Photo: Desain Lomba Orasi, Divisi Humas Polri
Penulis: Made Supriatma
Utustoria.com – Dalam politik demokrasi, tugas para politisi adalah memenangkan hati dan pikiran para pemilih. Mereka berusaha meyakinkan pemilih dan mengkompromikan posisi mereka dengan kepentingan pemilih.
Sebaliknya, para pemilih dihadapkan dengan berbagai macam jenis politisi yang memiliki agendanya sendiri. Mereka bebas memilih siapa saja. Mereka wajib mendengarkan dan melihat rekam jejak para politisi ini.
Pilihan mereka akan menentukan masa depan mereka. Itulah sebabnya dalam demokrasi, mereka merasa bahwa mereka menentukan masa depan mereka sendiri.
Kebalikan dengan negara bersistem diktatorial atau otoriter. Para politisi tidak memberikan pilihan apapun. Kalaupun ada pemilihan, para pemilih sudah ditentukan harus memilih apa.
Para pemimpin menentukan apa yang mereka rasa paling baik untuk rakyatnya. Tentu saja, dalam banyak kasus, yang terbaik itu seringkali yang terbaik untuk dirinya, keluarganya, dan para kroninya.
Dalam hidup sosial politik selalu ada ketidakpuasan. Dalam demokrasi, ketidakpuasan itu boleh dan dianjurkan untuk disampaikan. Dia akan menjadi hambatan untuk penguasa agar tidak sewenang-wenang. Kadang para pengritik memiliki wakilnya di parlemen. Para penguasa harus tebal kupingnya dan melayani argumen-argumen kritik.
Dalam sistem diktatorial dan otoriter, kritik dilarang. Parlemen diisi dengan orang-orang yang patuh, yang menjadi stempel penguasa belaka. Apa saja yang dikehendaki penguasa, selalu diamini.
Para pengritik harus bersiap masuk ke penjara. Ada undang-undang dibikin sedemikian rupa untuk memenjarakan para pengkritik dan oposisi penguasa.
Para diktator modern tidak berkuasa hanya dengan senjata semata. Mereka harus tampak absah (legitimate). Mereka berkuasa lewat pemilihan, yang pemenangnya sudah pasti adalah mereka sendiri, atau anggota keluarganya, atau boneka-boneka ciptaannya.
Keabsahan ini diperkuat dengan pembuatan hukum. Mereka menulis hukum untuk melindungi dirinya sendiri dan para kroninya.
Mereka mendefinisikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Mereka menetapkan standar apa yang baik. Termasuk prosedur-prosedur teknis tentang bagaimana mengkritik dan menyampaikan pendapat.
Mereka lebih tertarik pada prosedur teknis, pada tata-cara, unggah ungguh, atau sopan santun berbicara. Mereka tidak tertarik pada substansi yang dibicarakan. Tidak tertarik pada pokok soalnya.
Inilah politik mimikri yang sebenar-benarnya. Mereka meniru semua yang prosedural dalam sistem demokratis. Namun persis pada saat itu menguburkan intinya. Mereka membikin “kebebasan berbicara” dengan mengubur isi pembicaraan.
Dan sesungguhnya mereka berusaha menguburkan substansi dan pokok soal dengan mengemukakan prosedur teknis.
Mereka tidak tertarik pada bicara itu sendiri. Dan apa yang terjadi jika prosedur berbicara (baca: protes) ditaati? Orang yang bicara sudah melakukan dengan sopan dan halus?
Yang terjadi adalah: Tidak didengarkan. Mengapa? Ya karena halus tadi.
Prosedur bicara dalam protes itu kira-kira demikian:
“Siap! Mohon ijin untuk pidato menyampaikan protes. Terima kasih!”
Itulah mungkin akan jadi SOP di jaman Orbaba ini.