PERTARUNGAN WACANA YANG MENGUATKAN DI TENGAH POLEMIK PERMENDIKBUD NOMOR 30/2021 - Utustoria PERTARUNGAN WACANA YANG MENGUATKAN DI TENGAH POLEMIK PERMENDIKBUD NOMOR 30/2021 - Utustoria

PERTARUNGAN WACANA YANG MENGUATKAN DI TENGAH POLEMIK PERMENDIKBUD NOMOR 30/2021

824
Spread the love

Photo: Ilustrasi (Media Indonesia)


Utustoria.com – Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) 30/2021 yang diproduksi dan disosialisasikan kepada publik sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus belum menemukan konsensus atau kesepakatan bersama mengenai implementasinya antara masyarakat dengan pemerintah. Belum adanya konsensus disebabkan oleh faktor pengetahuan dan pemahaman yang relatif tidak sama antara pemerintah dan masyarakat mengenai indikator terjadinya kekerasan seksual. Hal itu yang menimbulkan banyak kritik agar peraturan tersebut dikaji ulang. Praktik kekerasan seksual dalam masyarakat, tak terkecuali di lingkungan kampus apabila tidak ditangani dengan langkah yang komprehensif, maka upaya penanganan secara tertulis maupun melalui aksi-aksi sosial hanya sekadar untuk kepentingan teknis formal belaka, dan akan menjadi tindakan setengah hati. Tindakan yang belum merefleksikan secara total pencegahan kekerasan seksual di kampus karena belum melibatkan secara penuh sisi permanen dari kultur masyarakat, yakni bahasa.

Bahasa menjadi kultur yang membentuk dan dibentuk oleh masyarakat. Sebagai kultur yang membentuk masyarakat, bahasa merepresentasikan dan mengkerangkai cara berpikir dan berperilaku individu-individu dalam sebuah masyarakat, misal etika berbahasa dalam budaya Jawa membentuk tata perilaku masyarakat terutama dalam relasi yang berbeda tingkatan umur. Sedangkan, bahasa sebagai entitas yang dibentuk oleh kultur masyarakat berarti bahasa dimaknai dan terus dikonstruksi oleh masyarakat menyesuaikan dengan perkembangan atau perubahan zaman, misal pengemplang uang rakyat lazimnya disebut sebagai koruptor, namun muncul wacana agar mengganti diksi koruptor sebagai maling uang rakyat yang bertujuan agar tindakan para koruptor tidak dipersepsikan sebagai perilaku para pejabat negara, tetapi itu sejajar dengan tindakan maling ayam, maling pakaian jemuran, maling televisi, maling gawai, dan maling-maling lain yang dilabeling sebagai maling-maling kelas sudra. Dan, bisa menimbulkan efek yang mendalam bagi para koruptor. Dalam hierarki yang lebih tinggi, pembentukan dan representasi bahasa dilakukan oleh aktor pemerintah atau elite politik sebagai usaha untuk melegitimasi sebuah wacana dominan atau status quo. Pada sisi yang lain, yang menarik adalah masyarakat memiliki berbagai macam sisi paradigma yang mampu mereproduksi bahasa tandingan sebagai antitesis terhadap wacana dominan.

.

Bahasa “Persetujuan” dalam Wacana yang Berkontestasi

Perkembangan era modern atau disebut sebagai modernitas cenderung tidak mengurangi praktik kekerasan seksual di institusi-institusi di mana orang mendayagunakan tenaga dan pikiran untuk meningkatkan derajat sosial, seperti pada institusi ekonomi dan pendidikan. Dalam konteks yang demikian, perempuan sering kali diposisikan secara subordinat dalam lingkungan patriarki yang terus bertumbuh sesuai dengan perubahan sosial dalam masyarakat. Lingkungan patriarki selalu identik dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan, termasuk di dalamnya ada kekerasan seksual. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan laki-laki juga berpotensi mendapat kekerasan seksual oleh pihak perempuan di lingkungan kampus. Meminjam perspektif dari Anthony Giddens, dibutuhkan refleksivitas dalam menghadapi dampak dari perkembangan modernisasi yang cenderung memperluas praktik kekerasan seksual. Refleksivitas yang dimaksud ialah reformasi atau pengubahan tindakan dan perilaku individu, kelompok, ataupun institusi terhadap hal-hal yang relatif bertransformasi atau bergeser. Jika di era-era sebelumnya praktik pencegahan kekerasan seksual dilakukan melalui norma dan aturan-aturan yang relatif sama, maka saat ini praktik pencegahannya dilakukan secara lebih kompleks mengingat semakin rumit dan peliknya perkara kekerasan seksual dalam masyarakat, termasuk di lingkungan kampus.

Permendikbud Ristek 30/2021 merupakan refleksivitas terhadap gejala dan kejadian kekerasan seksual di kampus-kampus sebagai institusi sosial modern. Refleksivitas tersebut diformasikan sesuai dengan karakteristik kehidupan kampus di mana selain sebagai institusi sosial modern, juga sebagai ruang publik sivitas akademika. Sebagai sebuah ruang publik yang secara normatif mendeterminasi individu pada tataran akademis, kampus menjadi ruang yang mengakomodasi kepentingan, kenyamanan, dan keamanan relasi antarindividu di dalamnya. Ruang publik itu kemudian dicemari oleh beberapa oknum sivitas akademika melalui aktivitas seksual yang menyimpang dari tatanan nilai-nilai dan norma sosial, apalagi yang sampai menimbulkan dampak traumatis bagi korban. Menurut Jurgen Habermas, ruang publik memiliki esensi sebagai lokus masyarakat dalam menyampaikan gagasan, aspirasi, dan komunikasi yang rasional, yang saling tidak merugikan satu dengan yang lain. Kampus sebagai institusi sosial modern maupun ruang publik sivitas akademika diarahkan sebagai lokus yang membentuk keadaban berinteraksi rasional, setara, menguntungkan, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dalam lingkup masyarakat yang lebih luas.

Permendikbud Ristek 30/2021 menjadi sebuah diskursus yang diproduksi untuk menanggapi dan menindaklanjuti maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, maka peraturan tersebut dibuat berdasarkan nilai-nilai etika dalam ruang publik dan institusi modern dalam kampus agar tercipta relasi-relasi yang humanis antarindividu, baik yang menyangkut nilai-nilai akademis maupun non-akademis. Adapun diskursus tersebut memproduksi sebuah diksi bahasa yang dipermasalahkan, yaitu persetujuan (consent). Perlu diketahui bahwa persetujuan dalam sebuah institusi modern dan ruang publik terkait dengan isu-isu publik yang menjadi perhatian sosial. Isu-isu publik dalam kampus seperti pengajaran, penelitian karya ilmiah, inovasi produk teknologi, kehidupan sosial mikro yang terkait dengan kampus dan pendidikan, relasi ekonomi yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran, publikasi kegiatan kampus, dan lain-lain hal yang sejenis. Sedangkan, kekerasan seksual mengarah kepada eksploitasi terhadap tubuh yang merupakan sisi privat yang dilindungi dalam institusi modern dan ruang publik. Diksi kebahasaan berupa “tanpa persetujuan korban” dalam beberapa bagian di Permendikbud Ristek 30/2021 yang menimbulkan polemik, sebenarnya berupa penegasian terhadap persetujuan pada hal-hal privat yang dilanggar pada ruang publik dan institusi modern. Hal itu diharapkan akan berpengaruh kepada para sivitas akademika agar mempertimbangkan tindakan-tindakan mereka mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan sesuai dengan nilai-nilai institusi modern dan ruang publik dan memiliki pengaruh ketika dihadapkan pada ruang yang semi-publik dan ruang privat.

Produksi bahasa “persetujuan” dalam Permendikbud Ristek 30/2021 dipersoalkan oleh wacana agama yang melihat hal itu dalam hubungan antarteks dan dalam konteks yang lain. Wacana agama menyatakan bahwa “tanpa persetujuan korban” bisa ditafsirkan lain lagi apabila terjadi persetujuan atau suka sama suka, dalam arti terjadi pelegalan praktik seks menyimpang yang tidak hanya di dalam kampus, namun juga berpengaruh pada lingkungan di luar kampus. Kampus dimaknai sebagai ranah kegiatan seksual transaksional di luar lembaga perkawinan yang sah, asal terjadi persetujuan antarpihak yang melakukan penyimpangan. Dalam hal ini, perkawinan yang sah menjadi tolak ukur moral aktivitas seksual dalam kehidupan sosial, dan Permendikbud Ristek 30/2021 dinilai kurang selaras dengan nilai-nilai perkawinan yang sah menurut paradigma agama. Dalam diskursus agama, aktivitas seksual khususnya hubungan seksual yang ideal adalah dalam perkawinan yang sah dan dilakukan dengan persetujuan suami dan istri, tanpa ada paksaan dan terpaksa, yang berdampak pada relasi sosial yang sehat. Dalam hal ini terjadi pertarungan wacana antara Permendikbud 30/2021 dan domain moralitas agama. Meminjam dari perspektif Emile Durkheim, norma agama sebagai fakta sosial memaksakan diskursusnya karena dinilai lebih mengikat dan absah yang berasal dari ajaran kitab suci, sedangkan Permendikbud adalah produk manusia yang terkadang memiliki kesalahan dalam penyusunan naskah atau teks aturan formal.

.

Penguatan Melalui Pertarungan Wacana

Apabila dilihat dalam konteks paradigma Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, pertarungan dua wacana tidak selalu berakhir dengan relasi konfiktual, akan tetapi menggerakan dinamika opini mengenai permasalahan yang diperdebatkan oleh antarinstitusi dalam masyarakat. Meskipun memiliki diskursus yang berbeda, sebenarnya Permendikbud 30/2021 dan norma-norma agama memiliki kesepadanan dalam mencegah praktik kekerasan seksual dalam institusi modern dan ruang publik sivitas akademika. Kesepadanan terkadang tidak memerlukan konsensus dalam melegitimasi suatu hierarki aturan, akan tetapi memerlukan kontestasi wacana dalam sebuah domain yang relatif sama, sehingga diharapkan dapat diperoleh perspektif-perspektif baru yang lebih adil dan humanis. Dalam lingkup modernitas, institusi modern dengan agama merupakan dua hal yang sulit menyatu. Namun, dalam wacana possekuler, keterlibatan institusi modern dan agama dapat membangkitkan gerakan-gerakan yang lebih beragam dan berjejaring khususnya dalam mengakomodasi korban-korban kekerasan seksual, tidak hanya pada itu, juga pada penyintas-penyintas lain dari sistem yang diskriminatif dan yang bertentangan dengan nilai-nilai harkat dan martabat manusia. Maka, menjadi sesuatu yang perlu kita instrospeksi bersama bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadikan sesuatu terpisah-pisah secara radikal, tetapi justru mampu menciptakan nilai-nilai kekuatan moral bersama.

Penulis : Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A. (Sosiolog, tinggal di Bantul Yogyakarta).