Hidup kita sama dengan tahu isi, Digoreng Dadakan - Utustoria Hidup kita sama dengan tahu isi, Digoreng Dadakan - Utustoria

Hidup kita sama dengan tahu isi, Digoreng Dadakan

1682
Spread the love

Photo: Ilustrasi, Tahu Isi

Penulis: Made Supriatma

Tahu Bulat: Di negeri ini, harga komoditi seperti cabe, naik turun mengikuti musim. Ia meroket sampai ke bulan kalau cabe sedang tidak musim dan terhujam hingga tak berharga ketika panen.

Satu hal yang saya amati di negeri yang segala sesuatunya di-geprek-kan ini adalah minimnya persiapan melihat ke depan. Orang hanya hidup untuk hari ini seperti filosofi tahu bulat: digoreng dadakan.

Tidak saja hidup sehari-hari kita yang digoreng dadakan. Kebijakan-kebijakan penting yang menyangkut hidup orang banyak juga demikian. Tidak ada upaya untuk membikin sesuatu dalam jangka sedikit panjang.

Mau contoh? Nggak usah jauh-jauh. Lihat saja buka tutup PPKM sekarang ini. Ketika kasus menurun, kita leha-leha. Ketika naik, fasilitas kesehatan kolaps, baru kita buru-buru. Kalau perlu pake tentara dan polisi paksa orang untuk memaksa orang menerapkan prokes.

Tidak hanya pemerintahnya. Hidup kita juga kebanyakan ‘digoreng dadakan’ bukan? Ketika kasus meninggi, kita buru-buru minta vaksin. Kita anggap enteng pandemi ini karena kita tidak kena.

Bahkan hingga sekarang kita dapati orang-orang berkampanye bahwa nggak gagah kalau disuntik vaksin. Saya kenal orang yang kebelet mau jadi pejabat publik dimasa depan, selalu tampil gagah di media sosialnya karena tidak divaksin dan tidak pakai masker.

Tapi mungkin sulit mengatakan bahwa orang seperti ini hidupnya digoreng dadakan. Paling tidak dia punya cita-cita entah jadi wakil bupati atau wakil gubernur. Itu pun kalau … ah sudahlah.

Kita ngelantur. Kembali ke soal cabe dan tahu. Karena sifat-sifat ‘digoreng dadakan’ itu, kita jarang bersiap untuk menghadapi masa depan. Tuntutan kita selalu masa kini. Dan masa kini itu adalah sesuatu yang segar. Jadilah kebudayaan yang lain, yakni kebudayaan geprek menggeprek. Apa saja di negeri ini digeprekin, termasuk hak Anda berpendapat.

Kita tidak pernah menghargai makanan diawetkan dalam jangka panjang. Makanan-makanan itu kita anggap makanan paceklik. Simbol kemiskinan dan kemelaratan.

Taruh misalnya singkong. Ia masuk ke Nusantra ini dibawa Portugis pada abad 16. Kemudian menjadi makanan massal. Singkong terkenal cepat busuk. Tetua orang Jawa mengawetkannya dengan menjemur. Jadilah dia gaplek yang dibikin menjadi Gatot dan Tiwul.

Sekarang Gatot dan Tiwul jadi makanan eksotis. Orang miskin sendiri tidak akan menyentuhnya kalau tidak terpaksa. Kelas menengah dan elit Jawa menyantapnya untuk mengenang kemiskinan mereka, sekaligus merayakan kekayaan mereka sekarang ini.

Sebagian besar makanan kita sekarang berkisar antara dua hal: instan atau segar. Kedua-duanya adalah dadakan.

Kita jarang sekali mengawetkan makanan. Mungkin karena kita tidak di daerah tropis yang tidak akan pernah mengalami paceklik. Tidak ada musim dingin panjang. Gagal panen itu kita lihat sebagai kekecualian sehingga kehadirannya bisa diabaikan.

Apalagi sekarang, kita sudah menyerahkan urusan pangan ini kepada pemerintah dan korporasi. Lewat Bulog, pemerintah yang menjadi lumbung kebutuhan pokok. Sementara korporasi memperkenalkan makanan instan — seperti mi goreng yang memasaknya dengan cara direbus! Praktis dan cepat saji.

Beberapa waktu lalu, seorang teman menunjukkan kepada saya sebuah artikel dari Alfred R. Wallace. Kalau Anda belajar geografi di sekolah, Anda mesti tahu soal garis Wallace. Dia ilmuwan Inggris yang namanya dilekatkan dengan Charles Darwin khususnya dalam perdebatan siapa menciptakan teori evolusi.

Ada satu artikel dari Wallace yang terbit pada 1862 di The Journal of the Royal Geographical Society of London yang membahas ekonomi makanan di Kepulauan Timur. Maksudnya di wilayah-wilayah yang sekarang dikenal sebagai Maluku dan perairan Papua bagian barat.

Wallace membahas soal perdagangan di pulau-pulau tersebut. Dia membahas soal hasil laut seperti kulit penyu, sebuah komoditi penting saat itu. Di bagian akhir artikelnya, dia menulis agak panjang tentang sagu.

Ilmuwan besar ini menghitung bagaimana produksi dan konsumsi sagu ini untuk masyarakat-masyarakat yang dia kunjungi. Satu pohon sagu, tulisnya, bisa memproduksi sekitar 300 kg sagu kering mentah. Pekerjaan yang dibutuhkan untuk memproduksi itu hanya lima hari dan dikerjakan oleh dua orang laki-laki. Produksi sagu ini berlimpah dan orang tidak kekurangan pohon sagu untuk ditokok.

Yang menarik adalah kesimpulan Wallace. Berlimpahnya makanan yang diproduksi dengan gampang dan murah ini, tulis Wallace, lebih merupakan kutukan ketimbang berkah. “Keadaan ini,” lanjutnya, “menciptakan kemalasan yang luar biasa dan kesengsaraan yang ekstrem.” Dia membandingkan pemakan sagu dengan pemakan nasi — yang perlu kerja lebih keras untuk memproduksinya.

Sehingga, kata Wallace, tidak ada kebutuhan untuk melakukan industrilisasi. Pemakan sagu adalah masyarakat yang amat miskin. Rumah mereka hanya gubuk dan pakaian mereka sangat buruk,

Dia kemudian melakukan generalisasi, “Pengamatan terbatas ini dapat diperluas dengan hasil yang sama di seluruh dunia; karena jelas merupakan fakta tunggal bahwa tidak ada bangsa beradab yang muncul di daerah tropis.”

Dalam konteks sekarang ini, mudah untuk mengkategorikan pandangan Wallace ini sebagai pandangan rasis. Dia juga tidak memasukkan faktor-faktor seperti kolonialisme dan integrasi ekonomi yang membuka isolasi dan mempermudah eksploitasi.

Namun, dari kajian hampir dua abad lalu ini, kita juga bisa melihat bahwa bagaimana pun juga hidup di negeri ini adalah hidup tahu bulat yang digoreng dadakan. Karena semua serba mudah didapat. Kemudian kita pun membuat sistem yang menyediakan segal-galanya.

Dalam bahasa kaum Libertarian, kita menerima dengan senang hati peran negara sebagai “Inang” yang menyusui dan menyediakan segala sesuatu untuk anak-anaknya. Sialnya, kaum Libertarian yang pendukung pasar bebas harga mati ini sangat gandrung pada negara — yang seharusnya dilawannya itu.

Tahu bulat ini, dari luar terlihat kulitnya sangat merangsang dan menantang. Ia menawarkan kriuk yang luar biasa. Tapi isinya kosong.

Mental ini ada di segala aspek dalam hidup sehari-hari kita. Termasuk dalam memilih pemimpin. Kita terpesona pada kriuknya. Sementara didalamnya kosong! … Cabe, mana cabe?