Photo: Aipda Ambarita (TribunJateng.com)
Penulis: Sulaiman, Akademisi Sosiolog
Utustoria.com – Mutasi dalam sebuah hierarki jabatan secara normatif merupakan bentuk restrukturisasi atau reorganisasi bagi anggota untuk tujuan pembenahan dan peningkatan kinerja dan tugas.
Namun, perspektif sosiologis kekinian menelisik mengapa sesuatu membuat terjadinya sebuah restrukturisasi terhadap seseorang atau sekelompok orang.
Berdasarkan informasi dari wacana media yang cenderung menghegemoni, Aipda Monang Parlindungan Ambarita dimutasi karena dinilai melakukan penyimpangan kode etik dan profesionalitas pekerjaan.
Penyimpangan yang dimaksud adalah memeriksa secara paksa telepon seluler milik salah seorang pemuda sehingga terjadi adu argumen antara Aipda Ambarita dengan pemuda itu.
Banyak warganet yang mengkritik dan menstigmatisasi perilaku Aipda Ambarita karena melakukan tugas tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Adapun mutasi bagi Aipda Ambarita selain sebagai restrukturisasi birokrasi, meminjam analisis Michel Foucault, merupakan sebuah upaya pendisiplinan sikap dan tubuh terhadap anggota yang dinilai melakukan distorsi aturan, sekaligus untuk mempertahankan citra baik dan legitimasi institusi kepolisian.
Adapun analisis sosiologi secara lebih komprehensif berkaitan dengan kaburnya batasan antara ruang publik dan ruang privat dalam kasus Aipda Ambarita dengan seorang pemuda berkaitan dengan pemeriksaan isi telepon seluler digital di jalan raya.
Selama ini, penafsiran mengenai prosedur penggeledahan barang-barang yang dinilai privasi baru sebatas pada kajian yuridis, dalam arti memposisikan hak dan kewajiban aktor aparat keamanan dalam menjalankan tugas, dan cenderung pada sisi prosedural-instrumental.
Hal itu yang membuat aparat keamanan menggunakan kekuatan peran dan statusnya dalam melakukan tindakan hukum, meskipun tetap diatur dan diawasi dengan peraturan dan undang-undang yang ada.
Apabila terjadi pelanggaran, adalah restrukturisasi birokrasi dengan maksud laten melakukan pembinaan total.
Yang menjadi persoalan adalah kurangnya kajian pada kultur dan struktur masyarakat yang membentuk ruang publik dan privat, di mana belum diatur secara harfiah dan konseptual dalam undang-undang mengenai distingsi ruang publik dan ruang privat yang secara substansial bertujuan pada perlindungan dan pengayoman masyarakat sipil berkaitan dengan aktualisasi peran, status, aktivitas, dan perilaku yang sesuai dengan ciri idealis warganegara.
Esensinya, dinamika dalam ruang publik memberikan makna harmonis dan negosiasi tindakan politis antarmasyarakat sipil, sedangkan ruang privat memberikan keamanan bagi kegiatan pribadi atau individual, selama tidak menganggu kenyamanan dan moralitas ruang publik.
Memang dalam hal ini perlu pengkajian lebih lanjut mengenai distingsi sosiologis antara ruang publik dan ruang privat, di mana bisa diputuskan ruang privat seperti apa yang boleh dan tidak boleh “diawasi” dalam rangka menjaga stabilitas keamanan ruang publik.
Perlu adanya peran dan partisipasi dari masyarakat sipil untuk mengkonstruksi nilai-nilai dan norma sosial sebagai panoptik bagi aparat kepolisian untuk mengurangi kerentanan akan “pembajakan” terhadap ruang privat (gawai, ruang kamar, rumah, dan lain-lain) atas nama penegakan kebenaran dalam ruang publik (wilayah administratif, jalan raya, taman kota, dan lain-lain) sehingga nantinya bisa ada pengkajian undang-undang mengenai ruang publik dan privat yang humanis dan bertanggungjawab.
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Alumnus 2017 – 2020 Strata 1 dan Magister Sosiologi UGM.
Domisili: Bantul, Yogyakarta.