinya, melihat Zahra yang terjatuh seketika dibantu oleh temannya, namun Pimpinan Pondok yang belum merasa cukup dengan pukulan tersebut kembali berdiri dan menampar Zahra disebelah kanan. Jilbab yang dikenakan Zahra untuk menutupi auratnyapun sempat terbuka akibat tamparan yang diterima tersebut. Setelah selesai menampar Zahra Pimpinan Pondok itupun kembali menampar ketiga temannya dengan sekali tampar. Zahra yang menerima tamparan itupun merasa malu karena saat itu banyak teman-temannya yang melihat, sehingga iapun berusaha tertawa hanya sekedar untuk menutupi rasa malu dan sakit yang dialaminya.

Betapa tabah nya dirimu Zahra dalam kondisi sakit dan malu yang kau alami, namun di usiamu yang masih 13 tahun kau mencoba menutupi rasa sakit itu rapat-rapat dalam hatimu sendiri. Suatu ketabahan yang belum tentu saya dan beberapa orang diluar sana dapat menerimanya begitu saja atas perlakuan yang kau alami, Zahra, gumam saya dalam hati saat mendengarkan cerita tersebut dari salah satu kawan saya yang telah menyambangi kerumah Zahra dan keluarganya di Toili untuk mengetahui kejadian tersebut. Setelah dipukul, Zahra dan ketiga temannya kemudian disuruh mengaji sambil mereka dijemur dibawah terik matahari.

Pimpinan Ponpes tersebut kemudian menghubungi orang tua Zahra melalui via telpon, orang tua yang saya maksud adalah Si nenek yang merawat Zahra sejak kecil. Bagi Zahra neneknya adalah ibunya, karena sejak perpisahan kedua orang tuanya, Si neneklah yang menjadi tempat perlindungannya dan neneknyapun menganggapnya sebagai anak. Pimpinan Ponpes menghubungi orang tua Zahra untuk disuruh menghadap ke pondok, sesampainya disana, Pimpinan Ponpes tersebut memberitahukan bahwa anaknya telah dihukum dengan cara dipukul. Dalam percakapan itu pimpinan Ponpes mengatakan “ anak ibu sudah saya pukul” namun yang menggetarkan dada saya adalah kata selanjutnya dari Pimpinan Ponpes tersebut, kata tersebut berbunyi begini “kalau ibu tidak senang silahkan lapor ke Polisi” kata kawan saya sambil mengulangi kata dari Pimpinan Ponpes tersebut setelah mendengar cerita dari keluarga korban, ini adalah sambungan dari kata Pimpinan Ponpes yang memberitahukan kepada nenek Zahra, setelah dia selesai memukul dan memberikan hukuman jemur Zahra dan ketiga temannya dibawah di terik Matahari. Kata tersebut berkonotasi menantang seakan-akan ia adalah orang yang kebal dari hukum, seakan-akan posisi hukum di Negeri yang katanya Negara Hukum ini tidak mampu untuk menjeratnya.

Apakah posisinya begitu istimewa sehingga hukum tidak lagi mampu untuk menjeratnya ? siapakah dia sebenarnya sehingga dengan gagahnya ia menentang hukum ? apakah ia tidak tahu bahwa posisi anak dilindungi oleh Negara melalui UU Perlindungan Anak ?, bukankah sudah jelas dalam UU perlindungan anak nomor 23 tahun 2002 mengatakan; (1). Pemerintah, pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua Wajib Melindungi Anak dari perbuatan yang menggangu kesehatan dan tumbuh kembang Anak. (2). Dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua harus melakukan aktivitas yang melindungi anak. Posisi anak yang sangat mendapatkan perlindungan dari Negara melalui UU tersebut, terus kenapa seseorang yang telah melalukan perbuatan yang dapat mencederai anak, menganggap dirinya berada di atas posisi hukum kemudian mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dan penuh kesombongan itu. Kata saya kepada kawan tersebut dengan nada yang emosi sehingga membuat suara saya bergetar.
Nenek Zahra yang tidak mengetahui kalau anaknya mengalami cedera karena dipukul masih sempat meminta maaf dan mengatakan kalau ia tidak berniat untuk melaporkan ke Polisi. Karena ia pikir anaknya hanya dipukul bagain kaki sja. Namun hukum yang tidak dapat diterima olehnya adalah hukum skorsing yang diberikan oleh pihak Ponpes kepada Zahra dan ketiga rekannya, Si nenekpun kemudian menangis dan memohon sambil menundukkan kepala agar anaknya tidak diskorsing mengingat waktu ujian kenaikan kelas tinggal sebentar lagi, karena waktu skorsing yang diberikan yaitu selama 6 bulan. Neneknya yang dalam tangisan memohon kepada Pimpinan pondok pesantren sambil mengatakan jika anaknya akan diskorsing maka ia tidak akan naik kelas, dan mau jadi apa nanti anaknya, namun hal itu bukannya malah mendapatkan rasa iba dari Pimpinan Ponpes, tapi malah dibalas oleh Pimpinan Ponpes dengan mengatakan “mau jadi apa itu bukan urusannya saya”, kawan saya kembali mengulangi kata PImpinan Ponpes tersebut, kata balasan yang semakin menyakitkan hati dari si Nenek, yang memikirkan nasib anaknya tersebut. Kalimat yang tidak menggambarkan seorang pendidik, tidak memiliki keteladanan. Bagaimana bisa seorang pendidik tidak mau memikirkan nasib dari anak didiknya. Bukankah seorang pendidik juga harus memikirkan nasib dari anak didiknya? Ya, Zahra dan ketiga temannya harus kembali menerima hukuman setelah dipukul yang menyebabkan telinga bagian kiri Zahra mengalami cedera, kemudian dijemur dibawah terik matahari, kini merekapun harus kembali menerima hukuman yang ketiga kalinya yaitu skorsing, sehingga merekapun tidak dapat mengikuti ujian kenaikan kelas. Setelah keputusan Pondok untuk menskorsing Zahra dan ketiga temannya tidak lagi bisa dirubah. Zahra akhirnya dibawah pulang oleh Nenek-nya kerumah. Sesampainya dirumah baru diketahui oleh si Nenek, karena melihat Zahra yang memegang telinganya, sehingga si Nenek menanyainya, akhirnya Zahra pun memberitahukan kepada Nenek-nya, kalau dia telah dipukul bagian teliga, dan sekarang telinganya sakit. Sehingga merekapun melakukan pemeriksaan di dokter. Akibat dari skorsing yang tersebut dua orang teman Zahra harus putus sekolah, satunya masih memilih untuk lanjut, dan Zahra sendiri pindah sekolah.
Zahra sayang, betapa malangnya nasibmu, kau yang masih kecil sudah harus menanggung derita dari perceraian kedua orang tuamu, setelah tumbuh menjadi remaja kau pun harus kembali mengalami derita karena cedera telinga yang berdasarkan keterangan dokter bisa menjadi tuli permanen. Saya berdoa kepada sang pencipta untuk dirimu dan mengutuk kebiadaban dari pemukulan yang dilakukan atas dirimu sehingga merenggut salah satu indra pendengaranmu. Semoga pendengaranmu dapat kembali pulih, karena jika tidak, aku tidak dapat membayangkan apakah kau dapat tumbuh dalam kedaan baik-baik saja tampa bullying karena pendengaranmu yang hilang. Zahra, doa yang kupanjatkan atas dirimu kini telah menggugah pertanyaan-pertanyaan dalam hati saya. Bagaimana jika kondisi yang kau alami kelak akan menimpah saudara perempuan saya? atau kelak jika saya berkeluarga dan mempunyai anak perempuan seperti dirimu, terus mengalami hal serupa? Zahra, sayang semoga kelak tidak adalagi penerusmu, semoga sekolah-sekolah umun maupun agama menjadi tempat yang nyaman untuk perlindungan bagi anak-anak agar mereka dapat tumbuh kembang dengan baik.
Kita bisa membayangkan kondisi mental dan psikilogi yang dialami oleh Zahra, jika kita adalah manusia yang mempunyai hati dan rasa empati untuk ikut bersimpati terhadap apa yang dialami oleh Zahra, karena yang bisa merasakan derita yang dialami oleh orang lain adalah hati dari manusia-manusia yang hidup. Bagaimana bisa kita yang mempunyai anak perempuan dan saudara perempuan terus baik-baik saja tanpa merasa cemas dan bertanya-tanya dalam hati kita sendiri bagaimana jika hal yang dialami oleh Zahra menimpa anak atau saudara perempuan kita sendiri.
Setelah selesai mendengarkan cerita dari kawan saya, kamipun berdiskusi dan sepakat untuk mengawal kasus tersebut sampai sipelaku mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan Zahra mendapatkan keadilan atas kekerasan yang dialaminya.

Ketidakhadiran Pemda.
Terhitung sudah sebulan lebih setelah pemukulan yang dialami oleh Zahra, tepatnya pada tanggal 10 November 2021 lalu sampai dengan saat ini, belum ada upaya yang dilakukan oleh Pemda untuk memberikan perlindungan terhadap korban berupa penyediaan psikiater untuk memulihkan trauma yang dialami oleh korban maupun melakukan perawatan intensif terhadap korban. Melihat kasus Zahra yang belum mendapatkan perhatian setelah upaya yang kami lakukan agar Zahra mendapatkan perlindungan dan bantuan dari Pemda sayapun bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Pemda tidak memperhatikan kasus Zahra? Apakah Negara juga terancam tuli sehingga tidak bisa mendengar suara tangisan panggilan dari Zahra? ah, tidak negara tidak mempunyai telinga seperti Zahra. Ya, Negara memang tidak mempunyai telinga, tapi apakah Pemimpinan Daerah itu tidak mempunyai telinga juga sehingga tidak bisa mendengar? atau mereka juga terancam tuli sehingga tidak ikut mendengar? apakah Si pelaku yang memukul Zahra juga memukul Pemda sehingga menjadi tuli? semoga si pelaku tidak mengatakan juga kepada Pemda “ kalau tidak senang silahkan lapor ke polisi “ sebagaimana yang dia katakan kepada Nenek Zahra.
Kasus pemukulan yang sudah dilaporkan ke pihak yang berwajib dalam hal ini aparat kepolisian pada tanggal 13 November 2021 yang dibuktikan dengan surat tanda terima laporan bernomor STPL//XI/2021/Res Bgi/Sek-Toili namun dalam prosesnya terkesan lamban sehingga mendapatkan desakan dari beberapa kalangan aktivis agar pihak kepolisian segara mempercepat proses hukum pelaku pemukulan terhadap empat orang santri. Setelah ada desakan dari pihak keluarga dan aktivis kasus ini baru dilimpahkan ke kejaksaan pada kamis tanggal 30 desember2021 namun anehnya pelaku tidak ditahan padahal penganiyayaan ini adalah penganiyayaan berat.

Berbagai macam upaya telah ditempuh agar korban mendapatkan perlindungan dan perawatan oleh negara namun sampai sekarang tidak membuahkan hasil. Mulai dari melakukan aksi pada setiap hari kamis dan pengajuan surat kepada Dewan perwakilan Rakyat untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) sejak tanggal 20 Desember lalu namum sampai sekarang belum direspon oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang katanya lembaga dari representasi kepetingan Rakyat itu, sudah dua kali Kantor mewah itu kami kunjungi untuk menanyakan progress dari surat RDP tersebut, namun kami tetap menerima jawaban yang sama kalau surat tersebut masih berada dimeja Ketua DPRD yang terhormat. Kantor yang diisi oleh orang-orang berdasi, berbau wangi dan beramput licin karena sering dioles minyak ramput, mungkin mereka hanya sibuk mengurus rambutnya sehingga lupa untuk merawat isi kepala dan hati nurani mereka agar lebih peka terhadap persoalan anak.
Selain melakukan aksi dan melayangkan surat Rapat Dengar Pendapat Ke Dewan Perwakilan Rakyat, kami juga berkordinasi dengan Dinas Perlindungan Anak melakukan koordinasi terkait dengan kekerasan yang dialami oleh Zahra dan pada Hari Senin, Tanggal 3 Januari kurang lebih pukul 14;30 Wita kami bersama dengan keluarga korban menyambangi Kantor Dinas Perlindungan Anak untuk yang kedua kalinya sesampainya disana kami diterima oleh Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Anak dari hasil pertemuan tersebut, mereka akan menyediakan psikiater untuk mengobati terauma korban karena berdasarkan pernyaatan dari keluarga korban kondisi Zahra sekarang tidak lagi seceriah dulu dan hanya mengurung diri dalm rumah. Namun dari Dinas Perlindungan Anak hanya menyediakan psikitar untuk mengobati trauma korban terkait dengan biaya pengobatan Zahra itu tidak ada karena tidak ada pos anggaran yang diperuntukan untuk proses perawatan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan.

Peran Negara sangat penting untuk melindungi anak dari hal-hal yang dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak entah berupa kekerasan secara fisik maupun psikis. Mengingat posisi anak yang mendapatkan perlindungan oleh Negara Melalui UU Perlindungan Anak. Maka apabila terjadi tindakan kekerasan terhadap anak Negara wajib hadir untuk memberikan perlindungan dan pertolongan kepada anak. Jika Negar atau Pemda yang merupakan representasi dari Negara ditingkat Daerah lalai terhadap kasus kekerasan anak maka Negara atau dalam hal ini Pemda mengangkangi konstitusi Negara itu sendiri.

Sebagaimana tindakan kekerasan yang telah dialami oleh Zahra dan ketiga temannya.
Ditengah-tengah kerawanan tindakan kekerasan terhadap anak negara dalam hal ini pemerintah daerah menutup mata dan menganggap tidak terjadi apa-apa. Negara abai dan menganggap seakan-akan tindakan kekerasan terhadap anak bukan merupakan problem yang serius, padahal anak adalah generasi yang dengan segala mimpi dan cita-cita yang kelak akan menjadi penerus dari bangsa ini. Jika tempat Pendidikan entah Pendidikan Umum maupun Agama maupun ditempat mana saja, tidak lagi menjadi ruang yang nyaman dan aman buat anak maka kemana lagi nasib anak ini dipertaruhkan kalau bukan mendapatkan perlindungan dari Negara. Namun jika Negara sendiri yang memiliki fungsi dan wewenang tapi pada akhirnya tidak memperhatikan tindakan kekerasan terhadap anak maka dimana lagi tempat jaminan perlindungan anak? Mari kita tanya kepada rumput yang bergoyang. ***