Kekerasan Seksual, Kapan Kita Berhenti Untuk Tidak Percaya? - Utustoria Kekerasan Seksual, Kapan Kita Berhenti Untuk Tidak Percaya? - Utustoria

Kekerasan Seksual, Kapan Kita Berhenti Untuk Tidak Percaya?

770
Spread the love

Photo: Ilustrasi (Profil FB Made Supriatma)

Penulis: Made Supriatma

Utustoria.com – Kapankah kita berhenti untuk tidak percaya? Seorang gadis, mahasiswi sebuah perguruan tinggi terkemuka di Jawa Timur, memutuskan mengakhiri hidupnya. Dia membuat keputusan itu dalam kesedihan yang luar biasa. Namun dengan cara yang juga elegan luar biasa.

Dia memutuskan untuk meminum racun sianida dengan minuman kesukaannya, Red Velvet. Itu dilakukan di samping makam orang yang ia cintai yang sudah pergi duluan, ayahnya.

Kesedihan luar biasa, yang menjadi ciri depresi, dan sikap elegan-nya itu menyita perhatian Indonesia. Sekaligus memaksa kita untuk menengok dan mendalami mengapa hal ini terjadi?

Mengapa anak muda, yang bersekolah di sekolah yang sangat baik, yang berparas sama sekali tidak jelek, yang seakan tidak akan mengalami kesulitan apapun untuk menapak masa depan, memilih mengakhiri hidupnya?

Akhir hidup gadis ini diwarnai oleh dua hal: kekerasan seksual dan absennya perlindungan terhadap dirinya baik secara sosial dan psikologis.

Ya, dia mengalami kekerasan seksual. Dia diperkosa oleh pacarnya di mobil. Pemerkosaan itu mengakibatkan kehamilan.

Ketika orang-orang disekitarnya mengetahui, mulailah dia mendapat penghakiman. Keluarga pacarnya tidak menerimanya. Ibu pacarnya terang-terangan menuntut dia untuk menggugurkan kandungannya.

Perlindungan juga tidak dia dapati dari keluarga besarnya.
Paman-pamannya merutuki dirinya. Ia menuliskan keluhan di media sosial, dimana dia sangat aktif, betapa paman-pamannya rajin berderma dan mengutuki kekerasan seksual. Yang dilakukan oleh orang yang bukan anggota keluarganya tentu saja.

Satu-satunya yang melindunginya dan masih memberikan kasih sayang adalah ibu kandungnya. Namun tidak banyak yang bisa dia lakukan kecuali menangis. Disalah satu posting, dia bercerita tentang ibunya memasakkan rawon kesukaannya sambil menangis.

Demi mengetahui si gadis tidak keluar kamar, ibunya masuk dan mencoba menghiburnya. Sambil terisak tentu saja. “Temani Ibu sampai akhir hidupku ya Nak,”ujarnya. Isak itu, betapapun kuatnya, tidak mampu membuatnya tetap hidup. Depresi ini terlampau kuat mengikatnya.

Pacarnya yang memperkosanya adalah seorang polisi. Maka melaporlah dia ke Propam. Itu pun tidak membuahkan hasil apa-apa. Tidak ada tindakan apapun terhadap laki-laki bajingan yang mengakibatkan dia hamil itu.

Ini tidak sekali terjadi. Beberapa waktu lalu, Project Multatuli menulis laporan tentang seorang ibu di Luwu Timur yang anak-anaknya diperkosa mantan suaminya. Alih-alih diperiksa, si ibu dinyatakan menderita gangguan kejiwaan. Kasusnya mungkin akan menghilang andai saja tidak ada media yang membongkarnya lagi.

Kasus itu memunculkan tagar #PercumaLaporPolisi yang sempat viral. Kali ini pun orang sudah bertanya seperti itu lagi. Polisi lambat merespon laporan si gadis karena melibatkan anggotanya. Tapi sangat cepat bereaksi menangkap perempuan ekshibisionis yang mengekspose dirinya di bandara Yogyakarta.

Tema lain dari kasus gadis ini juga muncul dari orangtua si pelaku. Kabarnya, dia adalah seorang anggota DPRD di daerahnya. Dari laman Facebooknya, saya bisa memperkirakan aliran politiknya. Dia memang sedang berkuasa sekarang.

Gadis yang mengakhiri hidupnya ini jelas menderita depresi akibat tekanan sosial luar biasa yang harus dia hadapi. Dia membutuhkan dukungan (support system) yang masyarakat. Itu persis yang kita tidak punya. Atau kalau pun ada, tidak banyak orang bisa mengaksesnya.

Kedua, dia mengalami kekerasan seksual. Inilah sebenarnya titik pangkal depresi yang dideritanya. Alih-alih mendapatkan perlindungan, dia malah disudutkan. Bahkan oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.

Saya banyak mengamati kasus-kasus kekerasan seksual. Salah satu yang paling jamak yang saya amati adalah bahwa si korban selalu mengalami masalah kepercayaan (credibility problem).

Dengan kata lain, si korban selalu tidak dipercaya, diragukan, dan dipertanyakan. Si korban tidak punya kredibilitas untuk mengungkap kejahatan yang menimpa dirinya.

Di setiap kejadian kekerasan seksual, entah itu pelecehan atau perkosaan, saya selalu mendapati pertanyaan seperti ini:

“Masak sih?”

“Ah, jangan-jangan dia (korban) yang menggoda?”

“Ngapain ada disana (dalam kasus gadis ini, di mobil) sehingga mengundang diperkosa?”

“Jangan-jangan dia (korban) juga menikmati.”

Anggapan-anggapan seperti ini dilontarkan oleh publik – tanpa memandang apakah laki atau perempuan.

Masalah kredibilitas ini meletakkan beban tambahan kepada si korban yang sebenarnya sudah sangat menderita. Pelecehan dan perkosaan meninggalkan trauma yang sangat dalam. Saya bicara dengan beberapa korban, yang melihat tubuhnya dengan perasaan jijik. Karena si korban merasa ternoda. Tercemar. Dan tidak berharga lagi.

Kekerasan seksual menyerang harga diri. Dan karena selalu diragukan, banyak korban memilih untuk diam. Mereka memilih untuk hidup dengan depresi mereka. Dalam ketakutan-ketakutan.

Mereka tidak sanggup untuk melawan dan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menguji kredibilitas mereka sebagai korban kejahatan. Yang meragukan kebenaran cerita mereka.

Kekerasan seksual kerap terjadi di bilik-bilik pribadi dimana hanya ada si pelaku dan si korban. Kadang tanpa meninggalkan jejak forensik apapun.

Sehingga, keputusan untuk mengakhiri hidup, seperti yang dilakukan oleh gadis di Jawa Timur ini, jamak dilakukan.

Dan kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja. Pelakunya bisa siapa saja. Bahkan oleh orang-orang yang dikenal secara sosial sebagai orang terhormat dan baik-baik.

Itulah sebabnya, kita sangat membutuhkan UU Perlindungan dari Kekerasan Seksual. Berapa banyak lagi orang-orang yang seharusnya hidup dengan masa depan cerah, bahagia, dan memberi sumbangan kepada masyarakat dan bangsa ini harus terpuruk karena mereka tidak terlindungi?

Saya ingin menghormati gadis ini dan mengenang perjuangannya melawan ketidakadilan dan depresi hingga saat akhir hidupnya. Kebetulan saya menemukan satu kutipan di Twitter yang sangat baik menggambarkan itu.

Beberapa jiwa
terlalu indah untuk dunia ini

& demikianlah mereka pergi

(Nour Saad)

Jiwa gadis ini terlalu indah untuk dunia ini.

Jangan hakimi cara dia mengakhir hidupnya. Tapi hakimilah sistem kemasyarakatan yang membuatnya depresi; sistem keadilan yang tidak berpihak sedikitpun terhadap korban melainkan hanya pada yang kuat dan berkuasa; sistem itulah yang membunuhnya.

Para politisi yang menolak membahas UU Perlindungan terhadap Kekerasan Seksual-lah yang membunuhnya.