
Photo: Ilustrasi (Okenews)
Penulis: Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A. (Sosiolog, tinggal di Bantul, Yogyakarta)
Utustoria.com – Bunuh diri yang dilakukan oleh Novia Widyasari Rahayu (23), warga Mojokerto, mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Jawa Timur, karena tidak mendapatkan pertanggungjawaban dari kehamilan di luar perkawinan resmi, telah mendapat perhatian dan simpati dari banyak massa masyarakat.
Tidak sedikit massa masyarakat yang mengutuk tindakan kekasihnya yang lari dari tanggungjawab, yang merupakan seorang anggota polisi, dan anak seorang pejabat legislatif.
Secara sosiologis, tragedi tersebut bisa dibedah dengan teori modernitas cair dari Zygmunt Bauman (1925-2017).
Bauman, seorang sosiolog dari Polandia menyatakan bahwa perkembangan modernitas cair (liqiud modernity) berawal dari adanya modernitas padat (solid modernity).
Modernitas padat merupakan era di tahun 1940-an dan 1950-an di mana modernitas tersebut didasarkan oleh sistem yang terstruktur, rapi, birokratis, dapat diprediksi, instrumental, seragam, dan legal-rasional.
Era itu, Jerman merupakan negara terkuat di Eropa Barat yang begitu “istiqomah” dalam menjalankan syariat modernitas padat, maka terbentuk sebuah konstruksi sosial bahwa bangsa asli Jerman, yakni pada ras Arya adalah ras paripurna, dan lebih unggul dibandingkan bangsa lain.
Bangsa selain Arya dinilai sebagai budak dan terjajah, layak dihilangkan kalau tidak sesuai dengan keinginan dan perintah bangsa Arya.
Hal itu yang membuat Adolf Hitler, sang diktator pemimpin rezim Nazi Jerman di tahun 1940-an melakukan “pembersihan” massal terhadap bangsa Yahudi dan bangsa lain selain Arya yang hidup di Jerman.
Mereka lebih dinilai sebagai “hama” pengganggu tatanan masyarakat Barat modern yang maju, terstruktur, dan rasional.
Pada sebuah momen, dengan jumlah kurang lebih sebelas juta orang, mereka dikirim dengan kereta api ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan dibantai sampai mati dengan alasan rasionalitas, tanpa ada rasa belas kasih, itulah yang dalam rezim sejarah dinamakan sebagai holocaust.
Zaman berubah, tahun 1960-an hingga saat ini adalah masa pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi, di mana era 1970-an dan 1980-an teknologi komunikasi dan informasi masih didominasi oleh sistem analog dan satelit kabel, kemudian berlanjut di tahun 1990-an dan 2000-an terjadi perkembangan teknologi digital dan internet, termasuk media sosial.
Media sosial akan terus berkembang dan menyajikan berbagai fitur dan layanan yang begitu memanjakan dan menyenangkan perilaku manusia.
Di satu sisi perkembangan tersebut dapat memperluas lanskap relasi dan jejaring sosial, namun pada sisi yang lain dapat meningkatkan sikap individualis, konsumeris, dan narsistik, di mana sisi mementingkan hasrat pribadi lebih diutamakan dibandingkan dengan kualitas relasi dan kepedulian sosial terhadap orang lain.
Unsur narsistik, konsumeris, dan individualis tidak hanya berada dan mengada dalam perkembangan ruang-ruang virtual yang sifatnya fleksibel dan cepat berubah, namun juga berada dan mengada pada relasi sosial dalam ruang nyata, implikasinya ialah menilai orang lain sebagai objek atau produk yang bisa dengan sesuka hati dipermainkan, diganti, bahkan dihapus dari narasi kehidupan.
Terlebih apabila orang yang melakukannya memiliki power, otoritas, dan berasal dari golongan kelas sosial menengah ke atas.
Seperti yang dialami oleh Novia Widyasari Rahayu yang di tahun 2019 berkenalan dengan seorang oknum polisi bernama Randy Bagus Hari Sasongko pada sebuah acara hiburan, di mana relasi perkenalan keduanya berlanjut menjadi sepasang kekasih hingga tahun 2021, dan melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma kesusilaan, berdampak pada dua kali kehamilan tidak diinginkan dan dua kali aborsi atas permintaan Randy.
Selain itu, Novia sebagai korban terus mendapatkan tekanan dari pihak keluarga Randy dan sebagian kerabat Novia ketika Novia terus menuntut pertanggungjawaban Randy, akibatnya Novi semakin merasa tertekan dan memutuskan mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya di samping makam ayahnya di Mojokerto.
Apa yang dialami oleh Novia merupakan salah satu representasi dari modernitas cair di mana perilaku individualistis dan narsistik yang patriarkal dari seorang Randy melalui kekuatan retoris dan bahasa kekuasaan yang hegemonik telah menjatuhkan mental seorang Novia tanpa melalui senjata api, bom, ataupun rudal pemusnah.
Perilaku Randy yang patriarkal itu juga berasal dari tumbuhnya budaya konsumeris dari pengaruh media online dan media sosial dan diperkuat oleh lingkungan keluarganya yang hegemonik patriarkis sehingga menganggap Novia sebagai Sang Asing, tersubordinasi, dan tidak lagi dilihat layaknya manusia yang bermartabat, melainkan seperti objek atau produk yang setiap saat bisa diganti ketika dikonsumsi, inilah wujud Holocaust di era modernitas cair atau post-modern.
Berdasarkan tragedi tersebut, kita harus bersikap secara reflektif dari fakta yang ada dan dari analisis teori Bauman, maka kita harus membangun dan mengembangkan proyek emansipasi dalam ranah kehidupan sosial. Proyek tersebut menekankan pada perencanaan dan tindakan dalam menciptakan dan menumbuhkan sikap saling menghargai antarsesama manusia.
Eksistensi manusia memiliki hak dan kedudukan yang wajib dihormati dan dihargai, termasuk dalam relasi gender, sehingga tidak dapat dibenarkan manipulasi dan kekerasan atas nama patriarki serta stigmatisasi terhadap perempuan di mana selama ini perempuan cenderung lebih rentan disalahkan secara sepihak apabila ada kasus kejahatan seksual atau kasus lain yang terkait dengan hal itu.
Diharapkan semua pihak tanpa kecuali bisa berpartisipasi aktif dalam meminimalisasi dan mengatasi dampak negatif dari perkembangan modernitas cair baik melalui penguatan jejaring komunitas sosial pro kemanusiaan maupun melalui reformasi serta reinterpretasi aturan di bidang hukum yang berkaitan dengan perlindungan terhadap kaum perempuan dan anak-anak.