Adiksi Narkoba pada Kalangan Selebriti : Perspektif Sosiologis Lacanian - Utustoria Adiksi Narkoba pada Kalangan Selebriti : Perspektif Sosiologis Lacanian - Utustoria

Adiksi Narkoba pada Kalangan Selebriti : Perspektif Sosiologis Lacanian

618
Spread the love

Photo: Ilustrasi Narkoba (Kompas)

Penulis : Muhammad Makro Maarif Sulaiman, pengamat sosial, tinggal di Bantul Yogyakarta.


Utustoria.com – Baru-baru ini, seorang selebriti yang terkenal dalam dunia musik dangdut, Ridho Roma, anak seorang musisi dangdut legendaris Rhoma Irama, kembali terjerat kasus narkoba. Ridho ditangkap polisi pada 4 Februari 2021. Dalam penangkapan tersebut, polisi menemukan tiga butir pil ekstasi. Dari hasil tes urine, diperoleh bukti bahwa Ridho positif menggunakan ekstasi. Sebelumnya di tahun 2017, Ridho berurusan dengan hukum karena mengonsumsi sabu-sabu. Ridho pun direhabilitasi dan dihukum penjara selama delapan belas bulan dan bebas pada bulan Januari 2020.

Narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) menjadi bagian yang tidak lepas dari dunia keartisan atau keselebritian. Artinya, selama dunia selebriti masih memiliki eksistensi yang direkognisi oleh publik maka menjadi pangsa pasar bagi peredaran narkoba yang mengincar para selebriti khususnya yang masih berusia produktif. Bayang-bayang jejaring peredaran narkoba menjadi kekuatan laten maupun manifes dalam dunia hiburan di tanah air.

Berkaitan dengan dampak dan ancaman dari jejaring peredaran narkoba, menjadi tugas negara dan aparaturnya beserta institusi-institusi yang ada dalam memberikan penyuluhan atau sosialisasi mengenai bahaya penggunaan narkoba kepada masyarakat khususnya generasi muda. Penyuluhan tersebut setidaknya memberi pengetahuan dan membentengi generasi muda agar tidak terjebak dalam ketergantungan terhadap narkoba dan jaringan peredarannya.

Saya teringat ketika masih duduk di bangku kelas lima SD. Pada waktu itu, sekolah mengadakan penyuluhan mengenai bahaya narkoba. Dalam kegiatan tersebut, sekolah bekerja sama dengan polsek setempat. Siswa-siswa yang diprioritaskan untuk hadir adalah kelas lima dan kelas enam, karena siswa-siswa di kelas tersebut mulai memasuki fase remaja yang rentan dengan penyalahgunaan narkoba. Saya ingat betul, sepanjang kegiatan penyuluhan yang dilakukan bapak-bapak polsek selama kurang lebih tiga jam, pemaparan yang disampaikan mengenai narkoba lebih banyak mengenai jenisnya, bentuknya, warnanya, bahayanya, alat-alat untuk menggunakannya, dan sanksi hukuman bagi pemakainya.

Namun, di dalam penyuluhan tersebut, tidak dijelaskan secara komprehensif mengenai mengapa narkoba bisa tersebar luas dalam lingkup masyarakat dan dalam struktur dan kultur sosial yang seperti apa narkoba mudah diterima oleh pemakainya. Masyarakat beserta struktur dan kultur yang ada di dalamnya merupakan sebuah skema atau tatanan yang berpola dan berelasi dengan antaraktor yang menyebabkan narkoba cenderung mudah didistribusikan dan merasuki generasi-generasi harapan bangsa.

Menjadi hal yang kurang optimal apabila dalam upaya memerangi narkoba hanya terbatas pada pengenalan mengenai jenis narkoba dan risiko yang ditimbulkan dari penggunaan narkoba. Memahami lebih lanjut secara sosiologis mengenai bermacam sistem, struktur, dan kultur yang bisa memudahkan peredaran narkoba dapat menjadi sebuah upaya yang tidak kalah signifikan dalam rangka usaha mencegah bertambahnya jumlah pengguna dan pengedar narkoba. Artinya, hal itu dapat membantu negara dalam mengurangi kerentanan, risiko, dan dampak yang ditimbulkan oleh peredaran narkoba.


Kejadian tertangkapnya kembali Ridho Roma tidak semata-mata merupakan pelanggaran hukum dan tidak boleh manyalahkan sang ayah yang dianggap tidak mampu membentengi anaknya dari barang laknat tersebut, karena bagaimanapun, Rhoma Irama telah berusaha semaksimal mungkin dalam mendidik, mendukung, dan mendoakan Ridho agar menjadi pribadi yang lebih baik. Hal yang perlu dipahami lebih lanjut ialah seperti apa sistem, struktur, dan kultur sosial yang menyebabkan Ridho kembali untuk kedua kalinya terjebak dalam penggunaan narkoba.

Meminjam perspektif dari Jacques Lacan mengenai tiga tahapan perkembangan diri manusia, Ridho Roma mengalami pergumulan hidup dalam tiga alur yakni Yang Simbolik, Yang Imajiner, dan Yang Nyata. Yang Simbolik adalah identitas dan makna diri asli dari seorang individu yang ada sejak lahir dan relatif tidak mengalami perubahan secara hakiki seiring dengan bertambahnya usia. Yang Imajiner adalah dunia di luar individu yang mengkonstruksi, melabeli, dan membentuk ulang identitas kedirian dari seorang individu. Yang Nyata ialah dunia yang dibentuk dari kemampuan individu menyatukan Yang Simbolik dan Yang Imajiner, dan secara kenyataan ini jarang bahkan mustahil ada.

Secara Simbolik, Ridho Roma memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menentukan makna jati diri pribadinya yang sejak kecil dididik oleh lingkungan dan ajaran agama yang kuat. Namun, kapasitas dan kapabilitas tersebut perlahan melemah ketika Ridho memasuki sistem yang lebih kuat dan lebih luas di mana Ridho mengaktualisasikan peran dan kariernya dalam dunia hiburan. Sistem tersebut didominasi oleh budaya pop yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalisme global. Budaya pop dimana Ridho berkecimpung adalah musik dangdut dan semi-dangdut dan kontrak kerja di bidang hiburan lain seperti sinetron dan iklan.

Sistem tersebut membentuk struktur kapitalisme di mana Ridho berada di bawah kontrol dan strata ekonomi liberalis-kapitalis yang membentuk kultur kerja keras dan kerja performa tinggi. Kedua macam kultur tersebut menuntut Ridho memiliki tubuh yang prima melebihi batas-batas kemampuan tubuh bekerja dan mendayagunakan tenaga. Ridho tidak memiliki negosiasi kuasa yang imbang dalam melawan tekanan kultur tersebut. Dampaknya, Ridho mencari sesuatu yang melanggar ketentuan medis dan hukum positif, menggunakan obat-obatan yang dilarang oleh undang-undang narkotika untuk memperkuat ketahanan fisik sebagai selebriti. Hal itu diperkuat dengan mudahnya selebriti mencari dan membeli obat-obatan terlarang.

Risiko dari Yang Imajiner dalam narasi sistem, struktur, dan kultur kapitalisme global dan budaya pop tidak dapat diimbangi oleh nilai-nilai agama dalam diri Ridho yang sudah lama diinternalisasikan dalam dirinya. Tahapan Yang Nyata ialah Ridho mampu menyatukan sisi Yang Simbolik dengan Yang Imajiner, tapi menurut Lacan itu hal yang mustahil. Apa yang dilakukan Ridho kemudian ialah melakukan prinsip Falosentrisme sebagai irisan antara Yang Imajiner dan Yang Simbolik untuk menegosiasikan keduanya. Falosentrisme ditandai secara khusus dengan sisi kelaki-lakian yang mampu mengatasi rintangan yang ditemui dalam dunia Yang Imajiner. Irisan tersebut membentuk perilaku penggunaan narkoba oleh sebagian kalangan artis atau selebriti sebagai jalan di tengah tekanan tuntutan dan nilai-nilai moral pribadi yang tidak mampu melawan tekanan tersebut Fakta yang lain, sisi Falosentrisme ditiru oleh kalangan selebriti perempuan untuk mendapatkan sesuatu yang dimiliki kaum Adam yang tidak dimiliki oleh kaum Hawa. Kasus penyalahgunaan narkoba yang menjerat Reza Arthamevia pada 2016 dan 2020 mengindikasikan bahwa identitas pada perempuan ingin mengambil sisi maskulinitas demi mendapatkan pemaknaan akan diri yang ideal sebagai bagian dari tuntutan pekerjaan industri hiburan maupun untuk mengimbangi tekanan dari sistem, struktur, dan kultur pekerjaan industri hiburan.


Ridho Roma dan Rezha Artamevia merupakan sebagian dari beberapa kalangan selebriti yang terjebak dalam adiksi atau ketergantungan terhadap narkoba. Adiksi tersebut berawal dari Yang Imajiner dalam bentuk tuntutan kerja yang bagus maupun penghasilan yang turun maupun masalah lain dalam dunia hiburan yang menimbulkan kerentanan psikis dalam diri selebriti. Kerentanan psikis tersebut seperti frustasi, tidak percaya diri, mengisolasi dari lingkungan sosial, cemas, mudah terpancing amarah, dan bisa pula keinginan untuk bunuh diri. Kemudian ada dorongan dan sensasi hasrat berdasarkan kuatnya kapital ekonomi untuk mencari pelarian dalam mengatasi kerentanan tersebut.

Narkoba sebagai proses yang cepat dalam menuntaskan kerentanan tersebut justru melahirkan kerentanan-kerentanan sosial seperti karier yang rusak, dijauhi anggota keluarga, berkurangnya kepercayaan dari pemilik industri hiburan, rasa malu pada sahabat dan rekan kerja, dan menurunnya wibawa sebagai publik figur di hadapan masyarakat. Maka dari itu, solusi secara sosiologis ialah bekal pada diri sendiri tidak hanya penguatan kapasitas integritas untuk menghindari perangkap narkoba, tetapi juga menanamkan nilai-nilai pengetahuan dalam memilih lingkungan sosial termasuk dunia hiburan yang cenderung aman dari risiko masuknya peredaran narkoba.. Solusi secara sosiologis tersebut ditujukan untuk kalangan artis maupun masyarakat umum khususnya generasi muda penerus bangsa.


TAG